Debat putaran pertama (17/01) Capres-cawapres yang akan bertarung pada pilpres mendatang, tampak monoton dan kurang menggairahkan nalar publik. Nalar publik yang banjir dengan hoax dan narasi liar memang perlu mendapat kepastian dan pencerahan dari panggung perdebatan ini.Â
Akumulasi dari pertarungan isu dan narasi politik yang diproduksi secara massal tanpa memperhatikan fakta dan otoritas keilmuan berkelindan liar di Media Sosial telah menempatkan masyarakat pada "ruang tunggu"untuk menanti pencerahan dan kepastian pengetahuan dan pemahaman yang utuh tentang persoalan bangsa.Â
Sayangnya dalam perdebatan 17/01/19 kemarin, saya menyimak kedua kubu masih mengurung harapan pencerahan itu. Â Ide dan gagasan pencerahan belum dikeluarkan oleh para paslon.Â
Retorika
Semakin canggihnya nalar berdemokrasi menentukan dan memperkembangan nalar masyarakat terhadap situasi politik. Dengan demikian pula menuntut para politisi untuk menguasai retorika.Â
Retorika dan kekuasaan memang setali tiga uang. Namun retorika tidak sama dengan asal seni merangkai kata dan berargumentasi yang memikat semata. Tetapi retorika ialah seni berbicara, berargumentasi, evokatif dan mengendalikan bahkan mengubah persepsi audiens.Â
Tuntutan transparansi yang menjadi semangat perkembangan teknologi mestinya ikut memengaruhi para politisi untuk seni berbicara dan memikat simpati publik.
Namun dijaman sekarang retorika tidak sebatas seni berpidato, tetapi seni merangkaikan fakta, data yang sudah dikuantifikasi, program politik yang aplikatif, kalkulatif dalam target serta pencapaiannya, itulah yang diharapkan dan memikat banyak masyarakat yang telah disengat hoaks. Seni semacam ini memadukan data, fakta dan seni berkomunikasi yang luwes, sungguh dinanti-nantikan oleh publik.Â
Karena itu masing-masing capres, cawapres, perlu membenah diri pada debat putaran berikutnya agar menyajikan suatu paradigma kepemimpinan yang berkualitas, menawarkan solusi kemajuan, program yang terukur serta visioner kemajuan demi keselamatan dan kemajuan negara dan bangsa yang tercinta ini.Â
Pencerahan
Seperti kita semua tahu, hoaks telah menenggelamkan negara suriah yang berdaulat menjadi palagan pertumpahan darah antara warganya sudah semestinya pembelajaran bagi negara kita ini.Â
Masyarakat kita yang dicirikan oleh para pengamat sebagai masyarakat yang mengedapan emosi daripada nalar perlu didorong dan dibentuk kualitas kognitas sosialnya. Bila tidak benturan keberagaman akan meletuskan perpecahan yang tak berujung.Â
Panggung politik bertugas untuk ini. Dari agora politik para kandidat tidak lagi berargumentasi dan beropini lepas dan liar. Â Tetapi berargumentasi dengan fakta dan realitas hidup kebangsaan kita dan kemudian memberi solusi jitu terhadap permasalahan kebangsaan sebagaimana yang menjadi tema debat putaran pertama yaitu hukum, HAM, korupsi dan terorisme.Â
Tema debat ini menyentuh sekali dengan keutuhan dan kedaulatan bangsa kita tercinta ini. Mestinya kedua paslon perlu seefektif mungkin menyampaikan visi misi dan program mereka kepada publik, karena keempat tema ini menentukan harga mati dan keberlanjutan bangsa ini.Â
Bagi petahana misalnya perlu menjelaskan apa kendala dan persoalan dasar persoalan HAM, Â hukum, Â korupsi dan terorisme dan bagaimana program yang sudah dijalankan selama ini efektif atau tidak, bila memang memperkuat maka sertakan pula program unggulan untuk menanggapi permasalahan kebangsaan.
Demikian juga bagi lawan petahana, kubu Prabowo harus mampu membaca dengan teliti permasalah yang luput dari program petahana selama ini. Tentu saja perlu menyajikan datanya dengan baik. Lalu memberikan program untuk menjawab dan memperbaikinya.Â
Semoga debat putaran berikutnya kedua calon mampu mencerahkan nalar publik dan menjabarkan visi misi kepemimpinan mereka masing-masing.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H