Masa Rezim Jokowi Partai Politik Sekedar Mengandalkan Anak Buah, Seragam Dan Gaya, Fungsinya Impoten dan Sontoloyo
Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Partai politik bergejala sejak awal penampakannya kita sudah dapat membaca dan memahami partai tersebut. Apakah dia hantu, Â apakah dia jin, apakah partai yang berjuang untuk kehidupan rakyat. Kalau sekedar gaya dengan seragam tanpa ruh perjuangan maka sesungguhnya rakyat sudah salah menilai dan 100 persen rakyat akan tertipu secara berulang.
Bahwa yang anda lihat tentu sesuatu yang tidak berbeda dengan apa yang sudah pernah anda saksikan dimasa sebelumnya pada partai-partai lainnya. Perbedaannya hanya pada tampilan fisik, misalnya dulu bajunya warna biru sekarang warnanya menjadi kuning. Lalu mereka akan bicara perubahan dengan bahwa kami akan begana dan begini untuk merubah kondisi sosial. Padahal intinya partai baru hanya mengenderai kenderaan baru untuk dapat establish dilingkaran kekuasaan negara. Begitulah kiranya logika kehadiran partai politik yang tidak dapat menunjukkan basis dan ruh pergerakannya.
Pertanyaannya begini, petinggi politik partai itu mengajak masyarakat bergabung, merekrut anggota masyarakat, ditengah eforia mungkin saja anggota masyarakat itu akan lupa, apa yang sedang dilakukannya dengan bergabung ke partai tersebut. Â Karena mungkin saja ia bisa bertemu para petinggi partai yang biasanya hidupnya lebih berada daripada pengikut atau anggota. Â Tetapi seiring perjalanan waktu, para petinggi partai harus mampu menjawab, untuk apa masyarakat atau seseorang diajak bergabung dalam partai politik. Apakah dia ingin memperjuangkan tujuan politik tertentu?
Jika kita melihat kebelakang selama berkembangnya partai politik di Indonesia maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa elemen terbesar yang bergabung bukanlah orang-orang yang ingin berjuang dan memiliki kemampuan politik dalam partai politik. Tetapi sebahagian besar justru lebih banyak orang-orang yang sekedar mencari pekerjaan ke partai politik. Berikutnya orang-orang yang sebatas mencari uang dan peluang mendapatkan uang disana.
Berdasarkan keberadaan mereka maka pertanyaannya, apakah mereka tidak kecewa setelah mendapatkan kenyataan diluar dari yang mereka perkirakan. Â Kemudian waktu akan menggilas mereka karena larut dalam partai politik dan setelah disadari orang lain telah berjalan jauh kedepan meninggalkannya dalam dunia kehidupan yang telah berubah. Sementara pimpinan partai politik yang tidak berpikir masa depan kadernya sebagaimana mereka tidak berpikir untuk masa depan rakyat tidak pernah mengarahkan mereka untuk lebih maju dan membiarkan mereka larut untuk dieksploitasi tenaganya dalam membantu partai politik bersangkutan atas nama kader partai.
Saya banyak menemukan betapa banyak kasus tentang orang terlantar akibat partai politik dengan berbagai latar belakang. Misalnya seorang kader partai yang sebelumnya sudah bekerja siang dan malam berjuang bersama namun setelah orang yang diperjuangkan berada di jabatan pemerintahan teman-teman kader yang sebelumnya bersama justru terbuang.
Kenapa hal demikian bisa terjadi? Tentu saja karena pekerjaan politik dalam mempengaruhi masyarakat diakar rumput bisa dilakukan oleh orang yang biasa bahkan sering hidup secara langsung berbaur dengan masyarakat dibawah. Sementara ketika yang terpilih masuk dalam pekerjaan di pemerintahan maka mereka akan cenderung berlaku eksklusif dengan sendirinya para pendukung kampanye lapangan akan semakin asing dengan tugas pemerintahan yang berbau protokoler. Pada akhirnya akan terjadi gab dan salah paham dalam komunikasi mereka dan terjadilah perpisahan atau akan ada pihak yang memisahkan diri, akibat kecewa dan berbagai persoalan akan muncul dalam hubungan mereka yang semakin lama semakin menemui peebedaan yang lebar.
Oleh karena itulah maka berhati-hatilah dalam membangun hubungan politik dengan calon pimpinan yang terkadang mereka tidak siap secara mental menghadapi situasi dan justru menjadi dilema yang menyakitkan bagi anda sebagai kader politik, dimana anda sebesar gajah dipelupuk mata tidak terlihat tapi semut diseberang lautan begitu nyata.
Fenomena hidup di negara ini sekarang berubah secara drastis, akibat nilai uang yang lemah maka anda pegang uang sejuta hanya tiga hari belanja rumah di kampung, apalagi ada anak yang sedang dalam pendidikan. Setiap hari anda butuh uang minimal tiga sampai Lima Ratus Ribu Rupiah. Sebulan kebutuhan uang dalam keluarga sangat sederhana diatas Sembilan Juta Rupiah. Kalau presiden dan menteri Keuangan keberatan dengan pernyataan saya ini, pasti mereka sedang membohongi rakyat yang hidupnya melarat di Indonesia. Kemudian pemerintah ingin menetapkan UMR seumur dunia dibawah Tiga Juta Rupiah karena memang rakyat Indonesia standar hidupnya rata-rata dibawah kemiskinan. Sementara yang hidup diatas rata-rata sudah pastilah aparatur pemerintahan yang korup. Sedangkan pemilik usaha dan pengusaha hari ini mereka kaya besok bangkrut, karena usaha mereka tidak stabil di negara kita, Â listrik, BBM tidak stabil sehingga biaya produksi dan operasi di negeri kita dapat berubah setiap waktu. Berikut ancaman biaya keamanan fatal yang besar karena kondisi daerah juga tidak kondusif, masih banyak prilaku polisi yang tidak pada standar normalnya.
Dengan kondisi kehidupan sosial seperti itu maka sesungguhnya masyarakat Indonesia belum berstandar sebagai masyarakat politik, apalagi masyarakat yang demokratis, sebagaimana masyarakat di negara-negara eropa dan skandanavia yang tingkat standar hidupnya lebih baik. Kalau boleh jujur, sebenarnya masyarakat Indonesia yang sudah mapanpun masih berstandar mental budak akibat terlalu lama di jajah oleh bangsa asing, sementara masyarakat tertinggal di negeri kita ini hidupnya sama dengan kehidupan dalam teori evolusi Darwin. Yaitu masa transisi dari orang hutan ke manusia.
Lalu, apakah wajar kita bicara emansipasi wanita, gender, hak azasi manusia, demokrasi dan alat-alat pembangunan dunia modern pada masyarakat Indonesia sekarang? Tapi dimasa pemerintah Habibie, Gusdur. Megawati, dan SBY masih bisa kita bicara hal tersebut. Jika kita berharap perubahan dari partai politik? Â Justru karena mereka lemah sumber daya manusianya maka rakyatpun ikut lemah. Kalau bidang lain sudah lebih maju tapi bidang politik masyarakat Indonesia sesungguhnya sangat tertinggal. Apalagi dimasa presiden Joko Widodo partai politik justru mundur jauh ke belakang bukannya bertambah maju.
Partai politik hanya menjadi alat untuk mencari uang atau mesin produksi sebagaimana pabrik kerupuk, jauh dari standarnya sebagai lembaga pendidikan sosial. Dimasa pemerintahan sebelum rezim Jokowi dan sesudah rezim Soeharto ada geliat pembangunan politik Indonesia mengalami kemajuan drastis. Di masa Soeharto masyarakat Indonesia hidup untuk sekedar cari makan dan tidak ada politik, karena dibelenggu total. Sedang di masa Rezim Jokowi partai politik juga dibelenggu dan dikuasai pemerintah dengan merebut posisi pimpinan partai politik meski dengan cara yang santun dimata awam tapi sangat kasar dan sadis dalam hukum dan etika demokrasi.
Oleh karena itulah partai politik yang sekedar mengandalkan gaya dan tampilan egonya dimasa ini sungguh tidak lagi menjadi kebutuhan jaman. Rakyat hanya menyia-nyiakan waktu untuk pembangunan politik di negeri ini, karena sesungguhnya memilih partai seperti ini sama dengan membawa Indonesia kebelakang dan membawa masyarakat melarat. Partai politik masa kini dan masa depan harus berada di depan untuk memberi kemudahan hidup rakyat, dengan ruh dan ajaran ilmu partai tersebut masyarakat bisa bertahan hidup. Kalau partai hanya memperlihatkan tampilan dan gaya pakai dasi dan seragam yang gagah sementara sumber dayanya hanya rata-rata pencari uang receh  tapi ditampilkan sebagai orang kaya niscaya partai itu hanya menjadikan rakyat sebagai alat penyeberang rakit batang pisang untuk menyeberangi sungai. Setelah sampai keseberang rakit batang pisang itupun di potong-potong atau dibiarkan saja dibawa arus sungai.
Itulah ilustrasi politik tradisional, dimana anggota hanya dieksploitasi untuk kepentingan politik pimpinan, setelah pimpinan berhasil anggotapun satu persatu terpaksa menghilang. Daripada sistem politik tradisional maka sesungguhnya lebih baik sistem hidup organisasi genk dan perampok Bank. Lalu bagaimana sistem politik modern? Tentu akan diulas edisi lain. Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H