Mohon tunggu...
Tardi Setiabudi
Tardi Setiabudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Rendah Hati Motivasi Diri

Tardi Setiabudi, berasal dari salah satu desa di Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penghitungan Surat Suara Pilkades Berpotensi Kerumunan Masa

6 Juli 2021   11:53 Diperbarui: 6 Juli 2021   12:07 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Tardi Setiabudi

Oleh: Tardi Setabudi

Penghitungan surat suara Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di lingkungan Kabupaten Lebak di masa Pandemi COVID-19 dikhawatirkan akan berpotensi kerumunan. Apalagi saat ini, Lebak sudah berstatus zona merah karena meningkatnya angka terkonfirmasi positif COVID-19. Dikutip dari laman merdeka.com pada tanggal 30 juni 2020, Warga Kabupaten Lebak yang positif COVID-19 sudah mencapai 4.557, dan yang meninggal 93 orang.

Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan teman yang kebetulan menjadi Panita Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Ia mengatakan, Pilkades tahun 2021 akan berbeda sistem dengan Pemilihan tahun sebelumnya. Kenapa? karena sedang Pandemi COVID-19. Bukan saja kata teman saya, kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak pun mengatakan yang sama. Subtansinya, Pilkades 2021 berupaya agar tidak menimbulkan kerumunan masa.

Ia mengatakan, Pilkades di lapangan akan dibuatkan Tempat Pemungutan Suara (TPS) di setiap kampung, katakanlah per Rukun Warga (RW) seperti Pilpres atau Pilkada. Di dalamnya, dibentuk Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara (KPPS) yang melaksanakannya langsung. Seperti biasa, Protokol Kesehatan pun tidak akan lepas, menggunakan masker, menjaga jarak, dan sebagainya. Mendengar cerita tersebut, saya merespon dengan mengatakan “sangat setuju”.

Tidak lama kemudian, ia membuat saya geleng-geleng kepala. Katanya, penghitungan surat suara tidak seperti pencoblosan surat suara. Maksudnya bagaimana? tidak langsung dihitung ditempat, akan tetapi, keropak di setiap TPS dikumpulkan dahulu di satu tempat, barulah dihitung disaksikan oleh semua pihak. Secara spontan badan saya tegak yang sebelumnya santai. 

Dan ternyata, dalih secara umum untuk merahasiakan kubu atau TPS mana yang suaranya rendah dan tinggi. Selain itu untuk menghindari terjadi “diskriminasi” pembangunan oleh Kepala Desa baru terpilih ketika sudah menjabat. Saya katakan masuk akal tapi ……“luar biasa”. Sebenarnya tidak perlu berpikiran “diskriminasi” tetapi bagaimana tidak menciptakan kerumunan, itu kan.

Saya lanjutkan dengan menilai secara netral. Menurut saya, ini kata saya ya, bukan orang lain. Kalau ada yang salah mohon maaf dan diluruskan. Cara seperti itu malah akan memicu kerumunan masa yang sangat dasyat, bahkan tidak bisa terkendali. Semua tahu kan, karakter atau gaya masyarakat desa sekarang ini, mungkin sudah dari dulu sebelum saya lahir ya sudah punya pemikiran yang majemuk. Ada baiknya ke sampingkan dulu kata-kata “diskriminasi” yang akan dilakukan oleh Kepala Desa terpilih nanti. Itu semua kan hanya asumsi dari orang-orang yang pemikirannya pendek termasuk orang yang selalu berfikir negatif. Maaf kalau ada yang tersinggung, saya harus katakan ini.

Kita sudah lihat berita yang tersebar di media masa beberapa hari, minggu, atau bulan yang lalu. Negara India telah lengah menggunakan Protokol Kesehatan di acara festival keagamaan Kumbah Mela di kota Hardwar, sebagai warisan Budaya Takbenda yang biasa dihadiri oleh jutaan orang. Acara itu dilaksanakan atas izin dari Pemerintah setempat. Umat Hindu pun mulai mandi di Sungai Gangga pada pagi hari. Karena, menurut kepercayaannya, dapat menghapuskan dosa-dosa seseorang dan membebaskan dari siklus hidup dan mati. Malangnya Tsunami COVID-19 telah menerjangnya hingga merenggut lebih dari 200 ribu warganya.

Padahal, sebelumnya beberapa pakar sudah mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali acara tersebut, khawatir dapat menyebabkan lonjakan kasus infeksi COVID-19. Namun pihak berwenang memutuskan, untuk tetap melanjutkan festival keagamaan dengan menetapkan beberapa aturan dan batasan. Pengunjung harus melakukan registrasi sebelum menghadiri festival dan menyerahkan hasil tes RT-PCR dengan menunjukkan bahwa mereka negatif COVID-19. Tetapi apa yang terjadi setelahnya!.

Nah mungkin akan berpikir, apa hubungannya penghitungan surat suara Pilkades di lingkungan Kabupaten Lebak dengan Tsunami COVID-19 di Negara India? Saya berikan gambaran ya.

Saya berpandangan. Jika melakukan penghitungan surat suara diarahkan di satu tempat, malah akan memicu kerumunan masa yang tidak dapat terhindarkan. Kenapa demikian? Tentu semua warga desa di setiap kampung pasti akan mendatangi tempat penghitungan surat suara. Karena pasti, mereka ingin tahu proses dan cara penghitungan secara langsung hingga mengetahui suara calon tertinggi dan yang terendah.

Bukan saja warga setempat, dari luar desa pun akan berdatangan dengan melakukan hal yang sama. Misalnya di desa A Kecamatan A jumlah pemilihnya 5.000. Sedangkan di desa B Kecamatan B jumlah pemilihnya hanya 2.000. Maka desa B akan selesai lebih awal dibandingkan desa A. Sehingga Desa B mempunyai kesempatan untuk bisa melihat pemilihan ke desa A. Itu sudah terjadi setiap kali Penghitungan Pemilihan Kepala Desa di mana pun. Nah mudah-mudahan gambaran ini bisa dipahami.

Walaupun Pemerintah dan panita Pilkades punya cara membuat pagar yang kuat, tidak menjamin kerumunan bisa terkendalikan. Kenapa? Saya melihat, sekarang ini sudah banyak masyarakat desa yang mengabaikan Protokol Kesehatan. Dengan alasan, sudah mulai rasa jenuh dengan kondisi yang setiap hari menggunakan masker. Itu baru penggunaan masker, belum lagi yang mengabaikan Physical Distancing apalagi harus melakukan 5M. Ini sudah fakta, lonjakan positif dan meninggal yang diakibitkan COVID-19 setiap harinya mengalami peningkatan di setiap wilayah.

Kalau cara penghitungan seperti itu tetap dipaksakan. Saya menilai ini adalah salah satu kelengahan Pemerintah terhadap Protokol Kesehatan demi pesta Demokrasi Pilkades tanpa melihat dampak setelahnya. Para ahli kesehatan banyak yang sudah mengatakan, Virus varian Delta India sudah masuk ke Indonesia dan yang lebih ngeri lagi penyebarannya lebih cepat dibandingkan COVID-19. Kalau orang yang percaya dengan itu pasti akan waspada, nah bagaimana dengan orang-orang yang tidak mempercayai itu?

Apa Yang Harus Dilakukan?

Saya hanya memberikan pandangan singkat. Pemerintah Kabupaten harus mengambil langkah yang tegas atau tidak kaku dalam hal ini. Bila cara penghitungan tersebut tetap akan dipertahankan sebaiknya Pemilihan Kepala Desa di undur sampai Pandemi COVID-19 berakhir. Kecuali penghitungan dilakukan langsung di setiap TPS, itu masih bisa dilaksanakan karena sejalan dengan pencbolosan surat suara, dan cara tersebut bisa meminimalisir kerumunan masa.

Mencari pemimpin desa bisa dilaksanakan kapan pun, asalkan caranya tidak merugikan semua pihak. Kesehatan manusia lebih penting diutamakan. Pemilihan Kepala Desa tanpa manusia yang sehat tidak akan terwujud. Untuk itu, sehat kan dulu manusianya barulah melahirkan pemimpin yang ideal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun