Mohon tunggu...
Tarsy Asmat
Tarsy Asmat Mohon Tunggu... lainnya -

Suka membaca buku, olahraga. perhatian pada kerarifan lokal dan filosofi dalam budaya masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuang Berkolar Biru

20 Januari 2015   18:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:44 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pria yang tinggal di bawah lereng Gunung Lusang itu menjadi obrolan panas masyarakatDesa Golo Lusang. Kas kus tentang dirinya merajalela dari telinga ke telinga, dari anak kecil sampai opa-opa dan oma-oma. Memang cerita tentang pria itu merambat cepat bukan lantaran ia bertabiat buruk tetapi karena ia seorang mantan tuang yang menjadi tukang pante tuak.

“Gradus, kau kenal tuang Alex, kan?”“Tuang Alex yang mana Largus, yang di Amerika atau dimana e?” “Lae acu kau Gradus, yang menjadi pastor paroki kita dua tahun yang lalu itu ka”.

“Terus, kermana (bagaimana)beliau?”

“Tuang itu sekarang tinggal di Lereng Golo lusang, Jadi tukang pante tuak”.

“Hahhh, yang benar sa (saja), tuang pante tuak?” Bola mata Gradus hampir jatuh. Dia tidak percaya kalau Tuang Aleks jadi tukang pante tuak. “Kau jangan sembarang ngomong e, itu tuang terkenal baik sekali!” Katanya.

“Sumpah seribu kali, demi Tuhan penguasa dunia Gradus, saya tidak tipu kau, wajah tuang Aleks tidak berubah, hanya kumis dan jenggot lebatnya semberawut, dia masih memakai topi beludunya dan mengenakan sepatu boot. Beliau juga memberiku tuak, satu gelas pull!”

“Komentarmu?”

“Yaa..tuak beliau berkelas, sangat enak ditenggorokan!”

“Kau tidak tanya, kenapa tuang tinggal di situ?”

“Alahhh, kau itu, kau tau sendirikan kalau berbicara dengan tuang Aleks? Rambut kritingnya selalu kritis. Nanti dia bilang, untuk sebuah pertanyaan inikah engkau datang kemari, Yudas?” Tuang juga membuat galur-galur tanah untuk ditanam sayur dan menggarap beberapa hektar tanah untuk menanam berbagai macam tanaman.

“Dasar mulut penjual obat. Saya kurang percaya kau punya omongan itu, entah dalam keadaan sadar atau mabuk, kau sama saja. Gus... kau tahu tidak, siapa dan apa yang sedang kau omong itu? Bagi masyarakat kita, Tuang itu letang temba laro jaong antara kita dengan Mori Mese. Tidak mungkinlah, tuang Aleks seperti itu”, mana ada tuang seperti itu, Largus? Kata Gradus, kecuali….

Acu kode kau Gradus, saya punya mata kepala sendiri yang lihat, bukan mata kerbaumu, kenyataan memang demikian, jangan-jangan dia selama ini…..”

“Maksudmu? Kau curiga dengan dia? Aku kenal baik dengan Tuang Aleks. Tidak mungkin dia berbuat…….?”

“Tetapi, namanya manusia kan, bertampak kalem tetapi kalo mendehem, dalam sekali, Gradus. Largus meringkik seperti kuda jantan, tertawanya menggelegar. “Bisa jadi….. bahhh, tapi tolong satu batang rokok suryamu dulu kraeng”.

“Hah, tai kau, makanya kau pergi harian ibu Tomas tho, untuk beli rokok. Wajahmu memelas seperti kucing kelaparan kalau tanpa asap, (hahaha).

Hei broo, selasa untuk saya, rabu untuk kau, hari ini aku tak punya, besok mungkin giliran kamu memelas-melas, ia kan?” Itu hokum kuno Gus, tidak berlaku untuk Gradu,. Tetapi Gradus membuka topinya, diambilnya bungkusan rokok surya dan menyodornya ke Largus. Largus mengambil tiga batang rokok sekaligus, satu batang untuk pagi, satu batang untuk siang dan satu batang sebelum tidur malam. Wajah Largus sumbringah setelah menerima sebatang rokok dengan bonus dua batang rokok lagi untuk persedian. Tetapi cara Largus mengisap rokok itu menjijikan. Dia menyedot asap rokok sampai pipinya kecil, lalu asap tebal akan keluar perlahan-lahan dari lubang hidung dan mulutnya sekaligus. Asap rokok itu membakar atap rumah ijuk pada bibir bagian atas Largus, karena kumisnya lebat seperti lintah gemuk.

***

Suatu sore, matahari barat menyaput pucuk Gununug Lusang, hanya segumpal kabut, mendekap bagian puncaknya. Tuang Aleks berjalan tergopoh-gopoh dari hutan. Pakaiannya kumal karena seharian bekerja keras. Pada bagian samping kanan pinggangnya sebuah parang bergantung disarungnya. Dia memikul dua kendi panjang yang terbuat dari bambu, berisi tuak dari pohon aren. Di depan pondoknya beberapa cerigen 50 liter berjejer, ditata rapi, semuanya sudah terisi penuh dengan tuak. Sepuluh meter di samping kanan pndoknya, sebuah bangunan kapela kecil beratap ijuk dan berbentuk bulat berdiri kokoh kuat, mungkin tempat tuang Alex berdoa. Suasana tempat itu tenang dan sejuk, hanya suara burung-burung dan binatang yang sedang malang melintang terdengar brisik.

“Selamat sore, romo?” Gradus dan Largus membungkuk di depan tuang Aleks.

“Tuang Aleks mengamati wajah mereka, kau Gradus kan? Ia romo dan ini Largus” “Oh, saya tidak pernah lupa wajah kalian! “kalian berdua mau minum tuak kah!

“Jangan repot-repot romo!” jawab Largus diplomatis. “Hei Largus, bukankah tubuh kita ini bait Allah? Jangan-jangan romo mencobai kita saja!” bisik Gradus ke Largus.

Tuang Aleks mengeluarkan dua buah gelas, lalu menuang tuak separuh-separuh untuk masing-masing gelas. Satu gelas untuk Largus, satu gelas untuk Gradus, dan satu gelas lagi untuk tuang Aleks sendiri.”

Beberapa menit kemudian empat pria lain datang, badannya tegap, rambutnya cepak, dan kalau tidak salah mereka itu anggota Polisi atau tentara. Mereka menyapa ramah tuang Aleks. dan membeli beberapa botol, tuak BM”. Setelah mendapat BM mereka segera pergi. “Kau lihat, pasti mereka itu polisi kan?”

Sepertinya demikian Gus. Tapi, tuang Aleks kan tidak takut kepada siapapun, kalau apa yang dibuat itu benar menurut keyakinannya, Tuhan juga pasti ia lawan.

“Tuhan?”

“Maksud saya, Tuhan yang dalam dogma-dogma itu kah”.

Neka rabo, Romo, apa boleh saya menanyakan sesuatu?”

“Apa yang ingin kau sampaikan, sampaikan saja Gradus.

“Romo… orang-orang di desa kita ini, bertanya-tanya, kenapa romo..?”

“Jadi tukang pante tuak?Ah Gradus itu biasa?

“Tetapi, orang-orang mengira lain, romo pasti tau maksud saya, karena banyak romo yang meninggalkan imamat mereka. Mengapa romo tidak Tuhan sertamu saja di atas altar, mengapa harus bekerja seperti ini, kalaupun mau bekerja tetapi tidaklah seperti ini, biar kami saja yang bekerja kasar romo!

“Tuang Aleks memandang Gradus dan Largus. Kedua pemuda ini menunduk, mata mereka memaku pada gelas-gelas tuak. “Hei Gradus dan Largus, kalian sudah sarjanakan? “ia Romo…”. “Lalu apa yang kau buat di kampungmu?”

“Kami hanya kerja serabutan, romo.”

“Dan kalian terus menunggu Negara memberimu gaji? Banyak orang yang sekolah dari tempat kita, tetapi sedikit orang bertanya dan mencari solusi, kenapa para pekerja keras miskin?” Banyak orang ke Gereja, tetapi banyak orang tidak berbelas kasih dibumi ini? Jika cinta kasih itu hilang, maka kemiskinan dan kebusukan tumbuh subur di sana. Manusia sekarang menganggap bekerja kasar itu tidak mulia, tidak jaman lagi, anak-anak tidak mau jadi petani, mereka merantau kemana-mana ke negeri orang, dijual orang dan menjadi budak”. Kalian yang sudah sarjana, pernahkah kalian memikirkan tentang nasib masyarakatmu?”

Saya disini, karena aku gelisah. Gelisah pada wajah-wajah pekerja keras tetapi mereka tetap miskin. Dari tempatku bertugas, ya diparoki kalian, dedaunan enau melambai-lambai memanggilku, dalam hati aku berkata, untuk apa Tuhan menanam enau-enau itu di Golo Lusang ini? Apakah mereka sekelompok tanaman tidak berguna? Ternyata mereka berguna. Dari nenek moyang sampai kita, pohon-pohon ini memberi hidup dan harapan. Itulah caraku hingga aku disini, bahwa mencari nafkah itu tidak usah pergi jauh, kelola saja yang sudah ada, asal mata dan kupingmu serta otakmu bekerja keras. Enau-enau ini memberi kita nira dan tuak, mau kah kalian bekerjasama dengan aku? Kalau kalian mau, aku akan mendirikan dua pondok lagi, satunya di sana untuk Gradus, dan di bawah sana untuk Largus. Kalian dua menjadi tukang pante tuak professional.

“Largus dan Gradus, menyambut tawaran Tuang Alex.

“jadi kalian serius?

“Serius! jawab mereka berdua, kompak.

“Tuak kalian akan diberi label, saya sudah bekerja sama dengan beberapa peneliti yang memberikan kepada kita kadar-kadar alkhol dalam tuak BM dan bapak polisi berjanji akan memberi lesensi terhadap produk kalian.

“Tuang, bukankah Negara kita melarang miras?

“Largus, sejak nenek moyang kita, minuman mereka adalah tuak!” Dengan izin resmi dan label kesehatan, produk tuak ini tidak dihambat-hambat oleh siapapun”

“tetapi kita kan harus membayar pajak!” Tanya, Largus

“Hei Largus, kau ini, berikan kepada kaisar apa yang wajib kau berikan, dan kepada…jawab Gradus jenaka. Dibalik topi beludunya, tuang Alex tidak bisa menahan ketawa. Geli.“

“Anak muda, siapa lagi kalau bukan kalian, mari balik tanah, kotorlah tanganmu sebab dipundakmu ditaruhlah harapan banyak orang. “Jangan mudah lari dan pergi meninggalkan tanahmu, ambilah tova, skop dan mulailah berusaha”. Kalian yang sarjana dan punya isi kepala, beranilah mengabdi dan kreatif pada daerahmu, Kata tuang Aleks member semangat pada Largus dan Gradus.

Lalu Largus menyela, “Romo siapa yang memimpin misa untuk kami dan siapa yang memberi kami nasihat, kalau tuang kami pante tuak?”

Catatan :

Letang temba laro jaong : lidah perantara

Tukang pante tuak : Pembuat moke

Tuang : Imam

Harian : upahan

Mori mese : Tuhan maha besar

Acu kode : Anjing monyet

Lae acu : kontol anjing

Neka rabo : Jangan marah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun