Kemudian masyarakat memilih bergabung karena warnanya lebih bagus, lebih terang, biasanya warna merah menjadi warna kebanyakan yang disukai masyarakat tertinggal dimana-mana.
Padahal partai politik idealnya bagaimana mereka justru tidak dipisahkan oleh rakyat, partai harus menyesuaikan dengan keragaman masyarakat dan partai politik tidak memisahkan diri dengan rakyat karena seragamnya apalagi oleh warna.
Pemisahan seragam dengan rakyat itu hanya terjadi pada sistem militer, karena memang mereka alat negara. Tapi partai politik itu alat politik rakyat, jika memisahkan diri dengan seragam dari rakyat maka mereka sama dengan tidak mengerti arah pembangunan rakyat sipil.
Masyarakat dinegara kita ini adalah masyarakat terjajah, mentalitasnya belum merdeka, maka seharusnya rakyat Aceh harus lebih cepat belajar apalagi dengan adanya partai politik lokal.
Kalau partai politik lokal anda belajar kepada partai politik nasional maka wajarlah Aceh itu masih dijajah secara terselubung. Pemimpin politik di Aceh di kuasai oleh pemimpin politik pusat yang mereka sendiri tidak cukup kualitas dalam memimpin partai politik karena mereka tidak pernah belajar berdemokrasi yang cukup.
Saya bukan berbicara merendahkan untuk mengejek sebagaimana kebanyakan politisi yang hanya berpolitik dengan sebatas sentimen. Tetapi kenyataannya memang demikian adanya, Pimpinan-pimpinan partai politik sipil dinegeri kita secara total dikalahkan oleh para petinggi militer atau pensiunan. Akhirnya mereka hanya menjadi bulan-bulanan politisi militer.
Kenapa demikian?
Karena pemimpin politik dari kalangan sipil sangat lemah dukungan karena rakyat sudah diracuni dengan pembodohan dalam politik.
Maka pemimpin politik dari kalangan sipilpun ikut irama mainan politik dari kalangan militer yang seragam-seragaman bego itu.
Padahal seragam itu pakaian petugas operasi dalam kehidupan masyarakat cerdas dan bebas.
Lalu apakah normal partai politik gunakan seragam?