Mohon tunggu...
Lestari Saadah
Lestari Saadah Mohon Tunggu... Freelancer - Menyesap Waktu

Hadapi realita dan teruslah berlari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Persatuan Hakiki di Bawah Tauhid Bukan Utopi

11 Desember 2018   15:18 Diperbarui: 11 Desember 2018   15:25 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Persatuan Hakiki di bawah Tauhid Bukan Utopi

 

Aksi mahadahsyat reuni 212 alhamdulillah terlaksana meski datang dengan berbagai cibiran dan praduga-praduga akan kampanye terselubung yang dilayangkan kubu sebelah yang menginginkan status quo. Ada yang sinis berkomentar bahwa tak usahlah membuat acara semacam itu lagi, dulu umat muslim melakukan-nya untuk meminta penista al-maidah diusut. Kini sudah diusut selayaknya yang diminta. Lalu reuni ini akan dibawa kemana? Reuni tersangka penista al-maidah?

Suara sumbang lainnya berkomentar ini hanyalah reuni hasil tunggangan politik. Atas sebab kekhawatiran inilah pentolan pdip, kapitra ampera membuat semacam aksi tandingan guna meredam niatan tersebut dengan bertajuk aksi kontemplasi 212. Kabarnya, massa yang didatangkan akan menyamai bahkan melebihi massa reuni 212. Tak ingin dianggap kehabisan massa, tokoh yang akan dihadirkannya pun adalah santri-santri dan pimpinan dari ponpes ternama di seluruh Indonesia.

Namun, sungguh tak dinyana. Aksi tersebut harus batal di tengah jalan mengingat peserta reuni 212 telah lebih dulu menjejakkan kakinya di ibukota disusul dengan peserta lainnya yang datang berduyun-duyun dari seantero luasnya Indonesia.

Penulis memahami betul bagaimana ruang gerak umat muslim yang belakangan ini semakin dibatasi dan disakiti. Mulai dari kasus panggilan azan yang dipidanakan, tuduhan racun radikalisme yang menjangkiti tubuh kaum muslimin, kendali penuh pemerintah terhadap kajian keislaman di masjid-masjid, hingga penganiayaan terhadap beberapa ulama yang kaum muslimin harus puas dengan keputusan bahwa tersangka dibalik kejahatan itu hanyalah orang gila yang kebal hukum.

Jika reuni ini hanya ingin merayakan seperti apa yang dituduhkan sesungguhnya itu salah besar. Karena meskipun drama penista al-maidah sudah berakhir ternyata episode anti-Islam yang dilakukan rezim ini masih bersambung. Menurut hemat penulis, momen seperti ini adalah momen langka untuk bisa dirasakan. Momen itulah yang dalam Islam disebut dengan ukhuwah Islamiyyah. Ada pepatah bahasa arab mengatakan "burung hanya akan hinggap kepada yang sejenis". 

Mereka -massa 212- tergerak datang berduyun-duyun untuk berkumpul sebab mereka sejenis karena aqidahnya, maka mereka yang enggan berkumpul atau mereka yang tak suka berarti datang dari jenis yang berbeda, padahal dalam al-Quran ada tiga jenis golongan yang disebutkan yakni muslim, munafik dan kafir. Maka sudah bisa ditebak mereka-mereka yang senantiasa berprasangka buruk berada di kursi mana?.  

Dan kita harus tahu ini bukan sekadar perkumpulan tanpa makna, bukan cuma urusan nomor satu atau dua, tapi ini adalah bagian dari keinginan umat untuk memanifestasikan spirit ukhuwah hadir di tengah-tengah umat yang melibas habis segala perbedaan baik itu jamaah, profesi, suku, bahasa bahkan agama. Perbedaan-perbedaan yang belakangan ini menjadi menu favorit untuk diadu domba oleh media. 

Dan yah, umat Islam sudah membuktikannya kemarin. Ini bagian dari progress dakwah yang mengalami kemajuan pesat. Jika keinginan umat kemarin agar negara menindak sang penista kemudian disusul dengan pembelaan atas bendera tauhid, insya alloh tak akan lama lagi umat pun menginginkan bangganya syariat Islam untuk kemudian mampu menaungi kehidupan.  

Estafet perjuangan ini pun ternyata menginspirasi saudara kita di Malaysia sana untuk sama-sama berani bersuara melawan penjajahan atas kaum muslim. Dan tidak hanya Indonesia dan tidak pula di malaysia maupun negara mayoritas muslim lainnya sejujurnya masalah kaum muslim hari ini sama. Sama - sama terkepung di bawah agenda sekulerisasi global dengan produk-produk barat dalam bentuk undang-undang, ham dll yang disuntikkan ke negara yang dimaksud lewat penguasa boneka.

Maka kembali penulis menekankan sebagai sesama umat muslim bahwa nantinya apa yang kita pilih tentulah sangat menentukan kemana arah kemudi negara ini berlabuh sekaligus darinya tak luput dari pertanggungjawaban di akherat kelak. Karenanya seorang pemimpin mestilah tahu syariat Islam, dan bukan malah menduakannya. 

Dan kita sebagai muslim haruslah memilih pemimpin yang menjadikan syariat Islam sebagai pengaturannya. Inginnya kita terus mendekap ukhuwah ini, inginnya kita lelah berpisah darinya. Oleh karenanya pilihlah pemimpin yang hanya menjadikan aturan Alloh sebagai aturan berbangsa dan bernegara. Wallohua'lam.

             

 

    

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun