Melihat situasi yang berkembang selama ini, permasalahan tidak akan selesai jika tidak dilakukan perundingan bersama. Masing-masing pihak tidak ada yang salah jika berpedoman pada asas tugas dan kepentingan yang bersifat subyektif. Pihak regulator tentu berlandaskan peraturan yang berlaku. Pihak transporter (sopir dan pemilik truk) berlandaskan situasi lapangan yang mereka hadapi saat ini. Pihak pemilik barang juga mempunyai pertimbangan dan alasannya sendiri (efisiensi biaya).
Karena tanpa koordinasi bersama, yang terjadi hanyalah masing-masing mempertahankan argumennya sendiri, atau dalam bahasa Jawa disebut "menange dhewe". Oleh karena itu dibutuhkan adanya koordinasi bersama dari berbagai pihak yang bisa terkait dalam bidang penyaluran barang dan jasa logistik, dan ada pengambil keputusan akhir untuk menyelesaikan masalah ini.Â
Persoalan ini bisa menjadi persoalan besar negara karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan pasti mempengaruhi harga jual barang, yang ujung-ujungnya masyarakat menjadi korban beban kenaikan harga. Jangan pula sampai terjadi kegaduhan yang tidak perlu, dimana dikemudian hari akan diralat kembali (atau bahkan hanya menyuburkan KKN) karena kurang masalah kurangnya koordinasi di awal penerapan.
Kami selaku transporter menyarankan adanya tim khusus untuk menggodok permasalahan ini, yang setidaknya berisi perwakilan dari: Kepolisian RI, Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, perwakilan organisasi pengemudi truk, perwakilan organisasi pengusaha truk, dan perwakilan dari organisasi pengusaha/pabrik pengguna jasa angkutan. Dan melaporkan hasil dari koordinasi kepada Presiden selaku penentu pengambilan keputusan negara.
Keinginan dari sisi transporter mengenai penolakan terhadap ODOL tidak berarti membiarkan Over Dimension dan Over Load yang sangat keterlaluan, seperti yang sering ditampilkan dalam video ketika truk bermuatan sangat tinggi sampai terguling, atau kejadian khusus seperti kasus kecelakaan yang sebetulnya terjadi karena human error, atau karena perubahan fungsi kendaraan yang tidak standar seperti modifikasi selang angin rem sehingga menyebabkan kecelakaan. Kami hanya ingin menemukan berapa batasan toleransi mengenai ukuran dan beban yang bisa dibawa oleh masing-masing jenis truk.
Mengenai Over Dimensi:
Untuk overdimensi yang keterlaluan, misal panjang bak melebihi 50 cm untuk belakang, bisa diminimalisir ketika perpanjangan KIR Kendaraan. Jadi semestinya tidak ada masalah berarti disini.
Yang diinginkan dari transporter, adalah dispensasi/toleransi dari SRUT masing-masing kendaraan, seperti yang sudah pernah tertuang pada surat edaran Dirjen Hubdat: SE.2/AJ.307/DRDJ/2018.
Namun penerapan dilapangan berbeda-beda, terkadang penguji berpatokan hanya pada ukuran yang tercantum pada SRUT, atau PP 55 Tahun 2012 Tentang Kendaraan.
Mengenai toleransi ukuran juga perlu dibicarakan kembali bersama dengan pelaku dan pengguna transportasi, berapa toleransi yang sebenarnya dibutuhkan.