(2). Secara medis, menurut bidang ilmu psikiatri yang dijelaskan para psikiater, gangguan bipolar tidak bisa disembuhkan dan penderitanya harus menum obat penyetabil mood seumur hidup. Saya sendiri, seperti yang saya ceritakan di atas sudah merasa pulih dasri gangguan bipolar dan tidak pernah relaps/kambuh lagi sejak tahun 1998 sampai sekarang. Uniknya saya tidak pernah minum obat antidepresan (anti depresi) atau mood stabilizer (penyetabil mood). Disaat penderita bipolar lain berjuang untuk memperoleh kesembuhan dengan terus mengonsumsi obat-obatan, saya bisa pulih tanpa menggunakan obat. Tentu saja ini menjadi unik bahkan aneh secara medis. Beberapa orang teman bipolar malah meragukan, apakah benar saya pernah mengalami gangguan bipolar? Karena itu tadi, kok bisa pulih tanpa bantuan obat-obatan. Bukan hanya mereka, saya sendiri mempertanyakan soal ini sejak 24 tahun lalu, mengapa saya bisa pulih dari gangguan bipolar tanpa obat?
(3). Sejak kelas 3 SMA saya sangat aktif melakukan aktivitas olahraga (Volley Ball) bahkan terus berlanjut dan semakin aktif setelah saya lulus SMA sampai saya menikah. Sejak saya aktif berolahraga itulah saya merasakan percepatan dalam proses pemulihan gangguan bipolar saya. Saya mempertanyakan: Apa pengaruh positif aktivitas olahraga terhadap pemulihan gangguan bipolar? Apakah aktivitas olahraga tanpa saya sadari mampu memperbaiki ketidakseimbangan kimiawi di tubuh saya?
Artikel ini mengutip pandangan, pemahaman dan pengalaman dokter ahli penyakit dalam dan jantung terkemuka di negara yang ilmu kedokterannya paling maju dan modern. Silakan simak penjelasan sang dokter yang berpikiran terbuka dan revolusioner ini di paragraf demi paragraf artikel ini.
Dr. Junger, menjelaskan dengan detail dan gamblang tentang bagaimana cara mengaktifkan kembali produksi serotonin dalam tubuh dan menghilangkan pikiran berkabut atau kesedihan. Ini mungkin menjadi langkah besar untuk memulihkan kondisi psikis dan mengembalikan semangat hidup sesungguhnya. Dijelaskan pula bagaimana obat-obat antidepresan berperan mengembalikan proses produksi serotonin dalam tubuh.
Kate, berusia 30 tahun, tengah mengalami masa depresi. Dia berkonsultasi dengan psikiater yang mengatakan kepadanya bahwa dia mengalami “ketidakseimbangan senyawa kimia”. Kate mendapat resep antidepresan dan ketika dosis rendah tidak membuat suasana hatinya bertambah baik, resepnya ditingkatkan hingga dosis maksimum. Dosis tinggi ini mengganggu Kate. Dia merasa tidak nyaman dengan obat-obatan itu. Suasana hatinya tetap buruk—tetapi setidaknya nyeri di dadanya membaik dan kecemasan yang membuat dia sulit bernapas agak berkurang. Berat badannya naik hingga 12.5 kg selama menggunakan obat yang diresepkan. Ironis, karena kesedihan yang dialaminya akibat kondisi ini, sama banyaknya dengan kesedihan yang berhasil diatasi antidepresan.
Anti depresan merupakan bagian dari kelompok obat yang disebut inhibitor/penghambat pengambilan kembali serotonin selektif (selective serotonin reuptake inhibitor/SSRI). Kelompok obat ini dirancang untuk meningkatkan kadar serotonin yang rendah—bukan dengan meningkatkan produksinya, melainkan dengan membuat jumlah serotonin yang tersedia dalam tubuh bersirkulasi lebih lama sebelum dinonaktifkan. Meskipun sangat menguntungkan dalam kondisi depresi tingkat sedang, untuk membuat kondisi seseorang lebih stabil, obat-obatan ini jarang sekali mengatasi masalah sesungguhnya: sesuatu dalam “pabrik” serotonin di usus, tempat sebagian besar serotonin diproduksi, telah menyalahi aturan.
Untuk meningkatkan serotonin dalam tubuh Kate, Dr. Junger berusaha memperbaiki apa pun yang menyebabkan produksi serotonin dalam tubuhnya menurun. Masalah paling umum yang dialami wanita seusianya adalah penurunan fungsi kelenjar tiroid.Ini disebabkan oleh stress, alergi dan defisiensi nutrisi. Kondisi ini dapat menaikan berat badan dan depresi. Dengan memperbaiki sistem dalam tubuhnya, melalui program DETOX,produksi serotonin dalam tubuhnya berpeluang untuk pulih dan tiroidnya dapat bekerja seperti sediakala.
Kate, menjalani program DETOX selama 6 minggu, karena dia merasa luar biasa sehingga ingin tetap menjalani program itu. Akhirnya berat badan Kate turun sebanyak 15 kilogram dan penampilannya jauh lebih baik daripada sebelumnya. Dr. Junger bekerjasama dengan psikiater Kate untuk menurunkan dosis antidepresannya setahap demi satahap.
Ketika lingkungan usus Anda mengalami kerusakan dan inflamasi, terjadi penurunan kadar serotonin secara perlahan,karena sebagian besar serotonin diproduksi dalam usus di bawah kondisi yang tepat. Ketika anda mengalami gangguan dalam usus, ini akan mengubah, secara fisik, perasaan Anda dan cara Anda merespon lingkungan sekitar Anda. Suasana hati dan perasaan Anda akan bertambah buruk, berubah menjadi apati, tidak peka, atau tidak bersemangat. Penjelasan ini dapat dipandang sebagai pemahaman ilmiah modern dari penurunan semangat hidup. Semua ini disebabkan oleh toksisitas.
Sebagaimana diketahui oleh setiap orang yang memahami psikologi dan fisiologi, gambaran depresi jauh lebih rumit dari pada ini. Banyak neurotransmitter lain yang terlibat dan mungkin mengalami ketidakseimbangan di bagian tubuh lain. Masalah toksin ini kemudian diperparah dengan gangguan jantung dan jiwa yang tidak terdeteksi saat pemeriksaan fisik.