Mohon tunggu...
Tarsy Asmat
Tarsy Asmat Mohon Tunggu... lainnya -

Suka membaca buku, olahraga. perhatian pada kerarifan lokal dan filosofi dalam budaya masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polisemi Makna SBY ke Beranda Istana

14 Maret 2017   23:23 Diperbarui: 14 Maret 2017   23:48 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kunjungan SBY ke Istana Presiden Jokowi menarik untuk dicermati. Baik SBY maupun Jokowi, keduanya sama-sama mengenakan kemeja batik, menyeruput teh di beranda Istana. SBY membincangkan banyak hal termasuk gagasan membentuk group presiden dan mantan presiden, meskipun tanpa tawaran makan siang dari Presiden Jokowi.

Hemat saya, salah satu makna kunjungan SBY ke beranda istana pada beberapa hari lalu itu ialah SBY meminta priveledge (hak istimewa) dari rakyat dan Presiden. Mengapa demikian? SBY setelah turun dari Istana Merdeka, hidupnya tidak “merdeka” (baca: tidak nyaman). Berbagai isu besar kerap kali menghantui Benteng Cikieas sehingga sang mantan Presiden RI ke 6 ini bersama dengan pangeran birunya selalu sigap untuk menampik isu-isu yang menyerangnya, dengan rajin berkonferensi pers.

Publik tidak segan-segan menyudutkan mantan presiden RI ke-6 ini karena mengangkat anaknya menjadi Cagub Jakarta. Ia dianggap melakukan politik dinasti dan mengurus parpol seperti industri rumah tangga, tanpa meritokrasi. Dan ia mengebiri nilai demokrasi dalam partainya sendiri yang bernama demokrat. SBY juga dikaitkan dengan aksi bela Islam 212 pada tahun 2016 kemarin. Kasus-kasus lain seperti Centuri, Antazari dan kicaun-kicaun dibalik jeruji besi dari mantan-mantan anak buahnya juga membuat SBY pasti tidak tidur nyenyak.

Pada konstelasi dan perhelatan Pilkada DKI leg I kemarin, paslon kebanggan SBY kalah dalam pertarungan, padahal ia sudah turun langsung memobilisasi pendukungnya. Kekalahan cagub andalan SBY membuat koalisi Demokrat kemungkinan besar pecah. Ya, politik memang selalu pragmatis, sebab parpol di negeri kita ini identik dengan pencari kekuasaan. Politik adalah apa, siapa dan bagaimana mendapat kuasa. Koalisi dibuat bukan karena untuk kepentingan yang substantif yaitu membawa perubahan bangsa tetapi hanya untuk mendapatkan jatah kuasa. Itulah sebabnya, parpol dari koalisi gagal bersiap untuk melamar ke kubu-kubu Anis atau Ahok.

Tidak hanya kalah, gelanggang politik kemarin menelanjangi SBY sendiri sebagai mantan Presiden. Ia ditelanjangi oleh berbagai isu dan cuitannya sendiri. Oleh karena itu, jika SBY tetap eksis dengan title mantan presidennya, ia harus mampu berselancar diantara arus-arus isu untuk mencari ketenangan atau untuk meredam banyak pertanyaan dan cibiran publik terhadap berbagai kejanggalan-kejanggalan pembangunan pada jamannya. Maka salah satu cara yang ia lakukan adalah ia harus berani menyeberangi tembok imajiner yang membantasinya dari pemerintah saat ini. Ya, politik nonblog SBY pada pilpres 2014 justru bermanfaat untuk keselamatannya saat ini.

Pertemuan dengan Jokowi pun tercapai dan SBY tersenyum puas. Itulah pendekatan SBY. Jika tersudut, ia akan mencari celah untuk membangun karakternya, membangun image-nya kembali. Tidak ada cara lain untuk itu, ia harus mendatangi pemerintah mengatakan hal yang penting dan membangun kesadaran masyarakat bahwa ia adalah mantan presiden RI ke 6 meskipun berbagai mega proyek mangkrak pada jamannya dan koruptor-koruptor di sekitarnya meraja lela. Ia selalu menyebut kata “mantan presiden” selama ini-meskipun rakyat indonesia sudah tahu akan hal itu.

Kunjungan SBY ke Jokowi menurut saya adalah suatu upaya untuk mendapatkan priveledge seorang mantan presiden, mencari kenyamanan dan mungkin mau mencuci tangan dari perkara-perkara serta isu yang masih menguntitnya. Namun semuanya itu tergantung Presiden Jokowi saja. Saya kira Presiden Jokowi tetap tegas dengan isu-isu yang menyeret SBY. Kesalahan tetaplah kesalahan, jika isu-isu seputar SBY memang benar adanya dan biarlah hukum memperjelaskan semuanya itu agar publik tidak selalu di bodohin dengan isu-isu yang tak berujung penyelesaian.

 Makna lain dari kunjungan SBY adalah SBY menerapkan politik standar ganda. Demokrat secara publik menyatakan non koalisi pada pilkada DKI, namun SBY mengunjungi Presiden dari partai PDIP. Kunjungan SBY ke presiden memang sarat dengan politik simbolik yang arah dan tujuan politiknya samar-samar. SBY tahu Presiden harus bersikap netral pada pilkada, maka kunjungan ke Jokowi sebagai upaya mencari titik keseimbangan SBY sendiri-dan ia ahli untuk politik seperti ini. Namun kunjungan SBY ini tetap memberi ruang yang luas untuk penafsiran publik. Kunjungan SBY mau mengatakan biarlah publik mengartikan sendiri, toh publik tahu kan maksudnya?

Inilah politik cari nyaman dan jalan tol SBY. Dengan gesture politik seperti ini SBY aman dari sorotan publik juga aman dari arus gelanggang pertarungan politik DKI. SBY adalah sang strategos, penjaga image. Ia meredam isu-isu hangat yang terus bergelinding menuju Cikieas.

Apakah kasus Antasari, Century, pembangunan yang mangkrak menjadi sepi setelah kunjungan SBY ke Istana? Kalau sepi dan medsospun sepi membicarakan SBY lagi, itu berarti strategi jalan tol SBY ampuh.

Tidak bisa ditampik juga, kunjungan SBY ke beranda Istana merdeka, ikut menciptakan kerukunan bagi bangsa Indonesia. Akhirnya setelah SBY ke beranda istana, kita akan simak dan mencermati manufer-manufer dari politis demokrat sendiri pada hari-hari selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun