Mohon tunggu...
Hasiati Kimia
Hasiati Kimia Mohon Tunggu... Penulis - Bukan seorang penulis profesional, tetapi menulis dapat membuka wawasanku

Banyak bermimpi dan mencoba langkah baru kadang selangkah mendekatkanmu dengan mimpumu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Taty Bukan Alice

16 Agustus 2016   08:03 Diperbarui: 16 Agustus 2016   08:23 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara nyanyian burung yang indah, diiringi alunan gemercik daun yang diterpa angin sahut-menyahut dengan melodi dari sang jangkrik. Kupu-kupu dan kumbang terbang melewati hamparan rumput dan bunga ilalang mendekati pohon besar nan rindang dengan suara kepakan sayapnya yang terdengar nyaring di heningnya hutan sehingga membangunkan gadis mungil yang tengah tertidur lelap. Mimpinya yang indah terputus membuatnya geram sehingga mengejar sang kumbang dan kupu-kupu tanpa mempedulikan orang tuanya yang tengah asyik menikmati kesejukan dan pemandangan.

Gadis itu terus saja mengejar sang kumbang dan kupu-kupu hingga tanpa disengaja dia terjatuh kedalam lubang yang sangat dalam. Selama dia terjatuh, gadis itu merasa seperti ada perubahan daram dirinya. Tubuhnya terasa menyusut perlahan hingga memakan waktu yang cukup lama sampai dia benar-benar mendarat di atas tanah, dan anehnya dia tak merasakan sakit sedikitpun.

Dengan cahaya yang terbatas, gadis itu mencari jalan keluar dengan berjalan lurus kedepannya. Tampak dia mulai ketakutan dilihat dari raut wajahnya yang tengah berjuang menahan tangis, sambil sesekali memanggil ayah dan ibunya “Ma…, Pa….”. Tangannya menyentuh sesuatu yang agak keras dengan permukaan kasar, didoronglah benda tersebut. Ternyata itu merupakan sebuah pintu yang terbuat dari kayu yang masih utuh dengan kulitnya, pintu tersebut menghubungkan kegelapan tadi dengan sebuah pemandangan menakjubkan yang tentu saja terang-benderang.

Sebuah kota besar dengan desain arsitek bangunan unik yang belum pernah ia lihat, serta bangunannya seolah-olah tergantung dan susunanya makin jauh makin ke atas. Penasaran sang gadis mulai melangkah pelan memasuki kota asing baginya, terkejut bukan kepalang saat dilihatnya kumbang bak raksasa terbang diatas kepalanya dengan jumlah yang tak terhitung namun dikendarai oleh manusia seolah-olah itu alat transportasi mereka. Kumbang dengan ukuran yang tak normal ditambah jalan raya yang ternyata terbuat dari ukiran kayu itu menambah rasa heran sekaligus kaguman dalam dirinya, namun karena lelahnya perjalanan serta keterkejutan membuat kepalanya pening hingga dia pingsan tepat didepan salah satu bangunan yang tamapak seperti rumah.

***

Sayup terdengar suara bisik memaksa gadis itu membuka mata, penglihatannya masih kabur lantara pening namun dipaksanya untuk melihat lantaran ada dua sosok yang berdiri di samping kana kirinya sambil terus memperhatikan. Setelah mengucek mata sebentar, sosok tadi berubah menjadi bocah mungil yang kemudian salah satunya berlari memanggil ibunya dan gadis yang diperkirakan umurnya sedikit lebih tua darinya. Dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air, ibu dari mereka muncul sembari tersenyum hangat kepada gadis itu. Setelah disodorkan nampan itu dan dipersilahkan makan, gadis itu langsung melahapnya seolah sudah lama tak merasakan makanan sambil sesekali melirik mereka yang sedang memperhatikannya.

“siapa namamu nak?” Tanya si ibu lembut

“Taty bu” jawab si gadis itu denngan makanan masih dimulutnya. Yah, Taty memang nama si gadis itu. Nama yang selalu dipanggil orang tuannya.

“di mana rumahmu? Biar ibu antar pulang” Tanya si ibu lagi

“enggak tau bu, Taty ke sini berlibur sama mama sama papa tapi nyasar sampai kesini” suara Taty mulai bergetar menahan air mata yang hampir jatuh. Taty memang baru berusia sekitar sepuluh tahun namun sudah dididik orang tuannya agar tidak mudah menangis.

“emang di ajak orang tuannya berlibur kemana?” Tanya si ibu mulai khawatir

“di sana bu, di bukit yang banyak pohon dan kupu-kupu, dan kumbang, dan masih banyak lagi pokoknya” jawab Taty bersemangat

Si ibu bingung dengan cerita Taty namun dipaksanya tersenyum dan mengajak Taty untuk beristirahat sebentar lagi. Diatas pembaringannya Taty dengan wajah polos tertidur sambil tersenyum.

***

Entah berapa lama Taty tertidur, begitu bangun hari sudah menjelang siang dengan kebisingan di luar bak kota besar yang padat penduduk dengan beragam aktivitas. Masih dalam kondisi setengah sadar Taty memandang sekeliling kamar tidurnya semua yang ia lihat terasa asing, dikucak matanya berkali-kali untuk memastikan seisi kamarnya namun kamar tersebut tetap dengan gambaran seperti pertama kali ia membuka mata tadi. Kamar yang dibangun dari kayu dengan ukiran indah dengan bentuk dinding yang tak lurus dan juga tak berbentuk persegi layaknya kamar pada umumnya, seluruh perabotannya juga terbuat dari kayu tentu saja tempat ia tidur juga termasuk. “Ma…,Pa… kita dimana? Kok kamar Taty aneh?” teriak Taty sambil berlari keluar kamarnya. Ia sudah melupakan kejadian lalu yang menimpa dirinya dan membawanya ke rumah itu.

Terkejut begitu membuka kamar tidur, ruangan dengan bentuk melengkung dimana langit-langitnya berbentuk parabola dengan dekorasi ruangan yang tak kalah aneh menurut pandangannya. Di salah satu ruangan tampak seorang wanita tengah menyiapkan makanan ditemani dua anaknya yang menanti sambil duduk di bangku yang terbuat dari dahan pohon yang ditebang dengan meja makan yang juga terbuat dari pohon.

“ayo sarapan Taty” ajak sang ibu

“mama sama papa Taty di mana? Ini di mana?” Tanya Taty penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.

“makan saja dulu, nanti kita sama-sama cari orang tua Taty” jawab sang ibu tenang dengan senyum yang mengemban dia membantu Taty duduk di salah satu bangku kosong dan meletakkan sepiring makanan yang berisi olahan sayur-sayuran.

Tanpa pikir panjang Taty yang memang mulai lapar melahap semua makan yang terlihat menarik itu, sambil sesekali memperhatikan tiga orang disekelilingnya itu. “Ada yang aneh” batinnya, “telinga mereka kok tidak sama dengan punya Taty?” masih tetap melanjutkan makan matanya tertuju pada si bungsu yang berlari meninggalkan meja makan, tampak sesuatu yang aneh mengepak-ngepak dibagian bokongnya “itu ekor kan? Kok dia bisa punya ekor?” batinnya msih terus bergejolak untuk bertanya secara langsung namun takut untuk mengutarakannya.

Seusai makan sang ibu ditemani putri sulungnya yang bernama Trisna mengajak Taty mengelilingi kota dengan tujuan mencari rumah dan orang tuanya namun malang dikata, tak satupun rumah yang dari luar tampak menyerupai jamur payung yang besar itu adalah rumahnya. Mereka kembali kerumah Trisna dengan tangan perasaan hampa. Disisi lain, Taty mulai merindukan kedua orang tuanya. Bayangan ketika dia bersama kedua orang tuanya silih berganti dalam kepalanya, hingga ingatan terakhirnya ketika mereka sedang santai makan dibawah sebuah pohon yang besar didaerah pegunungan.

Entah karena sangat merindukan atau sekedar memberi informasi, Taty mulai menceritakan tentang perjalanan kepuncak gunung bersama keluarganya kepada Trisna. Dengan sedikit informasi itu, Trisna mengajak Taty ke sebuah tempat yang terletak diujung jalan, tampak dari jauh dibalik lorong itu hanya warna putih, semakin dekat warna itu berubah menjadi cahaya yang sangat menyilaukan mata hingga memaksa mereka menggunakan tangan untuk menghalangi silau cahaya itu.

Begitu sampai diluar, pemandangan bak lukisan terindah yang  pernah Tuhan ukir didunia terbentang luas. Pohon-pohon besar berjejer rapi sepanjang mata memandang. Ternyata mereka berdiri tepat di dekat salah satu dahan pohon yang sangat besar, tampak dari jauh sang elang turun menukik kearah hamparan ilalang “mungkin sedang mengejar mangsanya” batin Taty berbisik.

Terkejut bukan kepalang ketika mereka melihat tepat ke arah bawah mereka, empat orang berbadan besar bak raksasa Trol dalam dongang itu tengah menebang pohon tempat mereka berpijak. Pohon yang merupakan sebangsa pohon Beringin ini menjadi sasaran empuk ujung-ujung kapak yang runcing itu, tampak ada kerumunan orang di belakang keempat penebang itu diantaranya terdapat orang yang sangat dikenal Taty.

Melihat ekspresi Taty yang mulai meneteskan air mata, tak ayal membuat Trisna semakin penasaran dengan apa yang terjadi

“ada apa Ta?”

“itu ayahku Tris, yang berbaju kemeja biru mudah itu” jelas Taty sambil menunjuk pria berkemeja biru muda yang tengah menunjuk-nunjuk pohon dengan ekspresi marah. “kenapa mereka terlihat seperti raksasa? Kenapa aku bisa berada didalam pohon?” guman Taty seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Kapak-kapak yang mengkilap saat terkena cahaya matahari itu membuat suara Taty tak didengar oleh ayahnya, suara ayahnya semakin jelas terdengar saat mengumpat sang pohon “tebas terus pak, karena pohon ini saya jadi kehilangan anak saya, putri saya baru berusia sepuluh tahun pak tapi hilang saat tertidur dibawah pohon ini, memang dasar pohon hantu” tak berhenti umpat demi umpatan dilontarkan ayah Taty.

Trisna yang mulai sadar dengan apa yang terjadi tiba-tiba berbalik badan menuju arah desa sambil berlari,dia tak sadar telah melupakan Taty yang masih bingung dan menangis. Dengan posisi berusaha merangkak menuruni pohon, Taty berteriak sekuat-kuatnya memanggil sang ayah yang telah larut dalam kemarahan. Entah karena terbawa angina suaranya atau memang terlalu keras, ayahnya memandang kearah atas seketika seperti mendengar suaranya, matanya terus melirik kesana-kemari mencari asal suara itu. Karena takmenemukan asal suara, sang ayah kembali melanjutkan umpatannya kepada sang pohon.

Sebuah tangan tiba-tiba meraih tangan Taty dan menariknya keatas

“kamu bodoh ya? Kamu bisa jatuh ke bawah, ayo ikut aku sekarang” marah Trisna sambil menarik Taty untuk mengikutinya

“tak mau, ayahku di bawah Tris” merontak tak mau pergi namun akhirnya pasrah mengikuti langkah Trisna.

Memasuki desa Taty amat terkejut, hampir semua warga mulai berkemas, ada yang bahkan sudah mengendarai kumbang raksasa meninggalkan desa namun ada juga yang tetap bertahan dan memasrahkan hidupnya dengan dalih ingin mati di tanah kelahirannya. Kepanikan yang terjadi di desan sempat membuat Taty ikut panik karena tak tahu harus berbuat apa.

Perlahan namun pasti, pohon tempat desa itu berada mulai menunjukan tanda-tanda akan rubuh. Satu per satu perabotan bahkan rumah yang berada paling atas terhempas menghantam apa saja yang ada di bawah tak terkecuali para penghuni desa.

Karena terkejut dengan apa yang dilihatnya, tanpa disadari sebuah balok kayu menghantam kepala Taty hingga membuatnya tak sadarkan diri. trisna yang panik mencari keluarganya tak menyadari kalau Taty telah terhempas dan jatuh.

Hening, hanya suara angin yang bergesek dengan dedaunan dan bunyi burung perlahan membangunkan Taty. butuh beberapa detik sampai dia benar-benar membuka mata, dilihatnya langit yang terhalang rimbunya daun. tak percaya dengan apa yang dilihatnya dia mengucek matanya berulang kalikemudian memandang kekanan dan kekiri. dua orang yang sangat dikenalinya sedang duduk tersenyum memandangnya, spontan dia bangun dan memeluk mereka berdua sambil menangis.

"aku nggak mau kecil lagi ma, pa.. aku nggak mau" dirangkulnya leher sang ibu erat sambil terus berceloteh tentang apa yang dialaminya..

dua orang yang dirangkulnya hanya saling memandang kemudian sama-sama tersenyum menyadari anak mereka baru saja terbangun dari mimpi aneh mungkin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun