Mohon tunggu...
Tarie Kertodikromo
Tarie Kertodikromo Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja lepas di bidang penulisan, komunikasi, penyelenggaraan event, juga relawan untuk berbagai kegiatan sosial, salah satunya di 1001buku. Kontak lain: FB: Tarie Kertodikromo YM: magicpie2005 Twitter: @mlletarie Blog: http://tariekertodikromo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Membingkai Hati (6)

25 April 2012   14:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


SATU minggu ini ketegangan terjadi antara aku dan Rama. Ada saja yang memicu pertengkaran di antara kami. Menjelang tenggat waktu pengumpulan thesisnya minggu depan, Rama sering mudah tersulut emosi. Aku juga merasa sensitif dan menganggapnya melalaikan tugas-tugasnya di taman baca.
Ia tak punya waktu lagi membantuku membereskan buku-buku perpustakaan, mencegah anak-anak yang membuat keributan saat membaca buku dan menemaniku seperti biasanya di warung orang tua Ratih.
Ketegangan memuncak saat aku tanpa sengaja menumpahkan kopi yang sebenarnya kubuatkan untuknya pada tumpukan naskah thesisnya yang telah diprint dan harus diserahkan beberapa jam sesudah kejadian itu.
Rama berteriak membentakku, menyalahkan perbuatanku. Aku meminta maaf, namun ia tak mengacuhkannya dan membanting kertas-kertas yang telah berlumur tumpahan kopi.
”Hancur semua! Kenapa kamu bawa kopi ke kamarku? Kamu buat aku tambah stres,” ucapnya ketus.
Aku hanya diam, tak mengatakan bahwa aku membawa kopi ke kamarnya untuk kuberikan padanya, tetapi tanganku menyenggol kipas angin di atas meja dan kopi itu tumpah.
Esoknya aku yang melemparkan amarah padanya karena membiarkan perkelahian antara Ridho dan salah seorang anak terjadi. Ridho terluka pada pelipis kanannya karena anak itu melemparkan buku ensiklopedia hardcover ke wajahnya.
Aku berteriak sambil menangis menyalahkan kelalaian Rama. Ia tengah berada di kamar saat peristiwa itu terjadi, sementara aku baru saja tiba di tempat ini. Setelah mengobati pelipis Ridho yang mengeluarkan darah sangat deras, aku mengajak anak itu keluar taman baca karena aku sudah tak sanggup menahan kekesalanku.
Tiga hari lagi menjelang tenggat waktu thesis Rama. Berarti tiga hari lagi lelaki itu pergi dari taman baca untuk mempersiapkan sidang untuk kemudian bekerja di lembaga riset asing setelahnya.
Ketegangan berubah menjadi aksi diam di antara kami. Ia sibuk mempersiapkan kebutuhan untuk sidang thesisnya di kamar sementara aku menemani anak-anak di ruang baca. Namun pikiranku tak lepas dari hubungan kami akhir-akhir ini yang tak harmonis. Aku tak mengerti apa yang tengah terjadi di antara kami.
Tak ada satu pun dari kami yang berniat memulai pembicaraan atau menyatakan permohonan maaf. Masing-masing dari kami menunggu pernyataan itu keluar dari mulut pihak lain, sementara diri kami telah tertutupi keegoisan dan gengsi.
Satu hari menjelang perpisahan kami. Aku memutuskan untuk tak datang pagi hingga sore harinya dan akan datang malam hari langsung ke warung membantu Ratih.
Aku tak ingin harus membalas sapaannya saat ia mengucapkan selamat tinggal dan pergi meninggalkan taman baca. Lebih baik aku tak perlu bertemu hari ini dengannya. Hingga esok harinya aku sudah mendapatnya tak ada lagi di kamar itu.
Tiba-tiba aku takut membayangkan hal itu benar-benar terjadi. Aku tak mampu memikirkan ia benar-benar pergi dari tempat itu.
Hatiku berdebar keras. Rasa takut kehilangan mendadak menyelimuti batinku. Aku takut ia tak membantuku lagi di perpustakaan dan menemaniku lagi di warung Ratih. Aku merasa sangat takut bahwa aku akan berjuang sendirian. Aku takut menghadapi lelaki-lelaki hidung belang tanpanya.
Sungguh aku tak ingin kebersamaan kami berakhir begitu saja. Aku tak sanggup menghadapi kenyataan bahwa aku akan kehilangannya.
Aku bergegas mengemudikan mobilku menuju Rawamalang. Waktu telah menunjukkan pukul enam petang dan aku khawatir akan terlambat tiba di taman baca dan mendapatkan rumah itu telah kosong.
Aku berlari menyusuri gang kecil menuju taman baca yang tampak sepi. Tak tampak anak-anak yang biasanya berjalan pulang pada waktu yang sama setelah perpustakaan ditutup.
Saat aku tiba, aku mendapati pintu taman baca terbuka. Aku bersorak dan berharap masih menemukan Rama di dalam. Aku berteriak memanggil namanya. Aku tak akan melewatkan kesempatan untuk meminta maaf dan menyatakan bahwa aku takut kehilangannya, bahwa aku akan merindukannya jika ia pergi.
Saat hendak memasuki kamar Rama, aku bertubrukan dengan seseorang. Kudapati Aufik di hadapanku.
”Fik, di mana Rama?” tanyaku dengan suara bergetar.
”Dia sudah pergi, Kak. Tadi dia menunggu Kakak, tapi dia sudah pergi setengah jam yang lalu,” jawabnya dengan tenang.
Tubuhku terasa lemas. Aku terduduk dan menikmati tangis kehilangan. Aku menyesali kebodohanku sendiri. Aku merasa bersalah membiarkannya pergi begitu saja seakan aku rela melepasnya.
Aufik mencoba menelepon Rama namun tak ada jawaban. Aku semakin lunglai mengetahuinya.
Setengah jam kemudian aku meninggalkan taman baca menuju warung orang tua Ratih, namun aku tak memiliki semangat untuk bekerja malam ini.
Ibu Ratih menanyakan apa yang terjadi setelah melihat wajahku yang tampak pucat. Kukatakan aku baik-baik saja, hanya tak enak badan sedikit. Ibu Ratih memintaku duduk dan beristirahat.
Dengan mata terpejam aku duduk menyandarkan tubuhku ke dinding. Aku tak sanggup membuka mataku dan menyadari bahwa tak ada yang menemaniku mulai malam ini di tempat ini. Aku menyesali telah melewatkan kebersamaan kami tanpa pernah mensyukuri betapa ia sangat berarti bagiku, bagaimana ia berusaha untuk menjadi malaikat pelindungku, bagaimana ia ingin selalu membantuku merealisasikan keinginan dan idealismeku.
Aku tak cukup mencintainya. Namun aku tak mampu membohongi diriku bahwa aku tak siap kehilangannya saat ini.
Sentuhan hangat pada lenganku membuatku terjaga dari perenunganku. Saat kubuka mata kudapati sosok yang sangat kukenali berdiri di hadapanku dengan senyuman terindah yang kulihat hari itu. Aku mendesiskan namanya. Ia meraih tanganku dan mengajak tubuhku terbenam dalam dekapannya.
”Rama, maafkan aku. Kumohon jangan pergi,” ucapku dengan tangis.
”Maafkan aku juga, Tiara. Aku harus pergi, tapi tidak berarti aku meninggalkanmu. Akuakan datang kapan pun kamu inginkan.”
”Tapi aku ingin kamu tetap di sini.”
”Tidak mungkin, Sayang. Aku ingin di sini selalu bersamamu, tapi benar-benar tidak mungkin.”
Aku melepaskan pelukannya. Aku menangisi kesendirian yang sebentar lagi kualami. Kukatakan aku benci ia meninggalkanku seperti relawan-relawan lain melakukannya padaku karena proyek sosial mereka telah selesai.
”Kamu menemaniku hanya karena ingin menyelesaikan penelitianmu. Setelah itu kamu pergi. Kamu sama saja dengan mereka,” ucapku.
”Itu tidak benar, Tiara. Aku di sini memang untuk thesisku. Tapi aku tidak akan tinggal selama ini hingga thesisku selesai kutulis, bila tidak ada kamu.”
Aku terpaku, menyadari bahwa tak ada alasan baginya untuk tetap tinggal. Ia punya lebih banyak alasan untuk pergi.
Rama menghela napas panjang. Ia tampak gusar pada dirinya dan keputusannya sendiri.
”Kamu tahu, aku tidak ingin lakukan ini. Aku benci meninggalkan tempat ini,” ujarnya, ”beberapa hari ini aku merasa kesal pada diriku sendiri. Aku takut menghadapi hari ini. Aku merasa tegang dan tertekan, Tiara. Maafkan aku. Itulah mengapa sikapku selalu memicu pertengkaran antara kita akhir-akhir ini.”
Kuakui padanya bahwa aku juga mengalami hal yang sama. Aku telah berpura-pura merasa semuanya akan baik-baik saja jika ia pergi. Aku mengalami tekanan dan ketegangan yang sama. Kami sama-sama takut menghadapi hari saat kami benar-benar harus berpisah.
”Tidakkah cintamu padaku menjadi alasan bagimu untuk tinggal?” tanyaku menantangnya.
”Kamu membuatku takut, Tiara. Aku takut ini keputusan yang salah. Meninggalkanmu hari ini berarti aku akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hatimu.”
Hatiku seperti teriris mendengarnya. Aku yakin ia akan lebih memilih tinggal bersamaku bila kuminta dan kukatakan bahwa tak ada lagi kesempatan untuknya.
Namun aku tak ingin menghalanginya meraih masa depannya hanya karena ingin menantang dan menguji cintanya padaku.
”Pergilah, Rama. Kamu tidak perlu takut tidak punya kesempatan untuk mendapatkan hatiku. Karena aku selalu membukanya untukmu,” kataku meyakininya.
Ia mengangguk. Lelaki itu meraih tanganku dan merekatkannya di wajahnya selama beberapa saat.
Kami saling dapat mendengar degup jantung dan desahan napas kami masing-masing. Berdebar dan saling memburu, melawan rasa yang tak teridentifikasi dan tertahankan. Detik demi detik kami lewati dalam kemesraan yang terbatas dan terkendali oleh jiwa yang ingin memberontak. Kami sama-sama ingin adegan romansa ini tak menggantung seperti sebelumnya, seperti film-film romantis Hollywood yang berakhir dengan kecupan hangat di bibir.
Sebaliknya, ia melepaskan tanganku dan menggerakkan tubuhnya ke belakang. Kami saling bertatapan tanpa ekspresi.
Ia mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku mengantarnya sampai ujung jalan. Setelah berjalan beberapa meter ia berbalik.
”Aku mencintaimu, Tiara,” ucapnya setengah berteriak.
”Aku tidak,” jawabku dengan canda.
”Kamu akan mencintaiku, Tiara. Aku yakin itu.”
”Tidak mungkin.”
”Kamu hanya tidak mau mengakuinya. Aku bisa mendengar debaran jantungmu. Aku bisa merasakan getaran hatimu, Tiara.”
”Hush! Itu fitnah. Sudah pergilah! Jangan menggodaku,” teriakku dengan tawa.
Rama tertawa seraya meniupkan ciuman jauhnya ke arahku. Aku tersenyum dan mencandainya dengan menangkap tiupan itu dan melemparnya ke belakang.
Ia membalik badannya dan berjalan memunggungiku. Langkahnya yang semula tegap, kulihat berubah menjadi gontai setelah beberapa meter menjauh dari tempatku berdiri. Kulihat kepalanya tertunduk hingga bayangan tubuhnya hilang dari pandanganku.

***

WAKTU, sang penyembuh segala rasa sakit. Aku mulai terbiasa dengan kesendirianku tanpa Rama. Aku masih berjuang mempertahankan taman baca agar tetap berdiri dan mempertahankan Ratih agar tetap bersekolah.
Kuakui semua sangat berbeda antara ada dan tidak ada Rama. Semula pengorbanan yang terasa mudah menjadi terasa sulit dilakukan. Beban yang semula ringan karena kami pikul bersama mendadak terasa berat menggelendoti bahuku.
Taman baca mengalami pasang surut, ada waktunya saat anak-anak enggan datang. Sementara aku tak mampu berbuat banyak sendirian, hanya ditemani semangat dan harapan bahwa akan ada yang mengulurkan tangan untuk membantu. Meskipun bantuan itu bersifat sementara, setidaknya aku sudah siap ditinggalkan.
Saat membantu di warung Ratih, aku mulai mendapat godaan dari beberapa lelaki yang semula sering mengobrol dengan Rama. Awalnya mereka mananyakan tentang Rama, kemudian menanyakan tentang diriku yang kujawab dengan asal, hingga mengajakku berkencan. Aku menolak mereka dengan halus namun mereka tak menyerah. Aku mulai membentak lelaki-lelaki itu setelah mereka melakukan pelecehan dengan menyentuh lenganku berulang kali.
Bentakanku membuat mereka gusar dan melaporkan pada orang tua Ratih bahwa sikapku tidak sopan. Meskipun aku membela diri, orang tua Ratih menganggap semua pelanggan adalah raja.
”Jika hanya dipegang tangan itu bukan pelecehan, Mba Tiara,” ucap ibu Ratih. ”Itu hak mereka karena telah menjadi pelanggan setia kita.”
Aku tersentak. ”Apa? Hak? Pelecehan seksual adalah hak mereka?”
Ibu Ratih tertawa. ”Kalau tidak mau dipegang-pegang, Mba jangan kerja di sini. Tempat ini memang untuk laki-laki bersenang-senang. Jangankan memegang, memuaskan gairah mereka sesuka mereka juga bisa.”
”Tapi pekerjaan saya di sini sebagai pelayan, bukan pelacur. Saya berhak untuk tidak diganggu,” kataku bersikeras.
”Ya terserah Mba. Kalau pelanggan pergi karena Mba sombong pada mereka, berarti Ratih harus bekerja keras lagi karena warung sepi.”
Aku mendesah. Menjerit lirih dalam hati. Aku merindukan Rama saat ini dan ingin ia di sini menemaniku.
Suatu malam beberapa lelaki datang bersamaan ke warung tempatku bekerja. Masing-masing bersama perempuan yang akan menemaninya menghabiskan malam. Aku mengenali salah seorang di antara mereka.
”Kamu bekerja di sini,” kata lelaki itu saat aku membawakan minuman kepadanya dan pasangannya.
Aku mengangguk pada bang Rambo, ayah Nadia yang memamerkan deretan giginya yang berwarna coklat kehitaman.
”Kamu sudah bertemu Nadia dan ibunya?” tanyanya.
Aku menggeleng.
”Kamu memang kurang ajar. Gara-gara kamu istri dan anak-anakku kabur.”
”Lebih baik mereka pergi, daripada hidup bersama Bapak.”
”Sial, kamu!” katanya seraya menggerakkan tangannya hendak memukulku yang segera kutepiskan. ”Awas kamu! Aku masih mencari mereka. Kalau tidak juga ditemukan, aku habisi kamu.”
”Aku tidak takut,” jawabku, meskipun aku merasakan sebaliknya.
Ketika aku sibuk melayani pelanggan lainnya, bang Rambo memanggil ayah Ratih dan mengatakan sesuatu padanya dengan suara pelan.
Setengah jam kemudian bang Rambo sambil berangkulan dengan perempuan yang mendampinginya keluar dari warung. Saat melewati tempatku berdiri ia kembali mengancamku yang kutanggapi dengan tak acuh.
Pukul empat pagi, setelah menutup warung, ayah Ratih menghampiriku. Ia memberikan sebuah amplop berisi uang beberapa lembar ratusan ribu.
”Apa ini, Pak?” tanyaku.
”Bayaran kamu selama membantu kami.”
”Saya tidak perlu ini.”
”Terima saja dan mulai besok kamu tidak perlu membantu di sini lagi.”
”Kenapa?”
”Tolong jangan datang dan dekati Ratih lagi. Saya tidak mau anak itu terpengaruh. Saya tidak mau anak saya kabur seperti anak bang Rambo.”
Aku terperangah. Ruapanya ayah Ratih termakan kata-kata ayah Nadia.
”Bapak salah sangka. Nadia pergi karena kekejaman bang Rambo.”
Ayah Ratih tak ingin mendengarkan pembelaan diriku atas fitnah yang dilemparkan bang Rambo. Ia tetap tak mengizinkanku datang mulai besok atau ia akan meminta preman-preman mengusirku secara paksa bila aku bersikeras datang.
Sikap dan ucapan ayah Ratih melukai hatiku. Selama ini mereka telah menerimaku dengan baik dan kini ia mengusirku, setelah kulakukan pengorbanan untuk menyelamatkan masa depan anak gadisnya.
Aku meninggalkan tempat itu dengan kesedihan tak berperi. Penolakan memang sangat menyakitkan. Yang kusesali adalah diriku tak cukup berarti di mata mereka, di saat aku mengganggap mereka bagian penting dalam hidupku.

***

DUA minggu ini tidurku sangat nyenyak. Aku punya banyak waktu untuk beristirahat, yang selama ini tak dapat kulakukan karena harus bekerja membantu Ratih.
Kini aku tak berani mendatangi warung itu. Bukan karena takut menghadapi ayah Ratih, tetapi karena aku malu dan kecewa dengan penolakan mereka terhadapku.
Saat aku sedang mengetikkan naskah novelku di taman baca, Ridho mengampiriku dan memberikan secarik kertas kecil. Aku segera membaca pesan yang tertera di dalamnya.

Kak Tiara, tolong aku. Hari minggu ini aku akan dikawinkan dengan Jack, anak buah bang Rambo. Aku takut, aku ingin kabur. Tolong aku.... RATIH

Aku meremas kertas dalam genggamanku. Aku geram pada kerapuhan dan kelemahan perempuan di kampung ini. Begitu mudahnya nasib seorang gadis diputar balik sesuka orang-orang yang berkuasa atas mereka.
Aku tahu inilah cara bang Rambo membalasku karena ia tak dapat menemukan istri dan anaknya, yang dianggapnya lari dari rumah karena pengaruhku. Kini ia berhasil membujuk ayah Ratih untuk menikahi gadis itu dengan anak buahnya, agar Ratih tak punya lagi kesempatan untuk bersekolah. Ia akan sangat puas melihat aku meratapi kegagalanku yang tak mampu mengembalikan remaja-remaja kampung ini ke sekolah mereka.
Namun demikian, aku tak ingin dicap sebagai pembawa lari anak gadis orang. Jika aku menyelamatkan Ratih kali ini, seluruh warga tahu aku yang melakukannya dan mereka akan berpikiran aku akan melakukan hal yang sama pada anak-anak mereka. Persis seperti apa yang dipikirkan ayah Ratih saat ia memintaku tak bekerja lagi di warungnya.
Maka aku merespon surat Ratih dengan jawaban:

Aku tak bisa mengeluarkanmu dari sana. Bila kamu berani, kamu harus melarikan diri sendiri.

Kuharap keputusanku benar membiarkannya berusaha mengeluarkan dirinya sendiri dari penjara yang dibangun ayahnya. Aku tak ingin terlalu ikut campur terlalu dalam. Lagipula kurasa menikah lebih aman bagi Ratih dibandingkan opsi lainnya.
Namun tiba-tiba suatu malam saat aku sudah berada di apartemenku, kudapati Ratih berdiri di depan pintu kamarku. Ia memelukku dan menangis menumpahkan ketakutannya.
”Bagaimana kamu bisa keluar? Siapa yang membawamu ke sini?” tanyaku tak percaya dengan kehadirannya.
Aku merasa senang ia mampu kabur, namun aku telah membayangkan bagaimana reaksi ayah Ratih yang pasti akan menyalahkannya, meskipun bukan aku yang membawa lari anaknya.
”Ayahmu akan mengira aku yang membawamu lari,” kataku.
”Tidak, Kak. Mereka sedang tidur saat Kakak mengeluarkanku,” balasnya.
Aku terkesiap. Kukatakan aku tidak datang ke rumahnya dan mengeluarkan dirinya dari tempat itu. Ratih mengatakan bahwa seorang wanita menerobos masuk ke kamarnya dan mengajaknya keluar. Wanita itu memakai sweater hitam yang menutupi kepalanya, persis seperti yang pernah kupakai.
”Kupikir itu Kak Tiara,” ucap Ratih dengan tanda tanya.
Aku menggeleng. Aku sudah kembali ke rumah sejak pukul enam petang.
”Dia membawa kamu ke sini?” tanyaku.
Ratih mengangguk. Wanita itu membawanya dengan motor berbadan besar.
Aku tertegun, memikirkan siapa wanita yang Ratih maksud. Yang terlintas di pikiranku hanya Jessica. Ia sempat mengatakan padaku akan selalu mengawasi dan memantau keadaanku.
Aku merasakan diriku lebih aman dan tak lagi takut menghadapi apa pun. Aku tahu aku punya malaikat pelindung yang tak pernah meninggalkanku dan selalu kembali saat aku benar-benar sendirian. Aku seharusnya tahu aku tak perlu takut saat Rama pergi, karena masih ada Tuhan melalui Jessica yang menjagaku.

***

KALI ini aku meminta Rama datang. Aku ingin ia membawa Ratih pergi dari apartemenku ke tempat yang lebih aman. Aku tak tahu mengapa ia yang kuhubungi kali ini untuk menolongku. Mungkin karena ia yang telah dikenal Ratih, atau mungkin karena aku memang ingin menghubunginya setelah sekian lama dan kini punya alasan untuk itu.
Kami masih sering saling bertatapan tanpa ekspresi, yang kusadari merupakan pengingkaran kuat dari hasrat dan perasaan yang terpaksa dikendalikan.
”Bagaimana sidang thesismu?” tanyaku mencairkan suasana.
”Lancar. Kamu tidak datang hari itu.”
”Syukurlah. Maafkan aku tidak datang. Kamu tahu bagaimana aku harus menangani banyak hal sendirian setelah kamu pergi.”
Rama mengatakan bahwa ia sangat memahami ketidakhadiranku.
”Kamu menunggu kedatanganku?” tanyaku memancing.
”Lebih gelisah menunggu kedatanganmu daripada menunggu giliran sidang.”
Aku tertawa. Kukatakan ia terlalu berlebihan.
”Aku serius. Kamu tahu bagaimana perasaanku saat harus meninggalkan tempat ini. Menjelang sidang aku masih memikirkanmu. Hampir saja semua bahan thesisku meluap karena pikiranku dipenuhi bayanganmu.”
Aku melemparkan senyumku. Ia selalu bisa membuatku tersanjung dan merasa bersalah.
”Tapi kamu tidak datang. Bahkan hingga sidang selesai dan aku ingin mencurahkan kebahagianku denganmu,” ucap Ram., ”Saat itu aku merasa bahwa aku tidak cukup penting bagi kamu. Itulah mengapa aku tidak pernah menghubungimu lagi sejak itu.”
”Benarkah? Maafkan aku kalau begitu,” kataku.Sebenarnya aku juga mencoba untuk menahan diriku agar tidak larut dalam kerinduan. Aku sadar bahwa kita tidak akan bersama lagi seperti dulu.”
”Kita bisa bertemu satu minggu sekali bila kamu mau,” usulnya. ”Itu bila kamu ingin membuka peluang hubungan kita akan mengarah ke sesuatu yang lebih dari sekadar teman dekat.”
Aku mengangkat bahu, mencairkan suasana romansa yang mungkin akan mengarah pada adegan menggantung seperti yang biasa terjadi di antara kami. Aku tak berani menjanjikan apa pun pada lelaki itu, karena aku tak yakin dapat memberikan komitmenku sebagai wanita kepada kekasihnya jika benar nanti hubungan kami menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Aku belajar dari hubunganku dengan Galih yang sangat mengecewakan dan merugikan pasanganku. Aku tak ingin itu terulang dan menjadi karma bagiku kelak.
Aku memanggil Ratih yang tengah berada di beranda. Kuceritakan pada Rama apa yang terjadi pada gadis itu dan apa yang kami harus lakukan untuk menyelamatkannya.
“Kamu yang membawanya ke sini?” tanya Rama.
“Bukan. Jessica yang menyelamatkannya.”
“Jessica?”
“Keyakinanku Jessica yang lakukan itu, tapi aku belum bertemu dengannya langsung dan mendapat pengakuan darinya.”
“Siapa dia?”
“Malaikat pelindungku.”
“Kamu bercanda.”
“Aku serius. Dia selalu datang pada saat yang tidak disangka-sangka, saat aku benar-benar membutuhkan bantuannya.”
“Hubungan kalian pasti sangat istimewa.”
Aku tertawa. ”Jangan katakan kamu cemburu. Dia seorang wanita.”
Rama katakan bahwa zaman sekarang telah marak hubungan sesama jenis.
“Tidak seperti yang kamu pikirkan, Ram. Hubungan kami lebih istimewa dari itu. Kamu tahu, seperti manusia dan malaikat penjaganya.”
Rama menyerah. Ia belum dapat menerima kebenaran adanya malaikat pelindung. ”Jadi ke mana aku harus membawa Ratih?”
Kuminta ia membawanya ke rumah mamaku di Jakarta Timur. Kukatakan aku telah menghubungi mamaku soal kedatangan gadis itu. Ia bisa menempati kamarku untuk sementara waktu.
Rama merangkul Ratih dan mempersilakannya jalan di depannya. Aku mengikuti mereka dari belakang. Di area parkir, saat Ratih berada di dalam mobil, Rama menghampiriku yang berdiri hendak melepas kepergian keduanya.
”Tugasku hanya membawanya ke rumah mamamu kan?”
”Iya. Memangnya kenapa?”
”Awas ya, jangan pernah memintaku untuk pura-pura mencintainya.”
Aku terkekeh. ”Tidak, ini kasus yang beda.”
Rama mengelus dada. ”Syukurlah. Ini tugas yang mudah.”
”Kamu mau pekerjaan yang lebih sulit?”
”Apa?”
”Jangan berhenti menyayangiku.”
”Itu terlalu mudah, Tiara. Aku tidak hanya menyayangimu, tapi sangat mencintaimu. Buatlah daftar pekerjaan yang lebih sulit dari itu untukku. Kamu akan tahu aku bersedia lakukan itu untuk kamu.”
”Sudah, jangan menjanjikanku terlalu banyak. Dan awas, kuperingatkan, jangan pernah buat adegan menggantung lagi. Aku benci wajahmu yang tanpa ekspresi itu,” ucapku dengan tawa.
”Aku tidak mengerti dengan adegan menggantung yang kamu maksud.”
”Dasar lelaki bodoh!”
”Wanita aneh!”
”Sudah, pergilah! Awas, jangan pikirkan aku saat menyetir. Kamu harus pastikan Ratih sampai di rumahku dengan selamat.”
”Itu baru pekerjaan sulit, Nyonya.”
Aku melambaikan tanganku ke arah keduanya. Rama masih tersenyum-senyum sendiri saat melajukan mobil meninggalkanku.
Hatiku terasa berbunga. Jantungku sempat berdebar saat ia ada dan aku merasa khawatir namun sangat menantikan ia akan membawaku ke dalam romansa tanpa kata. Saat aku dapat mendengar napasnya yang menderu dan jantungnya yang berdegup lebih kencang, seperti yang kurasakan dan kuyakini ia mendengarnya jelas. Aku sangat menikmatinya meskipun ia selalu mengakhirinya dengan hasrat yang tak tuntas.
Aku tak pernah merasakan ini sebelumnya, bahkan saat aku mencintai Ariyo dan berhubungan dengan Galih. Kurasa karena Galih tak cukup berani membawaku bermain terlalu jauh dengan hasrat kami, atau karena ia lebih banyak menunjukkan cintanya dengan perbuatan dibandingkan dengan kata-kata dan bahasa tubuhnya.
Aku tak bisa berhenti memikirkan Rama dan aku menantikan kedatangannya kembali. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku dan tak yakin apakah aku jatuh cinta padanya.
Aku benci rasa ini. Aku telah terkena kutukan cinta yang mampu menyihir hatiku sedemikian cepat.
Aku tak sanggup menunggu. Kuraih handphone dan kutekan nomor telepon Rama.
Ya, Sayangku,” ucapnya menyapaku. ”Aku masih di jalan.”
”Aku punya pekerjaan sulit untukmu.”
”Apa itu?”
”Temui aku setiap akhir minggu saat kamu ada waktu.”
”Kamu serius?” tanyanya dengan suara meninggi. Aku dapat membaca suasana hatinya. “Berarti akan ada peluang hubungan kita jadi lebih dari saat ini?”
“Lebih dari detik ini,” kataku setengah berbisik.
”Apa yang kamu rasakan detik ini?”
”Aku merindukanmu.”
Rama berteriak senang.
”Kamu tahu pekerjaan tersulit bagiku saat ini?”
”Apa?”
”Menahan diri untuk bilang, aku mencintaimu, Tiara.”
Aku terdiam. Senyumku mengembang namun melalui telepon aku tak punya cara menyampaikan respon atas kata-katanya.
”Kamu tidak ingin menjawabnya?”
”Aku... aku tidak tahu apa jawaban terbaik saat ini. Aku takut tidak mampu mempertanggungjawabkan ucapanku.”
”Baiklah. Masih ada waktu untuk mencari jawaban terbaik,” ucapnya bijak. ”Tapi kurasa kau tahu jawabannya, hanya saja kamu masih sulit mengungkapkannya.”
”Kamu hanya menebak berdasarkan khayalanmu.”
”Kurasa ini bukan khayalanku. Ini asumsi yang mengarah pada fakta. Apa yang kamu harapkanjika ada seorang wanita meneleponnya kembali setelah dua puluh menit bertemu hanya untuk mengatakan dia merindukanmu.”
Aku menertawai tebakannya. Kuputuskan untuk mengakhiri pembicaraan sebelum ia memancingku terlalu banyak.
Aku menghela napas dan membanting tubuhku di sofa. Aku merasa lebih tenang saat ini setelah mengungkapkan sebagian isi hatiku. Selama ini aku takut mengakui perasaanku sendiri, karena aku pernah jatuh cinta dan harus memendam, menguburnya hidup-hidup dan membiarkannya mati perlahan.
Kini aku pun tak mampu membaca jelas apa yang tertulis di hatiku. Biarlah waktu yang memberikan jawaban terbaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun