Sadar atau tidak, terkadang kita sering menganggap diri kita sudah sangat rasional dan logis. Tidak dapat dipungkiri, para peneliti sebelumnya juga sudah menemukan bahwa otak kita kadang kala teralu optimis untuk kebaikan kita sendiri. Jika kita diminta untuk memperkirakan pengalaman negatif seperti putus cinta, penyakit, kehilangan beasiswa atau kecelakaan, kita cenderung meremehkan kemungkinan bahwa peristiwa semacam itu akan dapat mempengaruhi atau bisa terjadi dalam hidup kita.
Secara konsisten penelitian mendukung bahwa sebagian besar populasi (kurang lebih sekitar 80%) menunjukkan bias optimisme yang muncul dalam berbagai macam keadaan. Ilusi ini membuat kita percaya bahwa amat kecil kemungkinannya untuk kita mengalami kemalangan dan lebih mungkin untuk mencapai kesuksesan alih-alih membaca situasi pada kehidupan nyata. Kepercayaan akan kita akan hidup lebih lama, memiliki pasangan dalam hubungan jangka panjang, memiliki keturunan yang tingkat kecerdasannya diatas rata-rata serta lebih sukses dalam hidup daripada teman kita merupakan contoh dari keyakinan yang salah apabila kita mempercayai bahwa peluang kita untuk mengalami peristiwa negatif lebih rendah dan peluang kita untuk mengalami peristiwa positif lebih tinggi daripada rekan-rekan kita.
Para peneliti telah menyarankan berbagai penyebab yang mengarah pada bias optimisme, termasuk faktor kognitif dan motivasi. Seperti halnya kita mengevaluasi risiko kita, kita membandingkan situasi kita sendiri dengan situasi orang lain, tetapi kita juga egosentris. Kita fokus pada diri kita senidiri daripada melihat secara realistis bagaimana kita dibandingkan dengan orang lain.
Di sisi lain kita amat termotivasi untuk begitu optimis. Dengan percaya bahwa kita tidak mungkin gagal dan lebih mungkin untuk berhasil, kita memiliki self esteem yang lebih baik, tingkat stress yang lebih rendan, dan well-being yang lebih baik secara keseluruhan.
Fenomena ini awalnya dijelaskan oleh psikolog Neil Winsein pada tahun 1980. Weinstein melakukan percobaan dengan lebih dari 200 mahasiswa menguji pernyataan berikut:
"orang-orang percaya bahwa peristiwa negatif lebih kecil kemungkinannya terjadi pada mereka daripada orang lain, dan mereka percaya bahwa peristiwa positif lebih mungkin terjadi pada mereka daripada orang lain"
Dia menguji ini dengan meminta siswa untuk menilai seberapa besar peluang mereka untuk mengalami peristiwa tertentu berbeda dari teman sekelas mereka. Jika lebih dari separuh menilai diri mereka sendiri di bawah rata-rata untuk peristiwa negatif atau di atas rata-rata untuk peristiwa positif, itu akan menjadi bukti bias optimisme yang meluas.
Hasil Weinstein mendukung hipotesisnya. Ada berbagai besaran untuk pertanyaan yang berbeda, namun kesimpulan keseluruhannya kuat: Kita melebih-lebihkan peluang kami untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan dan meremehkan peluang kita untuk mengalami kemalangan. Dia mengemukakan bahwa ada penjelasan kognitif dan motivasi untuk hasil ini. Penjelasan kognitifnya adalah bahwa optimisme adalah pelindung mental dari kecemasan atau tekanan konstan tentang masa depan. Penjelasan motivasinya adalah bahwa optimisme berfungsi sebagai indikator keinginan seseorang untuk mencapai atau menghindari hasil tertentu, mendorong individu untuk bertindak sesuai dengan itu.
Bias ini menanamkan perasaan kontrol kepada otak kita. Umumnya kita sendiri ingin merasa seolah-olah kita memiliki kendali atas hidup dan nasib kita. Peristiwa negatif seperti yang telah disebutkan diatas seringkali mengancam rencana yang sudah kita buat dalam hidup atau bahkan menggagalkan prediksi yang kita miliki tentang diri kita sendiri. Optimisme mencegah kita berlama-lama dalam peristiwa negatif ini.
Dampak dari bias ini adalah bukan berarti kita memiliki pandangan yang terlalu cerah tentang kehidupan kita sendiri, ini juga dapat menyebabkan kita memiliki masalah pada pengambilan keputusan yang buruk dan bisa berdampak tidak baik kedepannya. Orang mungkin akan melewatkan sunscreen mereka pada step pemakaian skincare, tidak mengenakan helm, atau bahkan tidak bersikap hangat terhadap pasangan karena mereka secara keliru percaya bahwa hal-hal buruk tidak akan terjadi pada mereka. Hal ini juga dapat menghentikan kita untuk mengambil tindakan preventif untuk menanggulangi apa yang salah mengenai sistematika pola pikir kita seperti memiliki asuransi atau menyisihkan dana darurat.
Manfaat bias optimisme ialah jika kita mengharapkan hal-hal baik terjadi, maka kemungkinan besar itulah yang akan terjadi dan ini akan berdampak pada kebahagiaan kita yang meningkat. Tentang optimisme ini, Sharot juga menjelaskannya dalam pidato TED Talk nya di tahun 2012, dimana hal tersebut dapat bertindak sebagai manifestasi yang terpenuhi dengan sendirinya. Dengan percaya bahwa kita akan sukses, orang sebenarnya lebih mungkin untuk sukses.
Ada kalanya penting juga untuk memiliki sikap optimis. Optimisme juga emotivasi kita untuk mengejar tujuan kita. Sikap ini mendorong kita untuk bertahan, bahkan dalam menghadapi kesulitan maupun penolakan. Hal itu mendorong kita untuk percaya pada kemampuan kita sendiri dan fokus kepada hal positif tanpa sibuk dengan hal negatif. Akan tetapi, kita secara sadar juga harus memahami bahwa penting untuk menyadari bagaimana optimisme kita dapat membutakan kita terhadap hasil negatif dan mengakibatkan kita mengambil keputusan yang cenderung merugikan.
Sementara para peneliti sibuk berusaha untuk membantu orang mengurangi bias ini, terutama dengan menggalakkan perilaku sehat dan mengurangi perilaku beresiko, mereka telah menemukan bahwa mengurangi atau menghilangkan bias sebenarnya cukup sulit. Dalam studi yang melibatkan upaya untuk mengurangi bias optimisme melalui tindakan seperti mendidik subjek tentang faktor risiko, mendorong sukarelawan untuk mempertimbangkan contoh berisiko tinggi, dan mendidik subjek mengapa mereka berisiko, peneliti telah menemukan bahwa upaya ini menyebabkan sedikit perubahan dan dalam beberapa kasus sebenarnya meningkatkan bias optimisme.
Seorang ekonom pemenang hadiah nobel, Daniel Kahneman, telah meneliti secara luas bias optimisme dan mengusulkan 2 cara yang berbeda untuk mengurangi pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan, yaitu dengan mengambil sudut pandang dari luar, dimana kita harus melihat tarif dasar untuk perkiraan kita seolah-olah sedang melihat peluang orang lain. Sedangkan pendekatan lainnya adalah pendekatan post mortem, di mana anggota tim memprediksi bagaimana sebuah proyek bisa gagal dan kemudian bekerja mundur untuk mengevaluasi apa yang salah dan mengapa hal itu bisa terjadi.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bias ini sering menyebabkan kita melebih-lebihkan kendali kita atas lingkungan kita. Kita semua bisa berhubungan dengan apa yang disebut Kahneman sebagai kesalahan perencanaan atau planning fallacy, dimana kita berasumsi bahwa kita akan menyelesaikan sesuatu lebih cepat daripada yang sebenarnya kita lakukan. Dia menyarankan untuk menanggulangi kecenderungan ini dengan mengambil sudut pandang dari luar terhadap apa yang kita kerjakan dan mencari tarif dasar.
Tarif dasar adalah statistik yang ada dari situasi relevan yang menyediakan data kuantitatif untuk menopang penilaian kita. Hal ini dapa menjadi probabilitas suatu peristiwa dapat terjadi, rata-rata yang dibutuhkan oleh sesuatu, atau angka apapun yang sesuai dengan situasi selama tarif dasarnya berasal dari data yang ada.
Kahneman mengusulkan mengambil perspektif luar melalui tiga langkah berikut:
- Identifikasi kelas referensi yang sesuai, seperti mencar kategori umum untuk memasukkan tugas kita. Bisa berupa belanja bahan makanan, merenovasi rumah, atau mengerjakan suatu proyek
- Dapatkan statistik untuk kelas referensi ini, dapat dilakukan dengan mencari statistik tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan jenis tugas yang sudah kita tentukan sebelumnya secara rata-rata, ini adalah tarif dasar kita. Â
- Gunakan informasi spesifik tentang kasus untuk menyesuaikan prodiksi dasar, misalnya jika terdapat sebuah hal konkret tertentu untuk dapat diubah prediksinya menurut kita, gunakan penilaian tersebut untuk membuat penyesuaian prediksi
Langkah-langkah ini berlaku secara langsung pada perencanaan dan manajemen waktu, penggunaan tarif dasar dapat menjadi alat utama untuk memerangi bias optimisme dan membuat kita menjadi lebih realistis.
Pendekatan premortem disarankan oleh Kahneman sebagai alat bagi organisasi untuk mengatasi bias optimisme. Pendekatan premortem ialah latihan bagi tim untuk memprediksi are potensi kegagalan saat memulai proyek. Semua orang dalam satu tim diinstruksikan untuk membayangkan satu tahun dari sekarang dan proyek telah gagal. Mereka kemudian diinstruksikan untuk menulis apa yang salah dan mengapa. Dengan membuat skenario untuk anggota tim mempertimbangkan hasil negatif, kita dapat menahan pandangan picik dan terlalu percaya diri.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H