Pelaksanaan putusan MA
Pelbagai pertanyaan di atas belum sampai pada bagian akhirnya. Masih ada lagi. Masih tentang putusan MA. Alinea ini akan membahas terkait pelaksanaan putusannya. Dalam asumsi jika putusan tersebut tidak batal demi hukum, maka jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan harus megirim Djoko Tjandra ke tempat peristirahatan sementaranya di Lembaga Pemasyarakatan. Sayangnya, sebelum pembacaan putusan, Djoko Tjandra melarikan diri ke luar negeri. Artinya putusan tersebut belum dilaksanakan, dalam hal ini jaksa masih on the right track. Namun bagaimana jika asumsinya dibalik dengan anggapan putusan yang dimaksud batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat formil putusan sesuai ketentuan KUHAP? Seperti ulasan sebelumnya, karena terpidana melarikan diri, maka putusan tersebut belum dilaksanakan. Artinya jaksa juga masih dalam posisi yang benar.
Lebih jauh. Jika benar putusan tersebut batal demi hukum dan terpidana tidak dalam status melarikan diri, apa yang harus dilakukan oleh jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan? Ketika menjalankan putusan yang sah secara hukum, jaksa dianggap menjalankan perintah undang-undang.Â
Lain cerita bila jaksa mengeksekusi putusan yang batal demi hukum. Prof. Yusril dalam kapasistasnya sebagai ahli hukum berkomentar bahwa putusan batal demi hukum yang dimaksud pasal 197 ayat (2) KUHAP adalah putusan yang sejak semula harus dianggap tidak ada dan tidak memiliki nilai hukum. Dalam hal ini, jika putusan yang dimaksud dianggap tidak ada dan jaksa tetap melakukan eksekusi maka jaksa secara jelas melanggar hukum. Untuk itu kecermatan jaksa juga dibutuhkan agar jeli melihat suatu putusan apakah dapat dilaksanakan atau tidak sebelum mengeksekusinya.
Penutup
Tulisan ini hadir bukan untuk membela seorang koruptor. Seseorang adalah koruptor selama dapat dibuktikan melalui proses pemeriksaan hukum yang benar dan berkepastian. Sebagai akademisi yang bergelut di dunia hukum tentunya penulis memiliki kewajiban moril untuk berpendapat jika menganggap penerapan hukum sudah tidak pada relnya. Uraian ini hanya sekedar legal opinion dari seseorang yang masih dangkal secara keilmuan.Â
Tidak menutup kemungkinan akan ada pula pendapat yang tidak senada dengan tulisan yang dipaparkan di atas. Seperti pepatah hukum; jika dua orang hukum bertemu maka akan lahir tiga pendapat hukum. Mengutip juga yang pernah dikatakan guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Prof. Eddy, yang menyatakan bahwa hukum adalah seni interpretasi dan fakta adalah netral, tergantung siapa yang membacanya. Seperti itulah hukum. Selalu dikelilingi pendapat-pendapat.
Oleh : Muhammad Salman Saliha, S.H.
Penulis merupakan Alumni Fakultas Hukum Universitas Janabadra juga Ketua Asrama Mahasiswa Muna Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H