Pernahkah anda berfikir bagaimana jika seandainya seluruh kampus tidak mewajibkan skripsi sebagai tugas akhir?
Dunia perkuliahan memang selalu menarik jika dibahas dan dikenang, bagi anda yang sedang atau pernah merasakan dunia perkuliahan pasti sangat memahami bagaimana sulitnya menyelesaikan empat tahun waktu perkuliahan.
Mungkin dua tahun pertama di perkuliahan tidak begitu sulit dilalui, bahkan bangku perkuliahan dirasakan nikmat dan menyenangkan. Kegelisahan mulai dirasakan ketika sudah mulai masuk tahun ke tiga, dimana mulai saat datangnya berbagai tugas magang yang mesti diselesaikan.
"Neraka" yang sebenarnya adalah ketika mahasiswa berada di Tahun Akhir, dimana mereka bersusah payah menyelesaikan sesuatu karya wajib bagi setiap mahasiswa di Indonesia, yaitu Skripsi.
Banyak mungkin kenangan yang menyedihkan dan melelahkan ketika kita menyusun Skripsi. Mulai dari bolak-balik pustaka, toko buku bahkan bolak-balik rumah dosen untuk bimbingan. Belum lagi jika dosen nya tidak bersahabat, sering mengubah jadwal bimbingan skripsi. Bahkan ada sebagian dosen yang minta bayaran agar skripsinya lancar.
Sungguh aneh bukan? Disaat dimana seharusnya mahasiswa dipermudah untuk lulus agar bisa mulai bekerja dan berbakti kepada orang tua, malah dipesulit dan diperas. Apakah ini tujuan dari system pendidikan kita?
Wajar saja kita sering mendengar istilah mahasiswa abadi, yang sering tersangkut di ujian akhir dan tugas Skripsi.
Namun ternyata tidak semua mahasiswa yang merasakan capeknya berkuliah dan menyusun Skripsinya. Beberapa hari ini sedang viral di berbagi portal beita Nasional, pasalnya ada seorang Youtuber Terkenal yang tidak pernah kuliah selama 3,5 tahun, namun secara mengejutkan diluluskan oleh pihak kampus secara mudah.
Bayu Skak, begitulah namanya dikenal sebagai Youtuber sukses. Ia terdaftar sejak tahun 2011 sebagai mahasiswa Universitas Malang jurusan Sastra, namun walaupun begitu ia selama 3,5 tahun terakhir ia tidak pernah lagi berkuliah.
Menurut penjelasan dari pihak kampus, ia libur selama ini dengan cara resmi yaitu dengan mengajukan Cuti untuk menyelesaikan proyek Film yang sedang ia garap beberapa tahun ini. Bayu Skak sudah berkuliah selama 7 tahun, namun ia belum menyelesaikan studinya. Bisa dikatakan ia sebagai mahasiswa abadi di kampusnya.
Keputusan pihak kampus untuk meluluskannya tanpa perlu ikut ujian semester dan magang maupun skripsi ternyata menarik perhatian masyarakat Indonesia, terlebih mahasiswa di seluruh kampus yang ada.
Bagaimana tidak, disaat jutaan mahasiswa yg lain mesti bergelut dengan dilemma skripsi, Bayu Skak secara mulus bisa diloloskan tanpa syarat tugas ataupun Skripsi.
Menurut keterangan pihak kampus, Bayu Skak diluluskan bukan tanpa alasan, pasalnya Bayu Skak sukses menggarap proyek filmnya dan ditonton oleh ratusan ribu orang. Proyek film inilah yang dijadikan alasan cutinya di kampus.
Film yang sukses digarap itu merupakan prestasi Bayu Skak dan membuat pihak kampus bangga, terlebih Jurusan tempat ia belajar, dan itulah yang dijadikan syarat kelulusan.
Kalau boleh jujur, saya sangat senang mendengar hal ini. Ternyata masih ada pihak kampus yang lebih mengutamakan prestasi anak didik dengan mendukung Mahasiswa nya untuk berkarya. Dan karya tersebut dijadikan sebagai alasan Kelulusannya.
Skripsi itu memang menjadi momok bagi setiap mahasiswa. Mereka menghabiskan banyak energi dan fikirannya dengan mencemaskan skripsi ini, belum lagi waktu yg dihabiskan untuk menyelesaikan tugas ini bisa dibilang tidaklah sebentar.
Namun kenyataan nya, setelah mereka habiskan waktu dan tenaga setahun lamanya untuk skripsi ini. Selesainya wisuda mantan mahasiswa ini malah membuang skripsinya jauh-jauh dari kehidupannya.
Saya memiliki beberapa orang teman yang mengaku Skripsinya itu tidak terlalu membantunya dalam dunia kerja ataupun dunia bisnis yang ia geluti. Itu sangat disayangkan, padahal mahasiswa ini sudah mati-matian menyelesaikan Skripsi bahkan ada yang butuh dua atu tiga tahun untuk menyelesaikannya, lalu setelah itu apa?
Cobalah lihat Negara-negara di Timur Tengah, seperti yang saya alami di Universitas Al-Azhar Mesir. Untuk pendidkan S1 Al-Azhar tidak membebani mahasiswanya dengan Magang, Skripsi ataupun tugas tulis lainya.
Syarat untuk lulus S1 di Al-Azhar Mesir hanyalah dengan mengikuti ujian tulis dan ujian lisan yang diadakan selama 1 bulan lamanya, setelah itu seluruh mahasiswa yang lolos ujian bakal diberikan Ijazah kelulusan Lc (Licence) dan mereka pulang ke tanah air dan mengabdikan diri dalam dunia pendidkan dan dakwah.
Kedengarannya sangat enak bukan?
Mahasiswa Al Azhar tidak perlu menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menyusun Skripsi. Walaupun begitu, kemampuan akademis mereka juga tidak bisa diremehkan.
Pihak kampus hanya meminta kita untuk memahami berbagai keilmuan agama dan mengujinya secara tertulis, setelah lulus maka pihak kampus memberikan dua pilihan, antara lanjut ke jenjang S2 atau pulang dan berdakwah ke tanah air.
Tugas tulis baru ada ketika kita memasuki jenjang S2 di Al-azhar yaitu tugas tesis. Setiap mahasiswa yang ingin lulus jenjang magister harus menulis tesis sebagai syarat kelulusannya.
Oleh karena itu penulis berfikir, skripsi itu belum terlalu cocok jika diterapkan kepada mahasiswa Strata 1 yang setelah lulus ingin lansung memasuki dunia kerja. Namun Skripsi itu lebih cocok kepada mahasiswa yang memang memiliki niat dari awal untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang Strata 2 atau magister.
Alangkah indahnya jika pihak kampus memberikan pilihan kepada mahasiswanya, antara menulis Skripsi atau menghasilkan sebuah karya. Jadi mahasiswa bisa memilih berdasarkan kebutuhan dan passion masing-masing.
Cobalah lihat Bayu Skak yang diloloskan karena karyanya yang terbilang sukses. Coba kalau seandainya pihak kampus bersikukuh tidak akan meloloskan nya tanpa Skripsi, mungkin Bayu Skak akan lebih meminta keluar dari Kampus.
Ataupun jika ia menerima tugas skripsi dari kampus, maka bisa jadi karyanya sebagai Youtuber bisa terganggu atau malah musnah sama sekali.
Jadi, apakah kewajiban skripsi ini cocok untuk seluruh mahasiswa? Tentu tidak.
Lalu setujukah anda jika seandainya pihak kampus memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk menulis Skripsi atau berkarya? Saya yakin anda semua banyak yg akan setuju.
Lalu bagaimana caranya?
Simpel saja, pihak kampus menyediakan dua pilihan sebagai syarat kelulusan, pertama adalah skripsi dan yang kedua dengan menghasilkan karya baik perorangan maupun kelompok.
Dan karya ini mulai digarap pada saat mahasiswa masih berada di semester awal bangku perkuliahan.
Misalnya untuk mahasiswa jurusan Jurnalistik, minimal syarat kelulusannya ialah mereka mampu mendirikan kantor berita yang didirikan secara berkelompok.
Luar biasa kan? Setelah lulus S1 para mahasiswa ini bisa bekerja di Kantor berita yang sudah mereka rintis sebelumnya.
Tugas seperti ini jauh lebih bermanfaat dari Skripsi, dan kira kira juga sama tingkat kesulitan nya. Namun efek positif yg dihasilkan lebih besar dibandingkan skripsi.
Coba berkaca kepada Negara Israel, syarat untuk lolos dari fakultas ekonomi adalah dengan membuat proyek bisnis atau saham yang bisa menghasilkan keuntungan hingga 1 juta Dollar atau 15 Milyar rupiah. Setelah itu mahasiswa baru dinyatakan lolos dari kampusnya.
Bayangkan, betapa hebatnya Israel dalam melatih mahasiswanya untuk membangun bisnis. Tidak hanya itu bisnis yang sudah memiliki keuntungan tersebut bisa mereka lanjutkan setelah menerima ijazah dari kampus.
Israel lebih mementingkan karya mahasiswa nya dibandingkan skripsi atau tugas tulisnya.
Begitu juga dengan Singapura yang akhir-akhir ini menghapus system ranking dalam dunia pendidikannya, bisa jadi beberapa tahun kedepan merekapun juga akan menghapus system Skripsi atau tidak mewajibkan skripsi kepada mahasiswanya.
Lalu bagaimana dengan kita, Indonesia?
Segitu pentingkah skripsi dalam pendidikan mahasiswanya? Sehingga banyak potensi mahasiswa yang mati hanya karena kewajiban skripsi ini.
Semoga saja hal ini cepat berlalu, Insya Allah.
Salam dari Kairo, Mesir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI