Mohon tunggu...
Tardi Setiabudi
Tardi Setiabudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Rendah Hati Motivasi Diri

Tardi Setiabudi, berasal dari salah satu desa di Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Uang Sebagai Alat Sakti

21 Juli 2021   11:51 Diperbarui: 21 Juli 2021   12:05 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teman saya mengatakan "broo minimal 50 ribu rupiah per orang, setinggi-tingginya ya 100 ribu rupiah baru tuh bisa duduk di kursi berputar. Kalau tak punya uang mending jangan lebih baik jadi pendukung sajalah"

Saya paham maksudnya, sebenarnya ia teringat Pemilihan Kepala Desa tahun sebelumnya. Kebetulan di tahun ini, sebentar lagi pertarungan para calon pemimpin di setiap desa-desa akan segera di gelar di panggung kehormatan.

Di kampung, para calon kepala desa biasanya sangat proaktif menemui warga-warga. Apalagi kalau menemui warga yang mempunyai kekuatan politik sangat rajin sekali, karena bisa mudah mengajak dan mengumpulkan warga-warga. Selain itu bisa dengan mudah untuk melancarkan aksinya. Sebut saja Pak Beno sebagai calonnya "Kalau Pak Beno menang jalan ke pelosok kita akan di utamakan dibangun" kata warga yang mengajakanya.

Melihat jalan di pelosok itu sangat jelek, apalagi kalau pas musim hujan motor pun susah untuk dibawa. Warga yang mempunyai kekuatan bisa dengan mudah menggiring warga biasa untuk memilih Pak Beno, apalagi warga butuh jalan bagus ingin merdeka. Jika ada salah satu oknum warga yang menolaknya, akan disampaikan konsekuensinya:

"Ya tidak apa-apa situ tidak pilih Pak Beno. Tapi kalau nanti Pak Beno menang situ jangan lewat jalan sini ya. Oya satu lagi kalau diasingkan oleh warga kampung sini jangan marah ya". Kata warga yang dianggap punya pengaruh.

Biasanya ancaman seperti itu lumayan efektif, apalagi jalan bagus itu sangat penting bagi warga sekitar motor-motor pun bisa berselancar dengan lancar wah pokoknya merdeka. pedagang pun ikut senang bisa berkeliling ke setiap kampung untuk memasarkan dagangannya, pokoknya bisa laris banyak.

"Ya bagaimana lagi diajak kerja sama membangun jalan tidak mau, masa mau enaknya saja" begitulah cara berfikir warga.

***

Saya bertemu dengan seorang kawan. Ia pun sudah dipegang oleh salah satu calon kepala desa karena dianggap berpengaruh besar di kampungnya, ya bisa menggiring warganya memilih calon yang di pasarkannya dengan cara atau teknik sendirinya.

Kali ini berbeda, bukan infrastruktur atau bangunan yang disodorkan kepada warga sebagaimana yang terjadi di kampung saya. Sebut saja namanya calonnya Pak Eko, tetapi memberikan uang tunai 100 ribu rupiah kepada teman saya. Artinya kalau suaranya bisa mencapai 2 ribu saja, berarti Pak Eko harus menyediakan 200 juta rupiah kepada teman saya. Waw angka yang fantastis.

Jelas, semuanya sudah salah secara moral dan melanggar sistem demokrasi. Tetapi selama tidak ketahuan ya sah-sah saja, terkadang cara-cara seperti itu belum ada yang tertangkap basah sampai sekarang. Entah semua tutup mata atau tutup telinga, yang pasti masih melekat kebiasaan seperti itu.

Perspektif para calon, kampanye menerobos aturan cukup sakti. Banyak di desa-desa yang calon kepala desanya pintar-pintar, lurus dan idealis. Pada akhirnya ya gagal duduk di kursi berputar dikalahkan oleh calon yang biasa saja, bahkan jarang aktif di kampung-kampung. Ternyata calon kepala desa berbasis pendidikan, lincah lidah, politik, malah loyo menghadapi kekuatan uang. Akhirnya tersingkir di kancah pertarungan oleh "serangan fajar"

Dari sudut pandang warga, mereka mengalami krisis kepercayaan dan informasi. Mereka tidak melihat kepala desa yang memperjuangkan nasibnya, itu baru kemungkinana. Akibatnya, warga menjadi masa bodo/tidak peduli akan rugi selama 5 atau 6 tahun. Lah warga juga berfikir, kalau benar memilih, apakah kepala desa akan memberikan perlindungan dan keinginan warga selama 5 atau 6 tahun? Belum tentu juga kan hehehe.

Makanya, dari pada tidak dapat apa-apa sama sekali, mending dapat sesuatu meski hanya alakadar. Dari pada melihat kepala desa nanti berfoya-foya menikmati kesenangannya, lebih baik mereka dari awal saja minta blak-blakan.

***

Jangan ditiru ya, ini hanya hanya tulisan sudut padang saya dari kisah-kisah yang pernah terjadi sebelumnya. Kalau ada yang tersinggung mohon di maklum.

Lebak, 21 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun