Krisis diplomatik antara Qatar dan Arab Saudi telah menjadi sorotan global dalam periode tahun 2017 sampai dengan 2020. Konflik ini telah mempengaruhi dinamika politik dan ekonomi di Timur Tengah, serta hubungan antara negara-negara di kawasan tersebut. Bagi Arab Saudi maupun Qatar dampak krisis diplomatik ini terasa luas dimana Arab Saudi kehilangan stabilitas regional dan sekutu penting, sementara Qatar menghadapi isolasi politik dan gangguan pertumbuhan ekonomi. Qatar dan Arab Saudi adalah dua negara dengan pengaruh geopolitik dan diplomatik yang signifikan di Timur Tengah. Keduanya adalah negara Arab yang kaya akan sejarah dan budaya yang memainkan peran penting dalam perdamaian dan keamanan kawasan. Arab Saudi telah lama menjadi pusat pengaruh politik, ekonomi, dan agama di Timur Tengah, karena tanahnya yang luas dan populasinya yang besar. Negara ini adalah rumah bagi dua kota paling suci Islam, Mekah dan Madinah, dan memiliki sumber daya minyak yang melimpah, menjadikannya produsen terbesar di dunia. Arab Saudi juga memiliki kekuatan yang cukup besar dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sering menjadi pemain terkemuka dalam urusan politik regional.
Sebaliknya, Qatar, sebuah negara kecil yang terletak di semenanjung Arab di Teluk Persia, telah menyaksikan ekspansi ekonomi yang luar biasa dalam beberapa dekade terakhir. Qatar juga kaya akan gas alam dan minyak, menjadikannya salah satu negara dengan PDB per kapita terbesar di dunia. Qatar juga menjadi tuan rumah sejumlah acara internasional penting, termasuk Piala Dunia FIFA 2022. Sikap politik dan tujuan strategis berbeda antara kedua negara. Arab Saudi biasanya memiliki pendekatan yang lebih konservatif untuk urusan internasional dan memiliki hubungan yang lebih dalam dengan Islam Wahhabi, sedangkan Qatar telah menunjukkan kecenderungan lebih mandiri dan inklusi dalam interaksi internasional. Kesenjangan ini telah menghasilkan dinamika yang rumit dalam hubungan Qatar-Arab Saudi.Â
Terlepas dari sudut pandang mereka yang berlawanan, Qatar dan Arab Saudi menikmati ikatan yang dalam melalui hubungan budaya, etnis, dan sejarah yang sama. Qatar dan Arab Saudi sama-sama anggota Gulf States Cooperation Council (GCC), yang juga terdiri dari Uni Emirat Arab, Kuwait, Oman, dan Bahrain. GCC berupaya meningkatkan kerja sama ekonomi dan politik di antara negara-negara anggotanya. Namun, hubungan antara Qatar dan Arab Saudi diguncang pada tahun 2017 ketika Arab Saudi, bersama dengan beberapa negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC) lainnya, memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar dan menjatuhkan sanksi ekonomi pada negara tersebut. Sengketa ini telah menimbulkan krisis diplomasi yang berdampak pada dinamika politik dan ekonomi Timur Tengah.
Dalam periode tahun 2017-202, krisis diplomatik antara Arab Saudi dan Qatar telah mengirimkan gelombang kejutan di kancah politik Timur Tengah. Perang yang kompleks ini telah membuat kawasan tersebut tidak stabil, mempengaruhi dinamika ekonomi, dan mempererat hubungan antara negara-negara Arab di kawasan tersebut. Dalam pengantar ini, kita akan melihat sejarah krisis, keadaan yang memicunya, dan konsekuensi dari konflik ini. Krisis diplomatik antara Arab Saudi dan Qatar dimulai pada Juni 2017, ketika Arab Saudi, bersama dengan UEA, Bahrain, dan Mesir, memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Tindakan tersebut melibatkan pemutusan hubungan politik, ekonomi, dan transportasi, mengisolasi Qatar dari mantan mitra utamanya. Tuduhan yang dilontarkan terhadap Qatar oleh Arab Saudi dan para pendukungnya sangat bervariasi. Mereka percaya bahwa Qatar telah mensponsori organisasi teroris, mencampuri urusan dalam negeri negara lain, dan membentuk hubungan yang tidak semestinya dengan Iran yang merupakan saingan regional Arab Saudi. Selain itu, peran media Qatar, khususnya jaringan berita Al Jazeera, telah dipertanyakan, dengan pernyataan bahwa liputannya membuat wilayah tersebut tidak stabil.
Dari adanya krisis ini, Qatar memberlakukan kebijakan luar negeri yang penting sebagai tanggapan atas konflik diplomatik antara Arab Saudi dan Qatar dari 2017 hingga 2020. Kebijakan tersebut akan berfokus pada menstabilkan hubungan Qatar dengan negara-negara kawasan sekaligus memperkuat citra Qatar di dunia internasional. Qatar mengejar kebijakan internasional ini sebagai tanggapan atas tuntutan Arab Saudi. Penolakan itu dilakukan karena tuntutan Arab Saudi dianggap mengancam kedaulatan Qatar dan memaksakan kebijakan luar negeri negara tersebut. Selain itu, Qatar mengakui bahwa kekayaannya dari gas alam dan ekstraksi minyak memungkinkannya mengatasi dampak konflik diplomatik dengan Arab Saudi. Akibatnya, Qatar memilih untuk menolak tuntutan Arab Saudi dan menghadapi situasi diplomatik melalui berbagai strategi luar negeri. Tuntutan Arab Saudi termasuk penutupan outlet media yang menghasut, pengurangan hubungan diplomatik dan militer dengan Iran dan Turki, penghentian dukungan untuk organisasi teroris dan Islam, dan penguatan hubungan dengan negara-negara GCC.
Pilihan Qatar untuk menghadapi krisis diplomatik dengan Arab Saudi konsisten dengan tujuan nasional negara tersebut untuk menjaga kedaulatan dan bersaing dengan pengaruh Arab Saudi. Qatar juga berusaha untuk memenuhi tujuan nasional jangka panjangnya untuk lebih mandiri dari pengaruh Arab Saudi dan membangun kemitraan dengan negara lain seperti Iran dan Turki. Akibatnya, Qatar akan bebas mengejar kebijakan luar negeri yang aktif dan otonom di masa depan tanpa harus tunduk pada Arab Saudi.
Normalisasi Hubungan dengan Negara kawasan Timur Tengah
 Ketika terjadi krisis diplomatik antara Qatar dan Arab Saudi, Iran memberikan bantuan yang signifikan kepada Qatar dalam menangani dampak konflik tersebut. Terlepas dari kenyataan bahwa hubungan diplomatik antara kedua negara tegang setelah Qatar menarik duta besarnya dari Iran pada tahun 2016, Iran terus mendukung Qatar dengan pasokan makanan dan medis. Selain itu, Iran menawarkan jalur udara dan lautnya untuk membantu Qatar yang telah diblokade oleh Arab Saudi dan aliansinya. Kegiatan Arab Saudi melawan Qatar, menurut Presiden Iran Hassan Rouhani, merupakan salah satu bentuk pengepungan. Rouhani juga menyatakan bahwa Iran berdedikasi untuk membantu Qatar dalam blokadenya. Dukungan dan bantuan politik Iran telah mendorong hubungan diplomatik Iran dengan Qatar semakin erat. Akibatnya, Qatar memutuskan untuk menugaskan kembali duta besarnya untuk Iran pada 23 Agustus 2017 (Gasim, 2018). Salah satu kebijakan luar negeri Qatar untuk mengatasi konflik diplomatik dengan Arab Saudi adalah normalisasi hubungan diplomatik dengan Iran. Kebijakan luar negeri suatu negara dilakukan untuk mencapai tujuan dalam berbagai bidang, termasuk tujuan ekonomi dan keamanan. Qatar berusaha untuk mencapai tujuan ini melalui normalisasi hubungan diplomatik dengan Iran. Hubungan bisnis Qatar dengan Iran sedang diperkuat. Kemudian, dari segi keamanan, Qatar dan Iran menyelenggarakan patroli terkoordinasi di laut perbatasan masing-masing.
Selain bantuan Iran, Qatar mendapat bantuan dari Turki dalam mengatasi situasi diplomatik dengan Arab Saudi. Turki mengirim pasokan makanan ke Qatar beberapa hari setelah krisis diplomatik meletus. Belakangan, parlemen Turki mempercepat pengesahan undang-undang yang mengizinkan pengerahan pasukan Turki ke instalasi militer Turki di Qatar. Turki mengirim tentara dengan tujuan menempatkan 3.000 tentara di Qatar. Qatar berusaha mengurangi kerentanannya terhadap prospek intervensi militer oleh Arab Saudi dan aliansinya dengan mengerahkan pasukan dari Turki. Melalui kebijakan internasional, seperti mengembangkan hubungan militer dengan Turki. Kepentingan keamanan Qatar dilindungi karena krisis diplomatik dapat dihindari agar tidak meningkat menjadi bentrokan militer.Setelah memperdalam hubungan militer, Qatar dan Turki menjadi semakin dekat. Qatar dan Turki mengadakan latihan militer gabungan pada Agustus 2017 untuk menunjukkan kekuatan militer kedua negara. Kemudian, Qatar membeli berbagai peralatan militer dari BMC, sebuah bisnis kendaraan militer Turki yang 49% dikuasai oleh pemerintah Qatar. Dalam hal perdagangan bilateral, ekspor Turki ke Qatar meningkat hampir 20% dari $541 juta pada tahun 2016 menjadi $660 juta pada tahun 2017. Selanjutnya, Qatar, Turki, dan Iran menandatangani kesepakatan transportasi untuk memperkuat hubungan komersial antara ketiga negara tersebut.Â
Memperbaiki Citra Qatar di dunia internasional
Reputasi Qatar di seluruh dunia telah rusak akibat konflik diplomatik dengan Arab Saudi dan banyak negara lain. Selanjutnya, Arab Saudi dan aliansinya menyatakan bahwa hubungan diplomatik terputus karena Qatar mensponsori organisasi teroris. Penjelasan ini juga memiliki pengaruh yang merusak reputasi Qatar di dunia karena menumbuhkan persepsi bahwa dukungan politik dan ekonomi Qatar berada di balik terorisme di kawasan Timur Tengah. Keyakinan negara lain terhadap Qatar mungkin akan terkikis akibat cerita tersebut. Hal ini dapat diamati dari sikap Presiden Donald Trump yang pro-Arab Saudi, yang memojokkan Qatar terkait masalah bantuan keuangan untuk kelompok teroris (Lars J Kristiansen dan Bernd Kaussler, 2017). Dampak negatif terhadap reputasi dunia Qatar menghalangi upaya untuk memperkuat soft power Qatar. Alhasil, Qatar berusaha mengatasinya dengan meningkatkan reputasinya di dunia.Qatar meningkatkan reputasinya melalui nation branding di berbagai industri. Nation branding merupakan perpaduan karakteristik budaya dan identitas suatu negara yang membedakannya dari yang lain. Nation branding suatu negara dapat membantu mempertahankan kredibilitas internasional, mendapatkan pengaruh dalam politik internasional, dan meningkatkan kolaborasi internasional. Kemudian, nation branding dapat membantu suatu negara mengatasi miskonsepsi dunia internasional terhadapnya, memungkinkannya mengembangkan merek yang lebih baik (Dinnie, 2008). Nation Branding inipun dilakukan Qatar dalam berbagai sektor seperti Ekonomi dan juga Olahraga.