Namun, kedudukan perempuan mengalami kemunduran di masyarakat Sunda akibat beberapa faktor. Pertama, feodalisme di zaman Kerajaan Mataram menempatkan istri sebagai lambang status pria, mengakibatkan pergeseran peran perempuan dari subjek menjadi objek. Kedua, datangnya agama Islam disertai pemahaman salah tentang konsep perempuan dalam Islam, dipengaruhi oleh pandangan negatif dari budaya Arab terhadap perempuan.
Selanjutnya, tradisi-tradisi merugikan perempuan, seperti kawin paksa, kawin gantung (pernikahan anak-anak), dan penceraian sepihak, juga memperburuk kedudukan perempuan. Kondisi ekonomi Indonesia yang merosot pada abad ke-19, terutama di masa kolonial, ikut berkontribusi pada kemerosotan umum, khususnya di Jawa. Dampaknya, muncul tradisi yang membatasi kebebasan perempuan, terutama terkait pernikahan anak-anak.
Dewi Sartika mengalami langsung ketidakadilan ini ketika tinggal bersama keluarga pamannya di Cicalengka. Pengalaman ini memicu tekad kuat untuk memajukan perempuan melalui emansipasi. Dewi Sartika ingin mendirikan sekolah perempuan yang mengajarkan pelajaran agama Islam. Emansipasi perempuan, baginya, seharusnya lebih fokus pada peningkatan kesadaran akan hak dan kewajiban, serta memberikan pemahaman tentang nilai-nilai qur'ani. Hal ini diharapkan dapat membebaskan perempuan dari gangguan yang dapat menghancurkan kesucian mereka.
Konsep Pendidikan Perspektif Dari Dewi Sartika
Konsep dapat diartikan sebagai suatu ide yang menggabungkan beberapa elemen menjadi satu ide utama, diungkapkan dengan kata-kata, simbol, atau tanda. Menurut Bruner, konsep terdiri dari lima elemen, yaitu nama, contoh, atribut, nilai atribut, dan aturan. Konsep ini merupakan hasil dari pemikiran manusia yang diperoleh melalui fakta-fakta dan peristiwa, dijelaskan dalam definisi, dan berguna untuk memecahkan masalah sehari-hari. Proses perolehan konsep terjadi saat unsur-unsurnya diidentifikasi dan dipelajari kebenarannya. Komponen konsep melibatkan nama (sebagai label kategori), atribut (karakteristik objek), contoh-contoh (positif dengan atribut nonesensial), dan definisi (penyataan khusus atribut konsep, hasil dari identifikasi atribut esensial dan nonesensial dari contoh positif dan negatif).
Perspektif Pendidikan Menurut Dewi Sartika
Dewi Sartika memandang perempuan sebagai subjek utama dalam pendidikan dengan tujuan memberdayakan mereka untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat. Subjek pendidikan versi Dewi Sartika adalah perempuan yang perlu diberdayakan, diberikan akses ke pengetahuan, dan dikembangkan potensinya melalui proses pendidikan.
Objek Pendidikan Dewi Sartika
Menurut Dewi Sartika, objek pendidikan adalah perempuan, terutama yang pada masa itu sering diabaikan dalam hal akses pendidikan. Dengan mendirikan Sekolah Kartini pada tahun 1904, Dewi Sartika berupaya memberikan pendidikan kepada perempuan, memberi mereka kesempatan memahami dunia, meningkatkan keterampilan, dan mempersiapkan diri untuk berperan aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Tujuan Pendidikan Menurut Dewi Sartika
Dewi Sartika mengarahkan tujuan pendidikan untuk memberdayakan perempuan agar dapat berperan lebih besar dalam masyarakat. Pendidikan diarahkan untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan, meningkatkan kualitas hidup mereka, dan menciptakan lingkungan di mana perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Tujuan ini melibatkan pengembangan aspek akademis, karakter, dan keterampilan praktis sesuai kebutuhan masyarakat. Bagi Dewi Sartika, pendidikan tidak hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga memberdayakan individu, khususnya perempuan, untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan sosial dan mencapai kesetaraan gender. Melalui upayanya mendirikan Sekolah Kartini, Dewi Sartika berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan bagi perempuan dan mengubah pandangan masyarakat terhadap peran perempuan dalam pembangunan nasional.