Mohon tunggu...
Tara Kilianti
Tara Kilianti Mohon Tunggu... -

Penulis suka-suka. Mahasiswi psikologi yang mandi satu hari sekali.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyelami Janji.

24 Oktober 2012   12:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:26 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melihat janji seperti pisau bermata dua.

Di satu sisi dia menenangkan dan di sisi lain dia membunuh kita perlahan.

Janji hanya bertahan sementara.

Tak tahan lama.

Ketika aku menagih janji yang pernah ada dan ternyata dibuat menjadi tak ada, rasanya aku kecewa.

Mereka yang memberikan janji adalah orang yang terlalu percaya diri akan menepati. Tak tahukah mereka waktu akan berlari tanpa kita mengerti situasi atau keadaan yang akan menghampiri nanti?

***

Rasa janji ibarat permen sugus. Manis.

Aku seperti dibawa tinggi melayang tak menapaki bumi. Mungkin seperti mengonsumsi heroin lalu aku merasa tenang dan tak sadarkan diri – terlalu terbuai oleh manisnya janji.

Janji sering sekali membuat aku tak berpikir logis. Tapi aku menyukai sensasinya. Ada percikan-percikan seperti aliran listrik yang tercipta dan mengalir deras dalam diri.

Rasanya, aku merasa aman. Aku merasa ada yang memperhatikan. Bukankah itu yang dicari manusia? Perasaan aman?

Yang terlupakan adalah ucapan manis itu seringkali hanya terjadi saat ini atau hanya bertahan dalam waktu yang terbatas. Seperti ada masa kadaluarsanya.

Muncullah polemik antara aku dengan aku. Aku ingin diberikan janji oleh orang-orang yang kukasihi sebesar mereka tak memberiku janji. Aku membutuhkan rasa aman itu – yang bisa diberikan dari janji- namun aku pun tak ingin menagih dengan keterpaksaan di kemudian hari.

Rasanya aku tahu apa yang membuat aku sulit melepas sebagian cerita lalu. Aku masih menunggu –sang pemberi janji menepati janjinya. Aku terkukung dan langkahku tak maju-maju. Sebuah janji dapat memberi luka yang mendalam ketika tak dapat ditepati. Pada awalnya aku berusaha untuk memaksa mereka –sang pemberi janji- untuk tetap menepati tak peduli situasinya telah berubah kini dengan ketika mereka memberi janji. Aku tetap bertahan menunggu janji itu direalisasikan padaku.

***

Janji telah mengikatku.

Mestinya mengikat pula pada –sang pemberi janji.

Harusnya aku tahu kalau –sang pembuat janji- tak sesungguhnya berjanji. Seharusnya aku tak memaksa mereka menepati janjinya ketika berada di keadaan yang sudah berbeda. Tapi aku tak bisa. Apabila ada yang berjanji, terimalah konsekuensinya untuk menepati wahai –sang pemberi janji!

Aku selalu ingat janji-janji yang diberikan untukku. Mudah untuk aku memaksa –sang pemberi janji- untuk segera menepati. Ketika mereka tak menepati, akhirnya timbul berbagai macam pertanyaan yang silih berganti memenuhi otakku dan sontak kupertanyakan pula pada –sang pemberi janji.

Sering aku merasa dibodohi janji.  Selalu aku mencari alasan yang setidaknya bisa aku terima, tapi sungguh aku tak tahu. Pun aku lelah mencari alasan-alasan. Atau memang begitulah janji, seperti yang aku ungkapkan di atas bahwa ada masa kadaluarsa untuk janji?

Buatku, janji adalah sesuatu yang sakral. Tak bisa kita berjanji tapi tak ditepati. Menyalahi aturan dari janji itu sendiri. Sekarang pun aku tak munafik, aku masih ingin diberi janji.

Tapi dengan segenap kesadaranku, aku tak siap menghadapi realitas apabila ternyata tak sesuai dengan yang dijanjikan.

***

Kekasihku saat ini tidak menjanjikanku apa-apa.

Aku merasa tenang sekaligus terancam.

Untuk beberapa hal aku menginginkan ada yang dijanjikan untukku. Ketika tak ada satupun yang dijanjikan, aku jadi berpikir akan mudah sekali dia untuk pergi karena tak ada janji -yang dianggap sebagai beban- dari aku. Begitu saja dia akan pergi. Otakku kupaksakan berpikir lagi, tak semudah itu dia akan pergi. Ada banyak hal yang dapat dijelaskan terlepas dari janji.

Dia memang tak menjanjikanku apa-apa tapi aku mencoba untuk selalu percaya dia, membebaskan dia untuk melakukan hal-hal pribadinya. Dan rasanya itu lebih menenangkan daripada ucapan manis dari janji – yang sepertinya bersifat sementara. Aku juga tak memberi janji apa-apa tapi bukan karena aku mencari alasan agar aku mudah untuk lepas dan pergi.

Aku ingin berada di sampingnya karena kemauanku, bukan karena aku telah berjanji untuk selalu berada di sisinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun