Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemimpin Negara Bohong, Penipu di Tengah Rakyat Merajalela

5 Februari 2022   21:13 Diperbarui: 5 Februari 2022   21:46 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh: Tarmidinsyah Abubakar

Mentalitas kebangsaan dibutuhkan  oleh pemimpin negara, pemimpin daerah, pejabat tinggi negara, tokoh politik, aparatur birokrasi negara dan orang-orang yang bertugas dalam melayani rakyat dilevel atas hingga ke level yang paling bawah. 

Karena negara mengatur nafas begitu banyak orang yabg hidup menggantungkan masa depannya,  generasi penerus mulai pemuda, remaja, anak-anak bahkan sampai pada level seorang bayi yang baru dilahirkan dalam suatu wilayah dalam negara.

Karena kita membahas pada level negara maka kita hanya membicarakan kredibilitas pemegang amanat rakyat dilevel tertinggi dan tinggi sebagaimana Lembaga Presiden sebagai Eksekutif, DPR yang mewakili rakyat dan Yudikatif sebagai penegak hukum dilevel atas.

Ketiga lembaga tersebut dan turunannya harus mampu menjamin kredibilitas mereka masing-masing sehingga dalam memelihara kepercayaan (trust) dimata rakyatnya. Karena apa? Tentu saja karena negara ini dibangun dalam sistem kepercayaan yang luas dari ratusan juta orang dalam negara yang besar atau puluhan jutaan orang pada negara sedang dan juga jutaan hingga ratusan ribu orang pada negara negara kecil.

Pada prinsipnya perkumpulan orang yang paling banyak ada dalam suatu wilayah yang disebut negara sementara wilayah lain tidak melebihi jumlah orang yang tergabung dalam suatu negara. Meskipun tetap saja ada negara yang jumlah penduduknya lebih kecil dari suatu provinsi di negara lainnya yang lebih besar.

Indonesia dengan jumlah penduduknya 250an juta masuk sebagai negara dalam daftar sepuluh negara terbesar jumlah penduduknya di dunia. Dengan kata lain dapat mewakili beberapa persen dari total manusia di bumi.

Lalu ada performan standar bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan, misalnya diatas 90 persen muslim maka Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia karena dominan muslim. 

Berikutnya jika penduduknya dominan gay maka Indonesia mewakili gay terbesar di dunia, berikutnya jika penduduknya dominan penipu maka Indonesia mewakili negara terbesar penipu dibumi. Image ini berdasarkan apa yang ingin kita tampilkan kepada masyarakat di bumi.

Hal ini sebagai ilustrasi untuk saling mengingatkan sehingga kita selalu bisa melakukan evaluasi terhadap kredibilitas bangsa dan negara kita. Tentu kita harap bahwa profil sebagai negara muslim terbesar ini bisa dipertahankan karena itu prilaku kita sebagai warga negara Indonesia juga harus menyesuaikan dengan profil bangsa ini dimata dunia, bukan sebaliknya. 

Karena yang bertentangan dengan profil tersebut tidak berbeda dengan merusak image sebagai muslim terbesar didunia. Lalu kalau berprilaku yang berseberangan dengan prilaku Islam maka jelaslah kita tergolong sebagai warga yang memberi kontribusi dalam merusak agama Islam.

Apalagi prilaku para petinggi negara yang berjalan di depan mewakili bangsa Indonesia, sekaligus mewakili negara dengan muslim terbesar di dunia. Performan dan profilnya harus mampu mewakili nama besar tersebut. Jika petinggi negara,  petinggi politik, petinggi rakyat atau tokoh melakukan penentangan, maknanya ada keinginan mereka membawa rakyat Indonesia ke arah yang berlawanan. 

Misalnya mereduksi Islam maka ada kemungkinan membawa bangsa, negara dan rakyat negeri ini ke keyakinan selain Islam atau ke arah non agamis,  maksudnya rakyat hanya tunduk dan patuh pada negara dan mengesampingkan agama, yakni negara komunis sebagaimana RRC (China).

Demikian pula jika pemimpin negara ini telah melemahkan perhatian negara terhadap Islam maka logikanya tidak lain yaitu pergeseran sistem bernegara yang menyerahkan hak beragama kepada individu dan komunitas mareka masing-masing yakni sistem Liberalis sebagaimana Amerika Serikat dan juga negara-negara di belahan bumi eropa.

Suatu organisasi negara yang masuk dalam sistem demokrasi yang diidentifikasi dengan adanya pemilihan oleh rakyat maka idealnya dalam pengambilan keputusan perlulah kesepakatan dengan rakyat yang diwakili DPR. 

Jika presiden dan pemerintah eksekutif telah mengambil keputusan sesuatu yang besar seperti pemindahan Ibu Kota Negara maka semua itu sudah melalui persetujuan rakyat karena DPR sudah setuju. Jika tidak tentu tidak mungkin presiden nekat melakukannya kecuali presiden sudah siap untuk dipecat (impeacement) atau presiden otoriter atau presiden gila.

Maka aneh jika ada petisi oleh sejumlah tokoh masyarakat. Lalu bagaimana solusinya?  Seharusnya mereka menggugat para wakil rakyat di senayan yang telah mengkhianati rakyat jika dalam evaluasi dan analisa para ahli tidak layak dan tidak wajar. Tapi jika layak dan wajar maka petisi tersebut subyektif dan sarat kepentingan kelompok dan hanya buang-buang energi. Membalas ketidak puasan rakyat dimana? Yakni Pemilihan Umum, Pilpres dan terutama Pileg dan rakyat memboikot partai politik yang terlibat dalam konspirasi dimaksud.

Dalam kepemimpinan rezim satu periode saja memakan waktu lima tahun, yang bisa merubah hal-hal fundamental dalam bernegara. Oleh karena itu seorang pejabat publik harus meninggalkan kebiasaannya berbohong sebagaimana kebiasaan hidupnya karena sekali saja mereka berbohong maka dampaknya tidak berbeda dengan mengajarkan kepada setengah negara rakyat untuk menipu, karena pemimpin saja berbohong dan wajarlah rakyat ikut menipu. 

Jika dua kali berbohong maka tidak berbeda dengan mengajarkan secara total rakyat (warga negara) boleh berbohong. Jika tiga kali pemimpin berbohong maka sama dengan membubarkan negara atau menghilangkan negara demokrasi atau negara rakyat, tentu saja logikanya karena negara demokrasi itu esensi adanya pemerintah sebagai akumulasi kepercayaan rakyat kepada partai politik dan individu yang dipercaya dan melalui kontestan politik pada pemilihan oleh rakyat.  

Karena pemimpin membuat kebohongan dua kali maka jelaslah rakyat secara total hidup dalam kebohongan dan mereka akan saling menipu, karena bohong akan menjadi budaya dalam masyarakat. Hukum hanya berlaku jika pihak yang ditipu dapat membuktikan penipuan dimaksud, artinya apa? Bohong tidak lagi menjadi tabu dan melanggar etika sosial serta melanggar hukum karena sangat jelas merugikan pihak lain. 

Tetapi karena masyarakat sudah terbiasa berbohong bahkan saling menipu maka Indonesia yang penduduknya sepuluh besar dunia tentu Indonesia akan dikenal sebagai negara penipu terbesar di dunia. Jika muslim masih dominan maka Indonesia dikenal sebagai muslim penipu terbesar di dunia. 

Justru karena telah menjadi kecenderungan sosial maka jangan heran penipuan dalam negeri merajalela diseantero negeri ini sehingga mentalitas dan moralitas bangsa terdegradasi atau meningkat kebaikan secara total dalam setiap periode rezim berkuasa.

Semoga bisa memberi manfaat dan saling mengingatkan demi kebaikan bangsa Indonsia dimasa depan. Semoga!

Salam

Gambar : Google image search.... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun