Mohon tunggu...
Tareq Albana
Tareq Albana Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Nominee of Best Citizen Journalism Kompasiana Awards 2019. || Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Mesir. Jurusan Hadits dan Ilmu Hadits.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudah Saatnya Mendidik Pelajar dengan Teknologi

4 Mei 2018   11:05 Diperbarui: 4 Mei 2018   11:10 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mendidik pelajar dengan teknologi (sumber: artikel.pricearea.com)

Tahukah anda, pada saat awal-awal kemerdekaan dulu terdapat satu masalah pelik yang dihadapi oleh para pelajar di Indonesia. Kita sudah mengetahui bahwa pada saat itu para eksekutif atau kaum dewasa sibuk bersatu dalam merumuskan dasar Negara, namun orang banyak yang tidak tahu pada saat itu para pelajar di Indonesia dihadapi berbagai pertikaian dan perpecahan.

Pertikaian itu terjadi antara Santri (kaum terpelajar dari Pondok Pesantren) dan para pelajar di sekolah-sekolah Belanda. Karena pada awal kemerdekaan dulu RI sekolah sekolah belanda tetap digunakan untuk kegiatan belajar mengajar.

Santri sering menganggap para pelajar di sekolah Belanda adalah kafir, sebaliknya pelajar dari sekolah Belanda menganggap para santri adalah kaum terbelakang, kolot dan bodoh. Akibat nya terjadi olok mengolok dikalangan pelajar kita dahulu. Padahal mereka sama-sama Muslim.

Tentu hal ini adalah masalah yang tidak bisa disepelekan, mengingat Negara kita baru lahir namun para pemuda nya masih belum bersatu dan membawa ego atas nama almamater. Sehingga hal ini menjadi ancaman untuk keutuhan Negara Indonesia dimasa depan kelak.

Adalah Joesdi Ghazali, seorang pemuda dari kalangan Santri yang gelisah atas perpecahan dikalangan pelajar ini. Disebuah masjid, setelah melakukan perenungan yang lama, tercetuslah ide untuk membuat sebuah perkumpulan yang mewadahi para pelajar baik itu santri ataupun pelajar sekolah Belanda.

Pelajar Islam Indonesia (PII), itulah nama perkumpulan yang dibuat pada saat itu yang bertujuan untuk mempersatukan para pelajar Islam di Negara ini, terutama bagi pelajar yang bertikai. anggota PII saat itu adalah para pelajar SMP dan SMA.

PII lahir pada tanggal 4 Mei 1947 atau kurang lebih hampir dua tahun setelah kemerdekaan kita. Usaha awal PII untuk memersatukan para pelajar berhasil, pelajar dari berbagai kalangan pun masuk dan bergabung serta berdamai dibawah satu panji organisasi.

Kekuatan dan kesolidan PII kembali diuji pada saat Agresi Militer Belanda, dimana PII menggerakkan pelajar untuk membawa senjata melawan penjajah yang datang kembali.

Sehingga Jendral Besar Sudirman mengatakan didalam Ulang Tahun pertama PII di tahun 1948 " Saya ucapkan banyak-banyak terimakasih kepada anak-anakku PII, sebab saya tahu , telah banyak korban yang telah diberikan Pelajar Islam kepada Negara."

Perjuangan PII setelah itu ialah melawan PKI yang kala itu selalu mengusik para santri dan meneror mereka, akibatnya turunlah PII kejalan dan bentrok dengan PKI sehingga menelan Korban dari kedua belah pihak. Sehingga di berbagai acara , PII meneriakkan "Hancur leburkan Ateisme" yang membakar semangat pelajar.

Di Rezim Soeharto, PII adalah satu-satunya organisasi yang menolak asas tunggal, sehingga selama belasan tahun para pelajar ini bergerak dibawah tanah untuk memperjuangkan hak-hak pelajar, terutama saat wacana pelarangan jilbab   dahulu.

Sekarang, di Ulang Tahun yang ke 71 ,PII masih eksis dengan berbagai program kaderisasi yang mencetak para pelajar yang cendikia dan berjiwa pemimpin.

Tanggung Jawab yang dipikul oleh para pelajar  sekarang yaitu menyadarkan para generasi muda yang terlena dengan kemajuan zaman dan westernisasi. Dimana banyak sekali perpecahan dan degradasi moral yang disebebakan olehnya.

Kemajuan teknologi juga membuat pelajar saat ini menjadi mudah diadu domba dan menimbulkan berbagai polemic baru.

Benar apa kata pepatah, beda zaman maka beda pula tantangan nya. Jika para aktivis pelajar dulu berjuang memersatukan para pelajar santri dan sekolah belanda, maka zaman sekarang para aktivis berjuang dalam Mengembangkan potensi pelajar untuk menjadi pemimpin dimasa depan.

Mencetak jiwa pemimpin dan cendikia itu tidak lah mudah, apalagi generasi yang menjadi objek pengkaderan PII adalah para Millenial yang hidup dengan kecanggihan teknologi dari masa kecil nya.

 Salah satu masalah pelajar millenials adalah malas membaca dan menulis, dan ini adalah tantangan PII dan organisasi pemuda lainya.

Oleh kerena itu PII sebagai organisasi yang paling dekat dengan pelajar perlu mereformasi gaya perjuangan nya agar relevan dengan para millenial.  Jika dahulu mengangkat suara di podium dan pena, maka sekarang sudah waktunya PII menggunakan teknologi dalam  menyelesaikan masalah millennial tersebut.

Membaca dan Menulis adalah hal yang sangat penting dalam mencetak jiwa pemimpin, maka mau tak mau PII harus mencari cara agar dua hal ini bisa kembali akrab dikalangan para pelajar, tentunya dengan teknologi. 

Solusi yang dikembangkan PII bisa dengan  mendorong pelajar untuk menulis di di blog ataupun kanal berita Online, seperti Kompasiana. karena hal ini lebih mudah ketimbang mengajak millenial untuk menulis diatas kertas.

Penggunaan teknologi ini juga digunakan dalam mendorong para pelajar membaca buku, seperti  melalui Pdf ataupun E-Book. upaya ini sangat efektif mengingat para pemuda saat ini selalu memegang gadget dalam keseharian mereka.

Konten video seperti Youtube pun juga bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan nilai-nilai positif kepada para pelajar juga bisa dilakukan. Atau menggunakan Instragram dan FB lalu mengisi nya dengan konten konten yang menarik sehingga PII bisa menyusupkan nilai kepemimpinan didalam nya.

Para kader PII ataupun Aktivis lainya bisa membentuk berbagai komunitas membaca dan menulis menggunakan Whatsapp atau telegram dalam komunikasi utama nya. 

Whatsapp dan Telegram tadi bisa menjangkau para pelajar dari berbagai daerah tanpa harus repot-repot berkumpul di satu tempat. inilah kemudahan yang didapatkan dengan teknologi.

Inovasi demi inovasi harus segera dibuat oleh kader PII, hal ini dilakukan agar tidak kalah berpacu dengan zaman. Karena teknologi saat ini sudah terlanjur menjadi darah daging bagi generasi muda.

bukan hal yang mustahil nantinya dalam sistem  training ataupun ta'lim PII dilakukan secara teleconference dengan aplikasi Skype. sehingga memungkinkan pelajar dilatih dari jarak jauh. 

Teknologi memudahkan kader PII dalam menjangkau ratusan juta pelajar di Indonesia, sehingga semakin besar dampak yang dihasilkan PII dalam mencetak jiwa kepemimpinan dikalangan pelajar.

Walaupun hingga saat Ini PII belum populer dikancah dunia maya, namun para kader PII dalam hal ini Pengurus Besar bisa mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfataan teknologi dalam mendidik para pelajar. 

Sehingga Jutaan kader PII pun termotivasi untuk menggunakan Medsos dalam dakwah, pelatihan dan pengembangan skill.

Teknologi adalah solusi yang harus disadari oleh setiap kader PII agar organisasi ini bisa terus memberikan manfaatnya secara maksimal dan bisa mempersiapkan para pelajar Indonesia untuk menjadi pemimpin bangsa ini di masa depan kelak.

Selamat Hari Bangkit Pelajar Islam Indonesia ke 71

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun