Mohon tunggu...
Tarjo Binangun
Tarjo Binangun Mohon Tunggu... -

Saya TIDAK selalu benar, bagaimana dengan Anda?

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"MK Lupa Etika, Terjadilah Perampokan Bertopeng Demokrasi"

2 Oktober 2014   23:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:36 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_326933" align="aligncenter" width="600" caption="www.pekanbaru.co"][/caption]

(Opini oleh: Tarjo Binangun)

Kegaduhan di sidang paripurna DPR adalah buntut dari kemenangan UU MD3 yang dikukuhkan oleh MK. MK boleh jadi melihat bahwa UU MD3 tidak bertentangan dengan UUD, tapi apakah semua UU yang tidak bertentangan dengan UUD harus dimenangkan atau pasti baik untuk segera diimplementasikan? Bukankah tidak mungkin UUD mencakup semua etika yang ada?

Saya justru tidak paham ketika UU MD3 dikukuhkan oleh MK, sepertinya MK lupa ber-etika, dan hal itu adalah preseden yang tidak baik, mencontohkan mayoritas berhak sewenang-wenang. Bagaimana mungkin memperlakukan UU MD3 yang dibentuk setelah adanya hasil Pemilu Legislatif? Padahal UU MD3 tersebut mengatur aturan main tentang anggota legislatif itu sendiri. Sungguh MK tidak peka keadaan, jadi pasti tidak ada rasa bersalah atau bahkan tidak merasakan apa-apa atas kejadian ricuhnya sidang paripurna, atau jangan-jangan menyalahkan atau bahkan menggoblok'kan fraksi-fraksi yang walk-out?

Terlebih lagi UU MD3 tersebut dibuat oleh sekumpulan anggota yang telah bersekutu dan bertujuan merampok dengan pakai topeng demokrasi hak-hak anggota lain yang tidak bersekutu. Mereka bersekutu terlebih dahulu, lalu menghasilkan aturan-aturan yang sangat jelas terbaca menguntungkan mereka. Seperti misalnya, pertimbangan untuk mengusulkan calon paket pimpinan DPR, kenapa minimal harus oleh 5 fraksi? Apakah bukan karena mau bagi-bagi jatah kekuasaan karena untuk memilih 1 Ketua dan 4 Wakil Ketua DPR? Juga supaya pihak sebelah tidak bisa mengusulkan calon karena tahu tidak punya kelompok sejumlah itu?

Lucunya, pada kelompok tersebut pertimbangan atas siapa yang dicalonkan untuk ditunjuk sebagai ketua DPR karena mempunyai saham suara terbanyak, padahal UU MD3 dibuat untuk mengharamkan hal itu. Jadi dasar berpikirnya adalah UU MD3 hanya berlaku untuk mereka yang diluar kelompoknya. Itulah ciri-ciri pelaku yang menghendaki hukum tumpul keatas tajam kebawah. Atau kata-kata bijaknya adalah: "SEMUA WARGA NEGARA HARUS PATUH HUKUM!!"(*) Lalu catatan yang menerangkan tanda bintang adalah: (* = kecuali saya pembuat UU-nya) yang ditulis pakai huruf ukuran sangat kecil.

UU MD3 dibuat justru diberlakukan untuk DPR periode yang akan datang(2014~2019) oleh mereka yang akan segera berakhir masa tugasnya(2009~2014), ini sungguh sangat keterlaluan. Bukankah sudah juga diketahui bahwa DPR periode berikutnya banyak anggota baru bahkan fraksi baru Nasdem? Bagaimana dengan pertimbangan hak-hak mereka yang tidak dilibatkan dalam pembahasannya?

Bagaimana nasib Negeri ini kemudian, ketika KPK-pun dibuat tidak mudah lagi menangkap koruptor? Jadi agaknya mereka terinspirasi tentang Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) pada gonjang-ganjing tudahan Pilpres yang lalu, dan sekarang mencoba membuat PTSM (Perampokan yang Terstruktur, Sistematis dan Masif) maka membuat UU yang memungkinkan untuk merampok Negara secara berkelompok dengan topeng demokratis, yakni membolehkan asal disetujui sebelumnya, dan pemaksaan persetujuannya dengan cara pemaksaan lewat voting yang penting menang jumlah. Mengerikan.

Tapi pertimbangan oleh MK adalah ketika penggugat adalah bagian dari pembuat UU tersebut, maka dianggap sebagai pembuat tidak selayaknya menggugat produk hasil UU-nya. Walau kenyataan yang menolak adalah bagian yang kalah dalam proses voting pembuatan UU itu, jadi intinya yang menggugat adalah bagian dari satu lembaga yang namanya DPR sedangkan UU tersebut adalah produk dari DPR. Sungguh itu pertimbangan praktis yang lupa mempertimbangkan etika dan tidak mempertimbangkan lebih luas atas sebab akibat maupun latar belakang lain. Menyedihkan, seperti robot saja yang memang tidak punya perasaan dan etika. Sedangkan UU MD3 tersebut juga tidak bisa dipermasalahkan oleh kalangan lain atau kalayak umum, karena UU MD3 memang hanya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan anggota DPR, jadi rakyat umum pastinya dianggap tidak dirugikan?

Menurut saya yang seharusnya dilakukan oleh MK, kalau toh tidak menyalahkan UU MD3 tersebut karena memang tidak bertentangan dengan UUD, atas dasar etika maka selayaknya UU MD3 BISA DIBERLAKUKAN UNTUK DPR PERIODE BERIKUTNYA (2019~2024), peraturannya dibuat dahulu sebelum hajatannya dimulai. MK yang kurang peka atau ada apa-apa-nya? (Sekian, maafkan karena artikel ini dibuat oleh saya yang tidak paham hukum)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun