Para pemain  kuasa sengaja memelihara konflik. Konflik bagi mereka adalah kartu As. Siapa yang mampu memainkan dan memanfaatkan konflik dengan tepat, ia pemenangnya.Â
 Siapakah para pemain kuasa itu? Pemain kuasa ialah mereka yang memiliki massa dan kekuasaan. Dalam teori transaksi jaringan, para aktor yang memiliki massa dapat saling bertransaksi dan siapa yang memiliki daya tawarnya kuat, dialah menjadi penguasa. Maka konflik adalah salah satu "barang dagangan" dalam permainan jaringan tersebut. Siapa yang rajin memainkan konflik dia bisa mencetak goal.Â
 Menurut saya, Indonesia adalah gelanggang permainan yang penuh dengan ranjau konflik. Mengapa? Karena indonesia memiliki keanekaragaman etnik, agama, budaya, dsbnya dan juga karena mentalitas masyarakatnya. Antropolog Koentjaraningrat menyebut mentalitas masyarakat indonesia ialah mentalitas "nerabas", cari gampang, kurang kritis, emotif dan bahkan ilusif.Â
 Seandianya keanekaragaman jika dikelola dengan baik menjadi sumber daya yang luar biasa. Energi konflik di arahkan menjadi energi positif. Misalnya, mengelola budaya dan pariwisata, memperbanyak sastra budaya lokal, dll. Tetapi bagi para pemburu kuasa, keanekaragaman adalah celah untuk membuat konflik massal.Â
 Konflik sosial selalu mempunyai motif dan ada yang memaanfaatnya. Misalnya Presiden Jokowi terkenal dengan pendekatan humanisnya seperti dialog sebelum penggusuran, human movement yaitu menggerakan manusia sebagi subyek pembangunan, dll. Nah, lawan Jokowi sebaliknya bisa memanfaatkan konflik untuk merong-rong dan mengukur kemampuan pemerintah.
 Jika menurut pengamat di dunia nyata, Indeks gini indonesia masih lebar, maka jurang antara kaya dan miskin juga makin lebar. Ini mungkin warisan dari pendahulu, namun tetap menjadi prioritas. Bagi Lawan Jokowi, ini adalah satu catatan untuk 2019. Nah, untuk menambah catatan mereka, perlu memainkan konflik. Jika Jokowi tidak mampu mengatasi konflik, maka catatan bertambah, kestabilan nasional tidak terjamin.Â
 Dari persoalan 1) jurang kaya dan miskin makin lebar, 2) konflik sosial tidak bisa diatasi, maka munculah kesimpulan Indonesia membutuhkan sosok yang bisa membela orang miskin dan kestabilan nasional. Sosok presiden yang mempunyai visi yang elegan, yaitu membela kelompok miskin dan stabilitas keamanan pasti lahir di 2019. Ingat, kemajuan ekonomi terkait erat dengan stabilitas nasional. Jika suatu negara konflik terus, muncul opini negara gagal, pemerintah gagal. Ini adalah boom untuk Jokowi.Â
 Saya kira arahnya kesana, 2019. Pilkada DKI adalah jalan masuk untuk menciptakan konflik itu. Politik SARA bisa menjadi virus untuk negeri ini.Â
 Konflik SARA adalah bola yang digelinding oleh lawan Jokowi untuk menjebol pertahanannya. Andai saja Jokowi menanggapinya dengan represif, (main gebuk saja) maka, rentetan cap otoriter, main kuasa, anti demokrasi, PKI bisa saja melemahkan Jokowi dan nasip seperti Ahok juga dialami oleh Jokowi. Â
 Bagi pendukung Jokowi, ini adalah game, sebuah permainan politik. Lawan Jokowi di 2019 pasti mengedepankan janji-janji politik seperti 1) politik idealistik dengan menawarkan nilai-nilai utopia religius, masyarakat madani 2) sosok yang mampu menstabilkan konflik (biasaya ini erat dengan militer) 3) sosok teknokrat yang mengedepankan visi ekonomi pro orang miskin. Â
 Ya, kalau saya boleh mengatakan, kekalahan Ahok adalah satu langkah kemenangan dari para pemburu kuasa di tahun 2019.
 Akankah Jokowi menjadi Presiden Indonesia lagi di 2019?Â