Pertama kali mengenal sosok Mbak Ike Aprilyanti sekitar awal tahun 2014. Sejak saya dipindah tugaskan ke Kantor Distribusi yang berkantor di Semarang. Kebetulan pekerjaan saya banyak berhubungan dengan beliau. Interaksi yang terbangun sejak awal 2014 hingga sekarang membuat saya bersyukur bisa mengenal beliau tidak hanya untuk urusan pekerjaan.
Jika disebut nama Ike Aprilyanti, maka yang terbersit dalam benak saya adalah seorang emak kantoran yang sangat disiplin. Entah soal waktu, pekerjaan, peraturan perusahaan hingga hal-hal kecil lain. Wanita kelahiran Malang yang pembawaannya kalem ini sukses membuat saya dan beberapa teman takjub.
“Mbak Ike itu kok kalem banget ya? Aku pengin deh bisa kayak dia,”
“Ya ampun, Mbak Ike sabarnya kebangetan!”
“Kok ada ya orang yang santun dan tutur katanya alus begitu. Kagum banget aku.”
Kalimat-kalimat diatas sering dilontarkan teman-teman saat makan siang atau ngobrol santai. Pembawaannya yang selalu sederhana dan ramah memang menyita perhatian kami.
“Ike itu anaknya santun. Dia sangat hormat pada orang tua, mau belajar pada semua orang, mau mengakui kehebatan orang lain tapi juga menghormati kekurangan orang lain. Ibu belum pernah menemukan anak muda seperti dia. Pokoknya jempol luar dalam,” tutur Bu Thea.
Disiplin = menghargai diri sendiri dan orang lain
Untuk urusan disiplin, dari sekian teman yang pernah ada hingga sekarang, Mbak Ike tetap berada di urutan pertama. Rumah jauh dari kantor. Harus ditempuh dengan kendaraan bermotor kurang lebih satu jam. Hebatnya selalu sampai kantor tepat waktu. Sampai sekarang saya masih suka iseng nanya jam berapa sampai kantor. Rata-rata 15 menit sebelum jam kantor mulai, beliau sudah duduk manis di kursi kerja. Betapa malunya saya kadang mepet sampai kantor. Pernah juga beberapa kali telat beberapa menit. Padahal kost saya persis di belakang kantor. Ibaratnya ngesot juga sampai. Hiks. Saya anak muda dan mengaku kalah dengan beliau.
“Waktu tidak bisa dibeli. Waktu juga tidak bisa diulang kembali. Menyia-nyiakan waktu termasuk orang yang merugi”
Sering mendengar kalimat diatas? Klasik ya kedengarannya? Tapi enggak bagi sesosok Mbak Ike.
Karyawati yang telah bekerja sejak 2006 ini selalu membuka hari dengan prioritas dan rencana. Apa yang akan dikerjakan hari ini telah dilist terlebih dahulu. Sehingga lebih gampang memanage pekerjaan-pekerjaan mana yang masuk prioritas satu dua dan seterusnya.
Bagi Mbak Ike jam kantor adalah tempat untuk menyelesaikan pekerjaan kantor. Lembur tetap boleh tapi hanya sesekali. Termasuk untuk urusan jam istirahat, beliau memberikan contoh nyata kepada saya. Beberapa kali kami pernah makan siang bareng dan selalu mengingatkan untuk memanfaatkan waktu istirahat sebaik mungkin. Sejam waktu yang disediakan. Sejam pula waktu yang harus digunakan menyelesaikan sholat dan makan.
Selain soal waktu, sosok Ike juga disiplin masalah seragam dan pemakaian ID Card. Masih banyak pegawai yang jarang menggunakan ID Card, termasuk saya. Seringnya kelupaan, si ID Card suka nyelip di dalam tas. Memakai ID Card setiap hari memang kesannya “biasa” tapi berbeda dengan Ike.
“Bagi saya memakai ID Card itu kebanggaan. Bangga menjadi bagian dari perusahaan. Ini juga bentuk usaha kecil saya untuk ikut menjaga nilai korporasi perusahaan,” tuturnya lembut seperti biasa.
Aaaahhh, betapa dalamnya kalimat itu bagi saya. Rasanya seperti ditampar bolak-balik kanan kiri. Saya kembali bertanya pada diri sendiri. Tidak banggakah saya menjadi bagian dari perusahaan ini? Jika tidak bangga kenapa saya bisa bertahan hingga bertahun-tahun?
Apa gunanya ID Card yang selalu diperbaharui setiap tahun jika tidak dipakai? Hanya untuk sebuah pengakuan? Hanya dipakai jika “perlu”? Ataukah hanya untuk pajangan di laci? Rasanya saya malu luar biasa. Saya kembali lagi kalah telak. Saya harus kembali belajar tentang kedisiplinan lebih banyak pada wanita berjilbab ini.
Kedisiplinan itu menuai hasilnya
“Tidak ada hasil yang pernah mengkhianati usaha”
Kalimat ini pernah dibisikkan teman saat kami mengikuti event. Kalimat inilah yang menjadi senjata ampuh di kala malas mulai menyerang. Kalimat ini pula yang cocok untuk Mbak Ike Aprilyanti. Dedikasinya menerapkan kedisiplinan pada diri sendiri membuahkan hasil. Tahun 2008 Mbak Ike menjadi salah satu peserta English Olympiade dan menyabet juara 2 tingkat nasional. English Olympiade merupakan ajang bergengsi di perusahaan saya. Event ini hanya digelar sekali dalam setahun.
Berkat prestasinya hingga tingkat nasional, Mbak Ike dan tim berhak mendapatkan reward dari perusahaan. Peluang liburan ke Inggris di depan mata. Hanya saja karena beberapa hal reward ini dialihkan ke Australia. April 2008 menjadi bulan istimewa, Mbak Ike merayakan ulang tahun di negeri kanguru.
Tidak hanya sampai di sini, tahun 2015 Mbak Ike kembali menorehkan prestasi. Beliau menyabet gelar pegawai teladan Se-Distribusi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta hingga berhak menjadi wakil hingga Kantor Pusat. Bukan hal mudah menyabet gelar tersebut. Ada seleksi ketat yang harus dilalui. Memang ada beban berat yang harus dipikul karena membawa nama baik DJTY. Tetapi ada kebanggaan tersendiri. Setidaknya Mbak Ike telah membuktikan bahwa beliau memang pantas dan mampu menyandang gelar pegawai teladan.
Mbak Ike harus legowo ketika tidak lolos seleksi di Kantor Pusat. Baginya itu tidak masalah. Beliau memang yang terbaik dari DJTY. Tetapi beliau mengakui jika banyak orang-orang yang lebih bagus di luar sana. Kekalahan juga tidak menyurutkan langkah beliau untuk terus berbuat lebih baik lagi. Memiliki terobosan baru, lebih rajin dan disiplin.
Mbak Ike adalah sosok pembelajar. Rekan kerja menjadi tempat beliau belajar dan menempa diri. Bagaimana menjadi orang yang memiliki semangat dan dedikasi tinggi seperti Bu Thea. Bagaimana menjadi orang yang care tidak hanya untuk urusan pekerjaan seperti Pak Haris. Atau bagaimana bisa mengembangkan lingkungan kerja yang kondusif seperti Bu Yun. Masih banyak lagi pegawai yang menjadi contoh Mbak Ike untuk belajar lebih baik dan berbuat lebih banyak bagi perusahaan.
Ike Aprilyanti, madrasah pertama untuk anak-anaknya
Walaupun sebagai karyawati yang menghabiskan delapan jam sehari untuk urusan pekerjaan, tidak membuat Mbak Ike lupa akan kewajibannya sebagai ibu. Baginya anak-anak dan rumah adalah nomer satu. Setiap pagi sudah menjadi kewajiban rutin mengantarkan anak sulungnya ke sekolah. Pulang kerja pekerjaan rumah dan menemani belajar sudah menjadi tanggung jawabnya. Mbak Ike menyadari bahwa sekolah jaman sekarang berbeda dengan dulu. Sekarang emaknya juga harus belajar jika tidak ingin ketinggalan. Emaknya harus tahu ini itu. Emaknya harus bisa segala hal.
Mbak Ike, dengan segala kesederhanaannya telah memberikan contoh tanpa banyak kata. Tanpa banyak koar-koar. Beliau telah membuktikan lewat sederet prestasi selama menjadi pegawai. Tanpa sengaja beliau telah menjadi sumber inspirasi untuk banyak orang, salah salah satunya. Kedisiplinan yang dimulai dari hal-hal kecil sehari-hari adalah kunci bagi beliau. Kedisiplinan yang akan membuka pintu-pintu kesuksesan lainnya. Dari hal-hal kecil itulah yang kemudian menjadi sebuah habit yang akan menular pada lingkungan sekitar.
Tetiba saya teringat satu nasehat dari seseorang…
“Mana mungkin aku ngomong ABCDE jika tidak menerapkan hal tersebut pada diri sendiri, Tar?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H