Mohon tunggu...
Tasa Putri
Tasa Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Akun "Cantik" di Media Sosial: Menggugat Normativitas dan Objektivikasi Perempuan

17 Desember 2024   08:25 Diperbarui: 17 Desember 2024   09:47 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital seperti saat ini, media sosial telah menjadi sarana yang sangat berpengaruh dalam membentuk persepsi masyarakat tentang kecantikan dan femininity. Salah satu fenomena yang mencolok adalah munculnya akun-akun 'cantik' yang mengedepankan citra perempuan berpenampilan menarik. Akun-akun ini sering kali menjadi sasaran perhatian besar, tetapi juga menghadirkan berbagai masalah, seperti objektifikasi perempuan, tekanan untuk memenuhi standar kecantikan tertentu, hingga pelecehan berbasis gender.


Objektifikasi adalah proses di mana seseorang diperlakukan sebagai objek semata, tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaannya. Dalam konteks media sosial, akun-akun 'cantik' sering kali menampilkan perempuan dengan pose, pakaian, atau ekspresi yang dirancang untuk menarik perhatian. Meskipun bagi sebagian orang ini dianggap sebagai bentuk ekspresi diri, ada implikasi mendalam terkait cara perempuan dipandang dalam masyarakat.
Fenomena ini mengukuhkan standar kecantikan tertentu yang cenderung sempit, seperti tubuh langsing, kulit cerah, dan tanpa bekas luka artau jerawat serta permasalahan kulit lainnya. Standar ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang lebih sering mempromosikan konten sesuai dengan estetika tersebut. Akibatnya, perempuan merasa tertekan untuk mematuhi standar-standar kecantikan yang tidak realistis ini, kerap mereka mengesampingkan aspek-aspek penting lain seperti intelektualitas, kemampuan, dan kepribadian.


Data dari Komnas Perempuan menuniukkan bahwa kekerasan berbasis gender online, termasuk pelecehan seksual dan intimidasi, meningkat sebesar 40% dalam dua tahun terakhir. Ini mencerminkan bagaimana akun-akun 'cantik' dapat menjadi sarana untuk memperkuat stereotip gender dan menimbulkan dampak negatif bagi perempuan. Media sosial berperan penting dalam membentuk pandangan masyarakat tentang gender. Akun-akun 'cantik' sering kali mengulangi narasi bahwa kecantikan adalah syarat utama untuk diterima dalam masyarakat. Ini mengarah pada penguatan norma-norma patriarki yang telah ada sejak lama.
Fenomena ini tentunya memiliki dampak yang luas, seperti standar kecantikan yang tidak realistis yang dimana hal ini dapat menciptakan tekanan bagi perempuan untuk mengubah penampilan mereka agar sesuai dengan harapan sosial yang berdampak pada kondisi psikologis perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang terpapar pada konten yang menekankan penampilan fisik cenderung mengalami masalah kepercayaan diri, kecemasan, dan depresi. Ini menciptakan siklus negatif di mana perempuan merasa tertekan untuk selalu tampil sempurna.


Fenomena akun 'cantik' di media sosial membawa dampak signifikan bagi perempuan, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Beberapa dampak tersebut meliputi:
1. Tekanan Psikologis
Standar kecantikan yang tidak realistis menciptakan tekanan besar bagi perempuan untuk mengubah atau menyesuaikan penampilan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang terpapar pada konten yang menekankan penampilan fisik cenderung mengalami masalah kepercayaan diri, kecemasan, dan depresi. Siklus ini berlanjut karena media sosial terus menampilkan konten serupa melalui rekomendasi algoritma.
2. Pelecehan Berbasis Gender
Akun-akun 'cantik' juga sering kali menjadi sasaran pelecehan, baik dalam bentuk komentar merendahkan, pesan tidak senonoh, atau ancaman. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender online meningkat sebesar 40% dalam dua tahun terakhir. Pelecehan ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga memperkuat stereotip bahwa perempuan adalah objek seksual.
3. Ketidaksetaraan Gender
Fenomena ini memperkuat norma-norma patriarki yang telah lama ada. Penekanan pada penampilan fisik perempuan mengesampingkan nilai-nilai lainnya, seperti kontribusi intelektual dan kemampuan profesional. Ketidaksetaraan ini semakin mencolok di dunia digital, di mana perempuan sering kali hanya dinilai berdasarkan tampilan luar mereka.


Fenomena akun 'cantik' di media sosial tidak lepas dari tantangan hukum. Di Indonesia, regulasi yang melindungi perempuan dari objektifikasi dan pelecehan di dunia maya masih tergolong lemah. Meskipun UU ITE dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah mengatur tentang pelecehan online, implementasinya masih jauh dari efektif. Regulasi yang lebih tegas diperlukan untuk membatasi penyebaran konten yang mempromosikan standar kecantikan tidak realistis atau objektifikasi perempuan. Selain itu, platform media sosial harus lebih proaktif dalam menyaring konten yang merugikan dan memberikan perlindungan terhadap pengguna dari pelecehan berbasis gender. Untuk mengatasi dampak negatif fenomena akun 'cantik' di media sosial, diperlukan langkah kolektif dari berbagai pihak, seperti:
1. Edukasi Publik
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif objektifikasi perempuan dan pentingnya menghormati keragaman kecantikan. Program edukasi ini dapat dilakukan di sekolah, komunitas, maupun melalui kampanye online.
2. Representasi yang Lebih Beragam
Media dan iklan harus mempromosikan representasi yang lebih inklusif tentang kecantikan, mencakup berbagai bentuk tubuh, warna kulit, usia, dan latar belakang budaya.
3. Advokasi dan Aktivisme
Aktivis feminis telah memanfaatkan media sosial untuk melawan objektifikasi perempuan dan mempromosikan gerakan seperti body positivity. Gerakan ini perlu terus didukung untuk mendorong perubahan budaya yang lebih inklusif.


Fenomena akun 'cantik' di media sosial mencerminkan dinamika kompleks antara norma sosial, objektifikasi perempuan, dan tantangan hukum yang dihadapi di era digital. Media sosial sejatinya memberikan ruang untuk ekspresi diri, tetapi juga dapat menjadi alat yang memperkuat stereotip negatif. Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk menggunakan media sosial dengan bijak dan mendukung perubahan yang lebih positif. Dengan edukasi, regulasi yang lebih baik, dan keberanian untuk melawan norma-norma yang merugikan, kita dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, inklusif, dan menghormati martabat setiap individu, tanpa memandang penampilan fisiknya. Mari jadikan media sosial sebagai alat pemberdayaan, bukan penghakiman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun