Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Politik Lokal Hilang Rakyat Indonesia Mundur dalam Politik Bernegara, Rakyat Aceh Lebih Terjajah

3 Juni 2021   15:29 Diperbarui: 5 Juni 2021   00:17 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesungguhnya keberadaan rakyat Aceh saat ini yang hidup bernegara dengan dua konstitusi yakni UUD 1945 dan UUPA memiliki posisi tawar (bargainning) politik yang cukup kuat dalam bernegara. Rakyat Aceh dapat menyeret pemerintah Indonesia untuk berlaku demokratis untuk seluruh rakyat Indonesia sebagaimana konstitusi negara.

Jika pemerintah berlaku otoritarian dan memperlakukan sistem pemerintahan otokrasi dalam pemerintahan maka dalih-dalih terbuka bahkan menganga bagi masyarakat Aceh menuntut hak yang normal bahkan menuntut merdeka bukan sesuatu yang melanggar konstitusi negeri ini karena masyarakat memahami UUD 1945 yang demokratis dan anti penjajajahan. Tetapi kenapa juga mentalitas rakyat justru menjadi lemah? Sebabnya tidak lain adalah akibat lemahnya pemahaman masyarakat sendiri terhadap konstitusi negeri ini.

Pengalaman hidup bangsa Indonesia yang dijajah lama lebih kurang empat abad oleh bangsa lain adalah akibat lemahnya pengetahuan rakyat itu sendiri. Prilaku penjajah dan masyarakat menerima sebagai terjajah masih mendominasi sikap rakyat Indonesia yang terdidik dalam budaya feodal. Lalu, apakah sikap pemerintah terhadap rakyat daerah masih menjajah?

Semua tergantung pada kemampuan masyarakat melihatnya, jika pemimpin daerah dan mereka cerdas melihatnya tentu dapat dibuka dan diberi pemahaman kepada rakyat secara transparan. Karena memberi pendidikan politik kepada rakyat adalah kewajiban bagi para politisi dan partai politik. Tetapi jika pimpinan partai politik daerah juga tidak punya kemampuan dan kapasitas melihat hal itu dapat dipastikan rakyat daerah yang dijajah langsungpun mereka tidak pernah memahaminya. Lalu, apa yang terjadi?

Otonomi daerah apalagi otonomi khusus sudah pasti akan binasa, dapat dipastikan keberadaannya sebatas simbolik belaka. Sementara penerapan otonomi daerah dan otonomi khusus hanya lips servise yang hanya berorientasi pada sistem sentralistik sebagaimana masa lalu.

Karena itu jika disebutkan masyarakat sudah pandai berpolitik maka dapat dipastikan bahwa masyarakat sudah pandai menipu dalam politik secara kasar atau bisa saja meninabobokan rakyat dalam impiannya bernegara tanpa memperuangkan hak politik yang sesungguhnya. Karena apa?

Tentu saja karena politik pragmatis hanya mengajarkan rakyat mengeksploitasi sentimen dan melakukan propaganda pemenangan kelompok politik. Hal itu masih sangat jauh dengan nilai-nilai standar dalam politik. Justru karena itulah kepemimpinan daerah oleh bupati dan gubernur hanya berorientasi pada penguasa anggaran negara. Sementara rakyat hanya menjadi objek yang diperhatikan secara simbolik.

Akhirnya pemerintah hanya membangun program bantuan ini dan itu bahkan terhadap partai politikrakyatpun disebutkan bantuan kepada partai politik, apalagi kepada segmen dhuafa. Padahal semua yang disimbolkan dengan bantuan tersebut adalah kewajiban utama negara bukan sebatas bantuan yang memisahkan rakyat sebagai si miskin dan pemerintah sebagai si kaya. Logika ini tentu telah memuluskan pemerintah sebagai penguasa rakyat sebagaimana perompak menguasai sekelompok warga yang dijadikan sandera. Hal ini tentu bertentangan dengan konsepsi negara yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat dan membebaskannya dari penjajahan dipermukaan bumi sebagaimana bunyi pembukaan UUD 1945.

Lalu, pertanyaan yan paling vital adalah, apakah partai lokal mengganggu sistem bernegara di Indonesia?

Jawabnya adalah ketika pemerintah berlaku otoriter dan anti dengan konstitusi negara Indonesia yang demokratis maka partai lokal bukanlah partai politik yang wajar dalam sistem pemerintagan Indonesia. Tetapi dalam pemerintahan yang demokratis sebagaimana konstitusi negara maka partai lokal adalah alat pembelajaran bangsa yang menuntut kebangsaan yang luas dan modern sebagaimana pancasila dan UUD 1945 yang menjamin hak dan  kehidupan rakyatnya untuk hidup di alam merdeka.

Lalu, kalau ada kebijakan pengkebirian partai lokal oleh pemerintah, maka sesungguhnya pemerintah tersebut sedang merusak bangsa Indonesia yang besar dan demokratis. Pemerintah tersebut bukan sedang membangun rakyat Indonesia yang flural dan demokratis sebagaimana bhineka tunggal ika. Pemerintah itu juga sedang menghambat Indonesia maju yang membelenggu rakyatnya dalam kebijakan penjajahan terselubung. Bagaimana dengan sikap partai politik nasional? Kebijakan mereka berafiliasi dengan partai lokal adalah kebijakan membangun rakyat Indonesia. Sebaliknya jika mereka bersentimen apalagi bermusuhan dengan partai politik lokal maka kebijakan mereka sedang menghambat pembangunan bangsa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun