Dengan adanya daftar itu dikhawatirkan akan mempertajam polarisasi di tengah masyarakat. Akan timbul kesan bahwa hanya mereka yang masuk daftar saja yang termasuk muballigh "baik". Selebihnya adalah penyebar kebencian, intoleran, dan anti NKRI.
Alih-alih menjadi rujukan, daftar itu berpotensi digunakan sebagai alat legitimasi persekusi.Â
Apa yang dilakukan Menteri Lukam terkesan gamang dan dipaksakan. Melalui daftar itu sepertinya dia ingin membuktikan bahwa dirinya telah bekerja dan "melayani" dengan baik dan sungguh-sungguh dalam menangkal radikalisme atas nama agama.
Menteri Lukman sepertinya berharap daftar tersebut dapat mencegah penyebaran bibit-bibit terorisme. Padahal faktanya kegiatan pengajian kaum khawariz yang kerap menebar teror sifatnya eksklusif. Jumlahnya terbilang sedikit.
Jumlah mubaligh/ penceramah di seluruh Indonesia itu banyak. Sekedar angka ratusan jelas tak akan cukup menampung.
Dibanding membuat daftar putih, lebih baik Menteri Lukman membuat daftar hitam. Karena daftar putih menimbulkan kesan mereka yang tidak terdaftar adalah muballigh "hitam".Â
Sebagai penghuni daftar hitam nomor satu sebut saja nama Abu Bakar Ba'aasyir misalnya. Dia sudah terbukti secara hukum terlibat dalam kegiatan terorisme.Â
Jika kemenag kesulitan mencari siapa penghuni daftar hitam berikutnya, langsung saja tanyakan ke Densus 88? (tasbul).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H