Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Oh Megawati, Ganjar dan Puan, Kenapa Harus Prabowo, Ada Apa?

30 Januari 2022   12:09 Diperbarui: 30 Januari 2022   12:13 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Pikiran Rakyat. Com

Dalam hukum kekuasaan partai politik, kecenderungan partai politik ingin terus berkuasa bahkan sampai pada tahapan kekuasaan dalam kepercayaan rakyat yang mutlak. Hal ini menjadi tahapan terakhir dalam demokrasi sebelum terjadi single mayority sebagaimana dikebanyakan politik di negara komunis yang tentunya telah berubah sistem politiknya, dimana sekjend partai komunis ex officio pemimpin pemerintahan yang biasanya perdana menteri (Prime Minister).

Sementara partai politik dinegara demokrasi justru sebaliknya, pimpinan partai politik justru hanya berada dibelakang calon Presiden setelah mereka melakukan konvensi (memilih calon) dalam partai politik. Hal ini menjadi indikator kekuasaan rakyat adalah substansi paling urgen dalam demokrasi. Sementara dalam sistem komunis rakyat diperintah dan dikuasai partai politik sehingga kekuasaan biasanya dalam waktu yang panjang karena sedikit elemen lain yang bernyali mengganggu kekuasaan absolut tersebut. Justru karena sistem politik maka kebanyakan diktator lahir dan berkembang di negara yang menganut sistem politik kommunisme.

Dalam sistem kekuasaan di Indonesia dalam perspektif demokrasi (people trust) ada lima sudut kekuasaan yang bermodal sosial yang kuat yakni Megawati dan PDIP, SBY dengan Demokratnya, Prabowo Subianto dengan Gerindranya, Jokowi sebagai yang pernah dipercaya mayoritas rakyat pada dua pilpres yang lalu. Berikutnya kekuasaan politik partai lain tidak dominan karena cenderung dibawa arus politik yang lebih besar.  Sementara Anis Baswedan hanya memiliki potensi untuk itu dan belum dapat dihitung sebagai salah satu sudut kekuasaan politik.

Nah, menganalisa kebijakan dan keputusan PDIP dalam menetapkan calon pemimpin pemerintahan menghadapi Pilpres tahun 2024, yang memasukkan nama Prabowo disamping dua kadernya Puan Maharani dan Ganjar Pranowo dapat di interpretasi beberapa kesimpulan politik sebagai berikut :

Pertama, PDIP bisa saja menggabungkan trust politik antara Jokowi dan PDIP dan hanya mencalonkan kedua kadernya tanpa misalnya Ganjar Pranowo dan Puan Maharani sebagai Capres dan Wapres atau sebaliknya yang disokong Jokowi tanpa melibatkan Prabowo Subianto yang ketua umum partai lain dalam kekuasaan politiknya. Karena hasilnya tidak akan jauh berbeda dalam kualitas image dan opini publik di Indonesia.

Kedua, Jika kebijakan harus memasukkan nama Prabowo Subianto sebagai Capres maka ada Deal politik lain yang lebih besar dalam tujuan politik bernegara PDIP untuk masa yang akan datang.

Ketiga, Megawati diusia yang sudah lanjut yang penting dalam hidupnya dapat menyerahkan kekuasaan politik kepada Puan Maharani sebagai penerus politik sebagai pemimpin bangsa meskipun dalam kapasitas sebagai Wapres bukan Presiden.

Keempat,  Ada skenario politik lebih besar antara Megawati dan Prabowo untuk merubah sistem politik atau sistem negara yang berdampak besar terhadap perubahan kekuasaan politik dimasa depan. Jika tidak ada hal tersebut mustahil terjadi koalisi politik dimana kekuasaan politik harus dibagi dalam kecenderungan psikology politik.

Kelima, Ada komitmen politik pada masa lalu antara Megawati dan Prabowo yang harus dipenuhi sebagai bentuk konsistensi dalam politik, meskipun terlihat secara sosial Megawati sebagai pemimpin yang lugu dalam politik.

Keenam, Yang paling urgen dalam hidupnya hanya mengantarkan anaknya sebagai pemimpin bangsa meski tanpa tujuan politik yang lebih besar untuk negara dan kepentingan perubahan sosial.

Ketujuh, Fobia politik terhadap lawan politiknya yang sudah terukur yang apabila berkoalisi dapat mengalahkan dan menghilangkan kekuasaan politiknya atas pemerintah Republik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun