Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Oh Megawati, Ganjar dan Puan, Kenapa Harus Prabowo, Ada Apa?

30 Januari 2022   12:09 Diperbarui: 30 Januari 2022   12:13 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Mendengar nama seorang tokoh atau pemimpin, seharusnyalah bagi warga masyarakat bisa membayangkan atau mengilustrasikan bagaimana ia bisa memberi pengaruh dalam hidup diri rakyat baik secara individu maupun secara kolektif terutama dari faktor psikologis kehadiran seseorang dapat menimbulkan reaksi dalam jiwa seseorang seperti rasa senang, susah, kuatir, bermusuhan dan lain-lain.

Secara fisik kehadiran seorang pemimpin dihati masing-masing rakyat mungkin hanya sebatas itu yang dapat diharapkan. Justru karena itulah maka pemimpin butuh performan sebagaimana penyihir, seseorang yang mampu memberi semangat hidup rakyat dalam kondisi apapun. Minimal warga masyarakat melihat kehadiran pemimpin akan memberi semangatnya dalam menghadapi tantangan hidup yang berat.

Ironis, kehadiran seseorang pemimpin di tengah rakyat justru menambah tegang suasana sosial, bawaan si pemimpin justru menambah beban dan kesengsaraan rakyatnya, sehingga rakyat justru tidak pernah menaruh harapan meski ia bertemu dengan si pemimpinnya.

Tulisan ini ingin memberi ilustrasi kepada rakyat Indonesia betapa pentingnya profil calon presiden yang bisa memberi semangat, solusi, hiburan, kesenangan, ketenangan bagi kehidupan rakyat   Indonesia dimasa depan. Karena itu rakyat harus bisa melihat seseorang pemimpin yang kehadirannya memberi semangat baru bagi kehidupan bangsa. Kehadiran pemimpin seharusnya memberi rasa senang rakyat jika ada masalah cerdas mereka mencari solusi bukan memaksa pemikirannya, apalagi kehadirannya membuat suasana tegang dan membengkalai masalah dimana-mana. 

Profil ini dapat ditemui pada beberapa orang atau seseorang tokoh bakal calon presiden atau pemimpin bangsa yang digali dari tokoh masyarakat dari berbagai kalangan. Bukan hanya mereka yang sudah tampil sebagai pejabat yang selama ini hingar bingar dalam pembicaraan media sosial dalam negeri, tetapi juga seharusnya digali dari kalangan yang belum muncul sebagai pimpinan masyarakat yang masih terselubung dalam kehidupan sebagai publik figur.

Namun karena rakyat Indonesia belum terbiasa untuk menggali calon pemimpinnya dari kalangan masyarakat umum, bahkan partai politik masih menganut sistem hirarkhi politik atau begawan politik maka kita hanya bisa mengevaluasi para calon pemimpin yang sudah tampil sebagai para begawan politik. Terlepas dari pro dan kontra serta positif maupun negatif kepemimpinan presiden Joko Widodo dalam kepemimpinannya sebagai presiden Indonesia, namun dalam perspektif rekruitmen calon pemimpin bangsa Indonesia telah berhasil melalui suatu proses penggalian calon pemimpinnya dari kalangan luar begawan politik dan bagaimanapun prosesnya PDIP bisa menunjukkan sebagai partai yang menganut sistem demokrasi meskipun kualifikasinya masih rendah dibanding lebel nama partainya. Tapi partai lain justru tidak bisa menunjukkan itu dimana sebahagian besar masih bicara anak, menantu kelurga dekat padahal demokrasi sebagai alat perjuangannya dan anti korupsi, kolusi dan Nepotisme.

Jika hal semacam ini dapat dipertahankan maka budaya politik masyarakat Indonesia sudah tergolong cukup demokratis, dan dalam banyak hal sistem kehidupan rakyat akan mengalami banyak perubahan secara fundamental meskipun mentalitas kebangsaan presiden tidak sebaik mereka yang dari kalangan begawan politik yang sudah terbiasa dengan dinamika sistem kehidupan bangsa dan bahkan dapat membenam dan menimbulkan aspirasi dalam demokrasi rakyat Indonesia. Namun yang perlu menjadi catatan dimasa depan apakah demokrasi rakyat tersebut dapat dipertahankan atau mengalami langkah mundur (step back).

Beberapa nama tokoh yang sudah masuk ke altar calon presiden yang digadangkan oleh media sosial dan di godok oleh partai pemenang pemilu yang lalu (PDIP) diantaranya, (sesuai abjad)  sebagai berikut :
Ganjar Pranowo
Prabowo Subianto
Puan Maharani

Menarik kita bicarakan dari perspektif peluang unggul dan upaya mempertahankan kekuasaan partai politik yang mendapat dukungan rakyat mayoritas.  

Kecenderungan kekuasaan partai politik di negara-negara yang demokrasinya berkembang secara baik sangat dinamis dari partai juara berubah menjadi partai menengah bawah karena mereka banyak kehilangan kursi. Dinegara berkembang apalagi negara tertinggal partai politik bisa saja statis, karena kecenderungan kekuasaan dipertahankan dalam waktu yang lama apalagi rakyatnya masih bisa dipengaruhi dengan banyak alat politik modern dan propaganda politik. Maka yang buruk bisa menjadi baik dan sebaliknya tergantung keberanian partai berkuasa yang mayoritas pemilih mempertaruhkan skenario propaganda sosialnya.

Dalam hukum kekuasaan partai politik, kecenderungan partai politik ingin terus berkuasa bahkan sampai pada tahapan kekuasaan dalam kepercayaan rakyat yang mutlak. Hal ini menjadi tahapan terakhir dalam demokrasi sebelum terjadi single mayority sebagaimana dikebanyakan politik di negara komunis yang tentunya telah berubah sistem politiknya, dimana sekjend partai komunis ex officio pemimpin pemerintahan yang biasanya perdana menteri (Prime Minister).

Sementara partai politik dinegara demokrasi justru sebaliknya, pimpinan partai politik justru hanya berada dibelakang calon Presiden setelah mereka melakukan konvensi (memilih calon) dalam partai politik. Hal ini menjadi indikator kekuasaan rakyat adalah substansi paling urgen dalam demokrasi. Sementara dalam sistem komunis rakyat diperintah dan dikuasai partai politik sehingga kekuasaan biasanya dalam waktu yang panjang karena sedikit elemen lain yang bernyali mengganggu kekuasaan absolut tersebut. Justru karena sistem politik maka kebanyakan diktator lahir dan berkembang di negara yang menganut sistem politik kommunisme.

Dalam sistem kekuasaan di Indonesia dalam perspektif demokrasi (people trust) ada lima sudut kekuasaan yang bermodal sosial yang kuat yakni Megawati dan PDIP, SBY dengan Demokratnya, Prabowo Subianto dengan Gerindranya, Jokowi sebagai yang pernah dipercaya mayoritas rakyat pada dua pilpres yang lalu. Berikutnya kekuasaan politik partai lain tidak dominan karena cenderung dibawa arus politik yang lebih besar.  Sementara Anis Baswedan hanya memiliki potensi untuk itu dan belum dapat dihitung sebagai salah satu sudut kekuasaan politik.

Nah, menganalisa kebijakan dan keputusan PDIP dalam menetapkan calon pemimpin pemerintahan menghadapi Pilpres tahun 2024, yang memasukkan nama Prabowo disamping dua kadernya Puan Maharani dan Ganjar Pranowo dapat di interpretasi beberapa kesimpulan politik sebagai berikut :

Pertama, PDIP bisa saja menggabungkan trust politik antara Jokowi dan PDIP dan hanya mencalonkan kedua kadernya tanpa misalnya Ganjar Pranowo dan Puan Maharani sebagai Capres dan Wapres atau sebaliknya yang disokong Jokowi tanpa melibatkan Prabowo Subianto yang ketua umum partai lain dalam kekuasaan politiknya. Karena hasilnya tidak akan jauh berbeda dalam kualitas image dan opini publik di Indonesia.

Kedua, Jika kebijakan harus memasukkan nama Prabowo Subianto sebagai Capres maka ada Deal politik lain yang lebih besar dalam tujuan politik bernegara PDIP untuk masa yang akan datang.

Ketiga, Megawati diusia yang sudah lanjut yang penting dalam hidupnya dapat menyerahkan kekuasaan politik kepada Puan Maharani sebagai penerus politik sebagai pemimpin bangsa meskipun dalam kapasitas sebagai Wapres bukan Presiden.

Keempat,  Ada skenario politik lebih besar antara Megawati dan Prabowo untuk merubah sistem politik atau sistem negara yang berdampak besar terhadap perubahan kekuasaan politik dimasa depan. Jika tidak ada hal tersebut mustahil terjadi koalisi politik dimana kekuasaan politik harus dibagi dalam kecenderungan psikology politik.

Kelima, Ada komitmen politik pada masa lalu antara Megawati dan Prabowo yang harus dipenuhi sebagai bentuk konsistensi dalam politik, meskipun terlihat secara sosial Megawati sebagai pemimpin yang lugu dalam politik.

Keenam, Yang paling urgen dalam hidupnya hanya mengantarkan anaknya sebagai pemimpin bangsa meski tanpa tujuan politik yang lebih besar untuk negara dan kepentingan perubahan sosial.

Ketujuh, Fobia politik terhadap lawan politiknya yang sudah terukur yang apabila berkoalisi dapat mengalahkan dan menghilangkan kekuasaan politiknya atas pemerintah Republik Indonesia.

Demikian ilustrasi dan interpretasi atas kekuasaan politik saat ini yang berkembang sebagai salah satu pertimbangan pilihan hidup bangsa Indonesia dimasa yang akan datang.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun