Tulisan ini dibuat untuk menanggapi artikel Kompasiana dari Azaz Tigor Nainggolan, berjudul "(Polisi Ayo Tindak Tegas Truk Odol)" tanggal 21-01-2022.
Kami hanyalah pelaku usaha transportasi, bukan pengamat, analis, apalagi ahli transportasi yang ingin menggapi tulisan Bp Azaz, dan juga menanggapi berita-berita kecelakaan truk ODOL (Over Dimension dan Over Load) selama ini, dimana truk dan sopir hampir selalu disalahkan, dan juga mewakili para pelaku transportasi termasuk para sopir truk yang menurut kabar, hari Selasa 22-02-22 akan demo di berbagai tempat, secara umum mereka meneriakkan "MENGAPA KAMI YANG SELALU DISALAHKAN ?".
Sebagai gambaran awal, kami pemilik dan sopir truk, selama ini dalam kondisi terpaksa mengangkut muatan ODOL.
Karena situasi tuntutan pemilik barang, ongkos berdasarkan tonase, persaingan tidak sehat yang terjadi di bidang transportasi saat ini.
Oleh karena itu ada kecenderungan KONSUMEN (mungkin juga termasuk anda jika anda menggunakan jasa trucking) akan berusaha untuk menekan biaya serendah-rendahnya.Â
Itulah yang terjadi di lapangan pada saat ini mengenai muatan ODOL,konsumen masih bisa memaksakan tarif angkut yang murah, dan juga usaha penindakan masih tebang pilih hanya pada kami yang dalam posisi sebagai pengangkut/kurir/penyedia jasa angkutan yang oleh karena keadaan dituntut untuk mau mengangkut, jika usaha kami masih ingin berjalan.
Jangan dikira bahwa jika muatan kami "overload" berarti keuntungan kami juga overload, karena penentuan tarif angkutan sekarang adalah berdasar tonase. Semakin berat semakin murah ongkos per kg-nya.
Sebagai gambaran kasar:
1, Tarif Angkut Jakarta - Surabaya berdasarkan tonase : Rp. 250 / kg x muatan 30 ton = 7.500.000
2. Pengeluaran operasional (solar, tol, sopir dan kernet, makan, biaya lain) = 60% x Total Ongkos Angkut = 4.500.000
 Jika saat ini akan diterapkan untuk mengacu kepada JBI (yang berkisar separuh dari muatan sekarang), tentunya pemilik barang tidak akan mau membayar tarif angkut dengan total harga sama dengan tonase muatan separuhnya.