Tulisan ini merupakan sebuah kajian hermeunetis terhadap image atau foto. Anda seringkali berfoto, bukan? Dewasa ini, dengan perangkat fotografi yang mentereng, foto selfie atau foto narsis sangat diminati oleh berbagai kalangan mulai dari kalangan anak-anak hingga kelompok dewasa. Bahkan beberapa tokoh penting seperti Paus Fransiskus, Jokowidodo dan artis-artis papan atas bergabung narsis dengan kelompok selfie ini.
Disamping foto sebagai dokumen pribadi, foto juga merupakan alat propaganda sebuah idiologi tertentu, misalnya foto-foto kandidat capres-capres di musim kampanye politik, foto di media massa dan sebagainya. Bagi penafsir, foto itu bermuatan makna polisemi artinya sebuah foto memberikan banyak kesan dan makna bagi penafsir. Maka, tulisan singkat ini memberikan kesadaran bagi pembaca tentang arti dan makna sosiologis sebuah foto.
Foto dan Pesannya
Mari kita mulai membedah fotomu dengan pisau yang diberikan oleh Roland Barthens. Barthens menegaskan bahwa foto merupakan transmitor pesan. Ketika kita melihat sebuah foto, pikiran kita memberikan penilaian, oh pemandangannya indah, oh orangnya cantik sekali, atau seorang pria mengirim kan foto bunga kepada pacarnya, pesan yang disampaikan foto itu adalah i love you. Namun, foto juga bukan sekadar produk atau transmitor pesan tetapi ia juga merupakan sebuah objek yang memiliki otonomi struktural (Barthens : 1990).
Sebuah Foto menyajikan banyak pesan bagi pembacanya. Banyaknya pesan yang terkandung dalam foto itu dapat dianalisis melalui penelusuran dua makna penting yaitu denotatif atau analogon dan makna konotatif. Makna analogon dari sebuah foto adalah makna turunan atau kopian yang secara eksplisit dicerap pengamat, misalnya pemandangannya, orangnya dan sebagainya. Sedangkan makna konotatifnya adalah makna lapis ke dua dan ketiga dari foto itu. Misalnya foto seseorang dibawah spanduk Jokowi, barangkali foto itu memuat pesan ia seorang pendukung Jokowi, dsbnya. Demikian juga atribut-atribut yang tercerap dalam foto itu, misalnya, seseorang berfoto dengan bersorban, para pengamat foto barangkali mengaitkannya bahwa orang itu seorang religius, saleh dsbnya. Atau seseorang yang berfoto di perpustakaan, memperlihatkan banyak buku. Ia hendak menyampaikan pesan rasa keintelektualitasannnya.
Foto selfie atau narsis mengandung kedua makna ini juga : Analogon dan tafsiran. Ketika saya mengamati foto-foto di Sosmed, kebanyakan orang meng-up load foto dirinya yang terbaik, di edit, dipercantik melalui perangkat image editing. Secara analogon, foto selfie barangkali menampilkan wajah yang ceria atau disposisi diri, sebagai kenangan di suatu tempat atau kenangan persahabatan.
Namun ketika foto selfiemu ini di up load ke Sosmed dan difermak ulang, maka foto itu menyimpan makna konotatif. Dari kajian penulis, foto selfie yang sudah diedit dengan perangkat teknologi fotografi, seperti misalnya efek kamera, photo punia, Photoshope dan sebagainya memberikan banyak pesan konotatif. Ada beberapa tahap proses pelapisan makna konotatif dari sebuah foto yakni : 1) efek tiruan, misalnya menggantikan badan seseorang dengan badan atlet, seperti ronaldo atau messi. 2) pose atau sikap, foto senyum dan tertawa, menampilkan banyak pesan. 3) objek, misalnya foto dengan latarbelakang pantai atau gedung yang megah, dsbnya. 4) fotogenia pengeditan, pengaturan kontras warna dsbnya.
Tafsiran Fotogenia di Sosmed
Menarik sekali untuk dikaji fotogenia yang bertebaran di Sosmed. Dari foto Selfie sampai foto-foto yang sarat dengan muatan idiologis kelas wahid semuanya bermuara di Dumay. Masih ingatkan polimik foto Ibu Ani Yudoyono di Twiter?Foto Ariel pater Pan dengan Luna Maya?
Adalah Edgar Morin sebagai salah satu perintis perkembangan fotogenia ini. Fotogenia adalah foto yang sudah difermak atau direkaya demi suatu tujuan tertentu. Barthens kembali menegaskan bahwa Fotogenia itu memiliki struktur informasional. Dalam fotogenia pesan konotatif adalah imaji itu sendiri yang diperhalus dengan teknik-teknik pencahayaan, colour dsbnya, (Barthens, 1990 : 10).
Fotogenia atau foto editing paling marak dilakukan di Sosmed, seperti Facebook, tweeter dan sebagainya. Mengapa harus fotogenia? Fotogenia tidak hanya sekadar narsis atau ingin mendapatkan pujian serta teman baru di Sosmed. Fotogenia juga erat kaitannya dengan persoalan psikologis dan kultur.
Kecenderungan orang untuk mengekspose fotogenia secara denotatif barangkali sekadar iseng-iseng saja, namun lebih jauh dari itu, fotogenia memberikan makna konotatif yang perlu ditafsir.
Menurut penulis, fotogenia mencerminkan keadaan psikis tertentu yaitu pengalibian dari opini publik dan depresi kultural. Misalnya, teknik pencahayaan pada foto orang yang berkulit hitam, bisa disebabkan karena dominasi orang kulit putih. Orang kulit putih cenderung dihargai dibandingkan dengan orang berkulit hitam. Misalnya juga wajah yang penuh dengan jerawatan di blur atau smoothing dengan pengaturan cahaya sehingga wajah menjadi mulus dan halus. Maka secara konotatif fotogenia bisa menjadi objek kompensasi dari depresi cultur.
Fotogenia juga me-manage pesan, sehingga efeknya bisa meningkatkan harga diri seseorang. Foto berjilbab misalnya ingin memberikan kesan sebagai gadis yang sopan dan ramah, atau foto editan dengan bagian wajah diperhalus dengan teknik cahaya mendatangkan kesan atau pujian kepada pemilik fotonya, sehingga ia mempunyai banyak teman mendapatkan perhatian dari orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H