Mohon tunggu...
Tarie Kertodikromo
Tarie Kertodikromo Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja lepas di bidang penulisan, komunikasi, penyelenggaraan event, juga relawan untuk berbagai kegiatan sosial, salah satunya di 1001buku. Kontak lain: FB: Tarie Kertodikromo YM: magicpie2005 Twitter: @mlletarie Blog: http://tariekertodikromo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Membingkai Hati (6)

25 April 2012   14:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

***

HINGGA pukul sebelas siang, belum ada anak yang menampakkan dirinya di taman baca. Anak-anak yang sangat rajin membaca pun tak kudapatkan berada di sini.
Apa yang sedang terjadi atau diadakan di kampung ini, sehingga semua anak tidak hadir.
Tepat pukul tiga sore aku dikejutkan oleh suara orang-orang berkerumun di depan taman baca. Mereka meneriakkan namaku dan kata-kata lain yang tak ingin kudengar.
”Pergi dari sini! Tukang campur urusan orang!” teriak beberapa perempuan. Aku mengenal beberapa di antaranya sebagai penjaja seks saat aku membantu Ratih berjualan.
“Tukang bawa lari anak orang! Jangan-jangan kamu jual anak-anak gadis orang!” teriak salah seorang lelaki.
”Pergi dari sini! Enyah dari kampung kami!” teriak yang lain.
Aku panik.
”Ada apa, Pak? Apa salah saya?” tanyaku kepada beberapa orang di depan.
”Kamu yang bawa kabur Ratih kan?” tuduh ayah Ratih yang berada di antara mereka.
”Tidak, Pak. Saya tidak bawa kabur dia,” kataku membela diri.
”Bohong! Ratih dibawa kabur perempuan. Itu pasti kamu,” katanya lagi.
Meskipun aku menyangkal, mereka tetap menuduhku. Saat kemarahan warga tak terkendali, pak Markus, ketua RT yang mengenalku cukup baik menenangkan mereka. Ia meminta warga tidak terprovokasi dan segera membubarkan diri. Ia berjanji akan menyelesaikan masalah yang terjadi.
Pak RT dan beberapa orang warga mengajakku bicara di dalam taman baca.
”Begini, Mba Tiara. Saya juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba warga jadi semarah itu,” ucap pak Markus. ”Mungkin ada yang memprovokasi mereka. Yang jelas kejadian tadi dipicu oleh kaburnya Ratih, yang semua warga tahu dekat denganMba Tiara. Kita semua tahu dia adalah anak yang mendapat beasiswa dari Mba, dan Mba juga yang bersikeras agar dia tetap sekolah meskipun orang tuanya melarang.”
”Benar, Pak. Tapi sejak ayahnya melarang saya membantu mereka di warung, saya tidak pernah mengunjunginya. Ratih memang pernah mengirim surat agar saya melarikan dia karena dia tidak mau dinikahi oleh bang Jack. Tapi saya tidak memenuhi permintaanya karena saya yakin bahwa saya yang akan disalahkan.”
”Bukannya kami tidak percaya pada Mba Tiara. Tapi ada saksi yang melihat Ratih dibawa lari perempuan dengan sepeda motor,” kata pak Markus lagi.
Aku tertawa. ”Naik motor? Saya bahkan sudah lama tidak pernah naik motor.”
”Kami ingin jalan yang terbaik bagi Mba Tiara. Saya tidak ingin terjadi apa-apa pada Mba. Saya benar-benar khawatir dengan keselamatan Mba. Mereka bisa melakukan yang lebih dari ini. Mba tahu siapa Jack, dia preman komplek. Daripada semua bertambah runyam, saya sarankan Mba Tiara pergi dari sini.”
Aku terperangah mendengar perkataan pak Markus. Aku merasakan hatiku hancur berkeping-keping karena penolakan ini. Hal yang paling menyakitkan adalah orang-orang yang membuatku berkorban jiwa dan raga bahkan tidak menginginkanku.
”Jika saya pergi, bagaimana dengan taman baca ini? Bagaimana dengan nasib anak-anak kampung ini? Apakah orang tua mereka juga menolak beasiswa dariku dan Fatia?”
”Saya tidak tahu sampai sejauh mana mereka menolak keberadaan kalian. Apakah hanya Mba Tiara saja, atau juga perpustakaan ini, atau bahkan beasiswa dan bantuan-bantuan lain yang sering Mba Tiara dan teman-teman lain berikan. Kita lihat saja nanti. Yang jelas untuk sementara waktu kita tutup perpustakaan ini. Bila kemarahan warga sudah reda, saya akan memprakarsai dibukanya kembali. Saya sendiri sebenarnya hanya bagian dari minoritas penduduk kampung ini. Saya yang selalu menyesuaikan diri dengan mereka, karena jaringan mereka sudah kuat.”
Aku menghela napas panjang, tak kuasa menahan kegundahan hatiku.
”Baiklah, Pak. Saya akan pergi,” kataku menyerah.Tapi saya titip anak-anak kampung ini ya, Pak. Tolong kabari saya jika ada yang dapat saya lakukan untuk mereka, saya akan bantu sebisa saya meskipun saya harus menggunakan nama orang lain agar orang tua mereka mau menerimanya.”
Pak Markus dan beberapa orang yang menemaninya mohon diri dan mempersilakan aku membereskan barang-barang yang aku ingin bawa pulang. Kukatakan aku akan mampir ke rumahnya nanti untuk menitipkan kunci taman baca.
Sepeninggalan pak Markus aku menangis sejadi-jadinya bagaikan seorang gadis kecil yang dimusuhi teman-temannya.
Aku menangisi penolakan ini, perpisahanku dengan Ridho dan anak-anak lain yang kusayangi. Menyesali bahwa aku belum berbuat banyak untuk membawa perubahan di tempat dan daerah ini.
Aku tak beranjak dari dudukku selama lebih dari satu jam. Kurekatkan wajahku ke lututku dan kubanjiri dengan airmata. Aku tak ingin meninggalkan Rawamalang dengan cara seperti ini.
Aku merasakan telah jatuh ke dalam lubang sempit yang gelap dan teramat dalam. Aku tak mampu bergerak, melihat dan keluar dari dalamnya. Aku menjerit lirih dalam tangisku.
Saat aku benar-benar sendiri, sebuah tangan menyentuh punggungku dengan hangat. Aku mengangkat wajahku yang basah dan menatap sosok seseorang di hadapanku. Rama menyentuh pipiku dan menyeka airmata yang menggenanginya. Seperti tahu bahwa aku membutuhkan tempat bersandar, ia meraih tubuhku dan membawanya ke dalam pelukannya yang erat dan menenangkan jiwa.
”Bagaimana kamu tahu aku membutuhkanmu saat ini?” tanyaku sambil menikmati kehangatan tubuhnya.
”Karena aku malaikat pelindungmu,” katanya dengan tawa kecilnya.
Aku melepaskan pelukan lelaki itu. ”Kamu bercanda. Kamu tidak akan mampu mengalahkan keahlian Jessica dalam hal itu. Dia telah menyelamatkanku sebanyak dua kali di daerah ini.”
”Perkenalkan aku padanya dan biarkan aku belajar bagaimana bisa menjadi malaikat pelindungmu. Aku akan gantikan pekerjaannya supaya dia punya banyak waktu untuk mencari kekasih laki-laki dan tidak menganggumu lagi.”
Aku tertawa. Kukatakan ia bisa saja ada di sekitar kami dan membuat Rama babak belur.
Rama membantuku membereskan beberapa barang yang aku hendak bawa pulang, terutama beberapa karya gambar anak-anak pemenang lomba dan beberapa buku bagus dan mahal yang bisa saja dirusak oleh warga untuk meluapkan kekesalan mereka.
Langkahku gontai meninggalkan taman baca. Saat aku menyusuri gang, mampir ke rumah pak RT hingga tiba di ujung jalan dan menyeberangi kali, sepanjang perjalanan kulihat anak-anak di balik jendela rumah mereka, melepaskan kepergianku dengan kesedihan mendalam. Beberapa di antara mereka menangis dan memanggil namaku.
Aku melambaikan tangan kepada mereka sambil menangisi perpisahan ini. Kulihat beberapa orang tua menutup tirai jendela agar anak mereka tak perlu melihatku.
Aku seperti penjahat yang diusir dari sebuah desa karena telah melakukan kejahatan yang tak terampuni. Aku bahkan merasa lebih rendah dari pelacur.
Saat aku berada di dalam mobil, aku menumpahkan kembali tangisku. Entah bagaimana caranya aku mampu melupakan peristiwa tragis dalam sejarah hidupku ini. Bagaimana aku mampu membangkitkan kembali diriku sendiri dari kejatuhan yang menghantam tubuh dan meremukkan seluruh tulang-tulangku.
Rama mengusap punggungku dan memintaku untuk bersabar. Ia katakan bahwa semua bukanlah salahku. Aku hanya orang benar yang berada di tempat dan waktu yang salah.
”Terkadang kita tidak selalu dapat membuat perubahan di tempat yang kita inginkan,” ucap Rama.
”Aku hanya memikirkan anak-anak mereka,” kataku.Aku ingin menyelamatkan pendidikan mereka yang akan mengubah pola pikir mereka.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun