Mohon tunggu...
HMJ Tadris Matematika UINMLG
HMJ Tadris Matematika UINMLG Mohon Tunggu... Guru - HMJ Tadris Matematika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

https://tadrismatematika-uinmalang.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

TM-NEC | Mesin Waktu

30 September 2019   12:47 Diperbarui: 30 September 2019   12:57 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay.com

"Grek.....grek........grek...........". Belahan dari pintu gerbang mulai terbuka. Aku mengerutkan kedua dahiku. Bagaimana hal itu terjadi? Tak ada seorangpun yang berdiri di sekitar pintu , hanya ada aku seorang. Aku yang masih beru pertama kali melihatnya. Tak mungkin aku dapat mendorongnya bahkan menyentuhnya saja jemari kecilku ini tak kan sampai. Sekali lagi dengan berani aku melangkah dengan kaki kiriku.  Dan benar saja, pintu tersebut muali terbuka lagi lebih lebar disertai suara berisik.

"Halooo..........". Suaraku terdengar lemah memanggil entah siapa. Hanya ingin lebih tahu apakah ada orang mendengarku. Adakah orang di balik gerbang pemisah tersebut. Bagiku mustahil jika sebuah pintu gagah nan besar dapat dibuka hanya dengan satu orang saja. Namun semua tetap saja sunyi membisu,  tak ku dengar suara apapun dari balik pintu tersebut. Hanya suara jangkrik yang memecah keheningan malam.

"Permisi, adakah seseorang di dalam?". Tetap saja tak ada jawaban yang menjawab rasa penasaranku. Kemudian aku terus melangkah dengan terpaku pada satu titik. Gerbang besi ditengah-tengah hutan. Semakin aku mendekat semakin gerbang terbuka dengan lebarnya. Ketika aku berada sejajar menyamai letak gerbang tersebut, tak ada seorang pun yang kutemukan di balik pintu.

Aku pun menatap kedepan. Sungguh mataku kini terbelalak lebar-lebar. Tubuhku menjadi kaku. Aku mulai berusaha memahami apa yang ada sekitarku. Penasaranku kini berada pada titik teratas. Tanganku yang semula merasa kedinginan, kini mulai mencair, bingung kemarut menyelimuti pikiranku. Aku merasakan atmosfer lain di tempat yang ditutupi sebuah gerbang mewah dan megah.

Tempat ini sungguh berbeda, jika di tempat sebelumnya, aku menatap gelapnya malam dengan ribuan bintang yang menyebar menawarkan cinta pada sang rembulan, gelap namun indah, disini sungguh berbeda. Jika sebelumnya kutemui api kecil diatas obor yang menyala lemah sebagai penunjuk arah dan pencahayaan yang terikat kuat dibatang pohon besar dengan sebuah tali jerami rapuh. Yang dibawahnya menadi tempat naungan rerumputan hijau ketika malam telah datang, disini tidak. Jika sebelumnya dinginnya angin malam adalah selimut yang membelai tubuhku dengan penuh kealamian dan mengibarkan rambut panjangku, disini tidak.

Dunia terasa sangat berbeda disini, inilah sisi lain dunia, bagai dua mata pisau yang berbeda arah. Cukup lama aku berdiri disini. Tak bosan aku menatap sekitar. Heran, lagi-lagi heran. Tak kutemukan pohon disini, udara begitu sangat panas dan tidak menyejukkan tubuhku. Tak ada udara dingin. Tak ada api kecil sebagai penghangatnnya.

Aku menengadahkan kepalaku keatas menatap diantara dua buah bangunan yang menjulang tinggi kelangit biru. Walaupun malam, bukan bintang yang aku temukan disini. Bahkan bulan pun bagai kan hilang cahayanya. Hingga malam terasa bagaikan siang karena terangnya. Bukan lagi obor yang terikat pada batang pohon sebagai penerang, melainkan lampu-lampu elektronik yang terpaku disepanjang jalan dengan penuh warna-warni pelangi yang memanjakan mata . Namun suatu kesedihan kini mulai menyelimutiku, tak ada lagi pohon besar yang tertanam disini. Tak ada kata hijau untuk menggambarkan tempat seluas ini.

Kulihat dari arah kananku, sebuah pabrik mewah menyemburkan gumpalan awan hitam dari sebuah cerobong asap kuno yang panas ke atas langit biru seakan hendak menjadikannya kelabu. Sungguh aku sangat benci melihatnya.

Aku berjalan diantara dua gedung mewah nan indah dan menantang langit. Aku terpesona pada dinding gedung  tersebut. Setiap mata mampu menembus dinding memata-matai apa yang terjadi dalam gedung hanya dengan pandangan mata. Aku menatap dindingnya yang bersih dan terbuat dari kaca. Indah. Aku ingin berada di dalam sana. Mereka juga mampu melihat kami, para pejalan kaki trotoar yang sedang memperhatikannya. Mereka menikmati kopi pahit dan saling bercengkerama bersama sambil menatap dunia luar yang begitu luas. Kehidupan generasi milenial.

Sebuah robot kecil memanjat dinding teratas di luar kaca. Robot-robot yang menggantikan manusia sebagai pembersih kaca. Dengan tangan berkabelnya, ia menjalar ke sudut-sudut dinding kaca. Tanpa kepala, tanpa mata, tapi mereka, para robot milenial adalah pembersih gedung kaca hingga menjadi mengkilap seperti sekarang ini.  

Tak banyak orang yang berlalu lalang , hanya beberapa kaki yang dapat kuhitung sedang berjalan diatas trotoar. Terlalu banyak kendaraan roda empat dengan body mengkilap hingga menyilaukan mata. Memenuhi jalan hampir tanpa sekat. Jalanan yang macet dan berasap hitam kendaraan yang berbau tak sedap. Mungkin adalah hal biasa bagi keadaan sekitar, tapi indra penciumanku hendak memberontak dengan keadaan itu namun tak bisa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun