Di sebuah desa yang kaya akan hasil alamnya, terdapat sepasang rubah yang sudah lama menikah namun tidak dikaruniai anak. Mereka sudah lama mendiami desa tersebut bersama dengan masyarakat yang lain. Keluarga rubah tersebut hidup sangat sederhana, mereka merupakan keluarga yang penuh cinta kasih. Mereka sangat senang apabila ada anak tetangga yang main kerumahnya. Bapak dan Ibu Rubah akan menyediakan banyak makanan untuk anak-anak yang berkunjung kerumahnya. Maka dari itu, walaupun mereka tidak memiliki anak namun mereka tetap merasa memiliki anak sediri.
Bapak Rubah sehari-hari bekerja diladang jagung milik Bapak Beruang, sedangkan Ibu Rubah setiap pagi berjualan di pasar, dan siang hari pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar untuk memasak.
Pada suatu hari, saat Ibu Rubah mencari kayu bakar di hutan, ia mendengar suara kesakitan. Dengan perasaan agak sedikit ketakutan, Ibu Rubah mendekati sumber suara tersebut. “Toloong, sayapku patah!!” ucap suara tersebut. Suara itu memang semakin dekat, namun Ibu Rubah belum menemukan asalnya.
“Toloong aku!” suara itu kembali membuat Ibu Rubah mengernyitkan dahi, namun kali ini suara itu semakin melemah. “Hei, kamu ada dimana? Aku ingin menolongmu!” seru Ibu Rubah yang sudah mulai cemas. “Aku ada di dekat kakimu, Bu” ujar suara tersebut. Sontak Ibu Rubah menunduk ke bawah, betapa terkejutnya ia melihat ada seekor anak burung kutilang sedang berbaring lemah tak berdaya karena sayapnya penuh darah.
Ibu Rubah segera meletakkan kayu bakar di tanah dan menggendong anak burung tersebut. Lalu ia membawa anak burung tersebut ke rumahnya.
Ibu Rubah segera meletakkan anak burung tersebut di tempat tidur, dan membasuh sayapnya dengan air hangat. “Aduh, sakit sekali Bu,” desah anak burung sambil menangis. “Ibu, aku mau pulang”
“Kamu tidak bisa pulang dalam keadaan sayap terluka begini, nak!” seru Ibu Rubah, “biar Ibu obati lukamu dulu ya?”. Anak burung kutilang pun menganggukan kepala dan berhenti menangis. Setelah sayap anak burung dibalut perban, Ibu Rubah menyuguhkan semangkuk bubur gandum. Dengan sabar Ibu Rubah menyuapi anak burung kutilang tersebut.
“Nak, siapa namamu?” tanya Ibu Rubah.
“Namaku Chiko, Bu!” jawab anak burung itu.
“Tok tok tok,” terdengar ada yang mengetuk pintu.
“Sepertinya suamiku sudah pulang, Ibu bukakan pintu dulu ya!” Ibu Rubah segera membukakan pintu teryata Bapak Rubah sudah pulang dari Ladang. Ibu Rubah lalu menceritakan apa yang dialaminya saat mencari kayu bakar di hutan. Bapak Rubah segera menemui Chiko, raut wajahnya begitu sendu melihat keadaan Chiko terbaring lemah tak berdaya.
“Nak Chiko mengapa sayapmu bisa terluka?” tanya Bapak Rubah.
“Begini Pak, saat aku sedang asik terbang mengelilingi hutan, ada seekor musang mencoba memburuku, ia menembakkan senapannya ke arahku, dan sayapku terkena pelurunya, aku kehilangan keseimbangan dan jatuh, untung saja Ibu Rubah segera datang menolongku,” ujar Chiko.
“Chiko, bagaimana kalau kamu tinggal disini dulu sampai sayapmu benar-benar pulih?” pinta Bapak Rubah.
“Apa tidak merepotkan, Pak?” gumam Chiko.
“Tentu saja tidak, kami justru senang jika kamu betah disini, nanti kalau kamu sudah sembuh kami akan mengantarkanmu ke hutan tempat keluargamu berada,” ujar Bapak Rubah, Chiko menyetujui permintaan Bapak Rubah.
Selama tinggal di rumah Bapak dan Ibu Rubah, Chiko sudah dianggap seperti anak mereka sendiri. Chiko senang bisa mengenal keluarga rubah yang baik hati tersebut. Tanpa terasa, semakin hari sayap Chiko berangsur membaik. Ia mulai belajar untuk mengepakkan sayapnya. Bapak dan Ibu Rubah sangat senang melihat keadaan Chiko.
Sebagai wujud rasa terima kasih Chiko kepada keluarga rubah yang telah merawatnya hingga pulih, Chiko ikut membantu Bapak Rubah bekerja di Ladang atau membantu Ibu Rubah berjualan di pasar.
Kini sudah genap dua bulan Chiko tinggal di rumah keluarga rubah, Bapak Rubah ingat janjinya dulu akan mengantarkan Chiko kembali ke keluarganya jika keadaan Chiko sudah pulih. Awalnya Chiko tidak mau berpisah dari mereka, namun Bapak Rubah selalu mengingatkan Chiko bahwa keluarganya juga pasti sangat cemas memikirkan anaknya yang tidak kunjung pulang.
Keesokan harinya, Bapak dan Ibu Rubah mengantarkan Chiko ke hutan. “Rumahku ada di balik bukit besar itu, Pak!” seru Chiko. “Baiklah kalau begitu, kami hanya mengantarkanmu sampai disini saja, sekarang temuilah keluargamu, mereka pasti sudah merindukanmu,” ujar Bapak Rubah.
Chiko lalu berpamitan kepada keduanya, Ibu Rubah tak berhenti menangis, ia sedih harus berpisah dengan Chiko yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. “Bapak dan Ibu Rubah, jika aku merindukan kalian bolehkah aku mampir ke rumah kalian?” ujar Chiko sambil menyeka air matanya. “Tentu saja nak, rumah kami rumahmu juga, kapanpun kamu mau kamu bisa mampir kerumah kami,” kata Bapak Rubah sendu. Chiko mencium kening Bapak dan Ibu Rubah sebelum akhirnya terbang menuju ke balik bukit. Chiko berjanji suatu hari akan kembali untuk mengunjungi keluarga rubah yang penuh cinta kasih tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H