Mohon tunggu...
Taslim Buldani
Taslim Buldani Mohon Tunggu... Administrasi - Pustakawan di Hiswara Bunjamin Tandjung

Riang Gembira Penuh Suka Cita

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menimbang Peluang Dikabulkan atau Ditolaknya PK Ahok

22 Februari 2018   16:43 Diperbarui: 22 Februari 2018   17:22 1762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wartakota.tribunnews.com

Ahok memang fenomenal. Apapun isu mengenai dia kerap menjadi isu nasional dan terkadang kontroversial. Belum hilang keterkejutan publik akan isu gugatan cerai kepada istrinya, publik dikejutkan lagi oleh pengajuan upaya hukum luar biasa atas vonis hakim dalam kasus penistaan agama yang menjerat dirinya.

Melalui kuasa hukumnya, Ahok mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung atas putusan Pengadian Negeri Jakarta Utara Nomor: 1537/Pid.BI201G/PN.Jkt.Utr. Sebuah putusan yang membuatnya mendekam di tahanan Mako Brimob Kelapa Dua.

Kita semua tahu bahwa Ahok tidak mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Utara tersebut. Tanpa adanya upaya hukum banding dan kasasi, Ahok dianggap menerima putusan hakim dan bersedia menjalani hukuman penjara selama 2 tahun. Oleh karenanya putusan PN Jakarta Utara tersebut dianggap sudah berkekuatan hukum tetap dan Ahok pantas menyandang status terpidana.

Permohonan PK yang diajukan Ahok jelas menuai polemik. Ada yang menganggap upaya tersebut merupakan akal-akalan hukum semata. Mereka yang berpendapat demikian berargumen bahwa PK hanya bisa dilakukan apabila terpidana sudah mengajukan upaya hukum banding dan kasasi. Satu hal yang tidak dilakukan Ahok.

Skenario PK tanpa melakukan banding dan kasasi sebenarnya pernah dilakukan oleh terpidana korupsi mantan bupati Natuna Kepulauan Riau Hamid Rizal. Upaya semacam ini ditengarai sebagai akal-akalan terpidana korupsi untuk menghindari kemungkinan penambahan hukuman jika melakukan upaya banding atau kasasi. Hal ini mengacu pada Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang berbunyi 'Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula'.

Atas upaya PK yang diajukan oleh Hamid Rizal tersebut MA Menolaknya. Melalui putusan bernomor registrasi 148 PK/Pid.SUS/2010 yang dibacakan pada tanggal 20 Oktober 2010 oleh majelis hakim yang diketuai oleh Artidjo Akostar dan beranggotakan M.S. Lumme, Krisna Harahap, Leopold Luhut Hutagalung, dan R. Iman Harjadi menolak permohonan PK Hamid Rizal dan menetapkan bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.26/Pid.B/TPK/2009/PN.Jkt.Pst. yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku.  

Mengomentari putusannya tersebut, hakim Krisna sebagaimana dimuat di Hukumonline menyebutkan bahwa langkah mengajukan PK tanpa melewati banding dan kasasi tidak tepat. 

"Tanpa menggunakan upaya hukum banding dan kasasi, berarti terpidana telah menerima dan menyetujui putusan majelis sehingga tidak pada tempatnya lagi mempersoalkan adanya kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagai alasan mengajukan PK," sebut Krisna (20/10/2010).

Di sisi lain, penasihat hukum Ahok tentu memiliki pendapat berbeda. Mereka berpendapat upaya hukum PK yang dilakukan masih berada dalam koridor hukum yang berlaku. Hal ini mengacu pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang berbunyi 'Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung'. 

Menyikapi boleh tidaknya Ahok mengajukan PK, Karo Hukum dan Humas MA Abdulah mengatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan. "Boleh, aturannya boleh. Yang penting sudah menerima putusannya itu, sudah menjalani pidananya," (Liputan6.com, 21/2/2018). Oleh karenanya setelah menerima memori PK Ahok, Mahkamah Agung telah menjadwalkan sidang perdana pada tanggal 26 Februari nanti.

Publik tentu bertanya-tanya, apa sesungguhnya alasan yang dimiliki Ahok sehingga dia memutuskan untuk mengajukan PK. Jika mengacu pada KUHAP khususnya Pasal 263 ayat (2) PK dilakukan atas dasar adanya bukti baru, pertentangan putusan hakim, dan kekhilafan hakim. Tapi sejauh ini penasihat hukum Ahok masih merahasiakan secara detail alasan-alasan dimaksud.

Berdasarkan informasi yang beredar alasan kekhilafan hakim lebih mengemuka sebagai alasan mengajukan PK dibanding adanya bukti baru dan atau pertentangan putusan. Jika benar demikian alasanya, menarik untuk menyimak kelemahan putusan hakim versi YLBHI yang dipublikasikan di Majalah Tempo edisi 15-21 Mei 2017 sebagai berikut: 

  • Pertimbangan hakim soal niat jahat (mens rea) Ahok mengada-ada dan tidak bisa dibuktikan
  • Hakim hanya membebankan segala kegaduhan dan keresahan publik kepada Ahok, bukan kepada kelompok intoleran yang melaporkan Ahok ke Polisi
  • Perintah hakim untuk menahan Ahok tak disertai alasan yang jelas.
  • Pengadilan mengabaikan prosedur penganganan kasus penodaan agama seperti diatur Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-X/2012:
    1. Pelaku terlebih dahulu harus diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya melalui surat keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. 
    2. Bila setelah diberi peringatan keras pelaku terus melanggar, yang bersangkutan baru dibawa ke jalur pidana

Tanggal 26 Februari nanti tentu menjadi tanggal yang dinanti-nanti oleh banyak orang. Pada hari itu perjuangan hukum Ahok untuk membela diri kembali dimulai. Mereka yang selama ini berdiri di belakang Ahok tentu berharap hakim mengabulkan PK Ahok dan membebaskannya dari penjara. Sementara Mereka yang selama ini menentang tentu berharap sebaliknya. 

Apapun hasil keputusan hakim, semoga semuanya bisa berlapang dada untuk menerimanya (tasbul).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun