Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin Politik yang Larut dalam Kekuasaan Cenderung Jadi Pembohong

2 Maret 2021   23:09 Diperbarui: 3 Maret 2021   07:47 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Pimpinan politik atau pemimpin partai politik pada akhirnya akan menjadi pembohong ketika dibedah peran dan fungsinya secara terbuka. Biasanya hal ini menimpa pemimpin kharismatik yang kekuasaannya melebihi kewenangan bahkan cenderung menjadi istimewa.

Jika ia pemimpin partai politik maka pada saat masih menjabat dan berkuasa sulit diungkapkan kebobrokan itu, tetapi ketika kekuasaannya berkurang semua sisi negatifnya dalam politik akan terungkap, bahkan mereka yang kharismatik akan lebih mudah diungkapkan karena pengikutnya semasih berkuasa menganggapnya dewa yang suci tidak bisa disentuh.

Pada dasarnya kekuasaan memberikan para pemimpin kewenangan menentukan masa depan orang lain, tetapi setelah digantikan peran tersebut telah beralih ketangan pihak lain dan pemimpin itu menjadi mantan dan biasanya mereka merasa masih melekat dengan kewenangannya semasa berkuasa atau memimpin.

Karena itulah maka terjadi pos power sindrom pada mereka yang pernah berkuasa, apalagi mereka arogan dan sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya. Dampak paska kekuasaan seringkali mereka menjadi drop down dan makan hati karena mantan anak buahnya sudah tidak sepatuh ketika ia berkuasa. Alhasil ia sakit dan meninggal karena kekuasaan dan kehormatan dalam hidupnya telah hilang yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan.

Oleh karena itu dalam kehidupan para pekerja profesional dan pada perusahaan-perusahaan besar para karyawannya disiapkan pendidikan dan pelatihan menghadapi masa pensiunan dengan berbagai metode meskipun mereka sebatas karyawan. Tetapi hidupnya sudah tergolong aman dan mereka tidak menghadapi masalah-masalah peliknya kehidupan sebagaimana masyarakat biasa yang tidak terikat dengan manajemen perusahaan profesional.

Demikian pula halnya pimpinan politik yang seumur hidupnya terjebak dengan dilema kekuasaan akan terjerumus dalam dinamika politik kecil-kecil hingga dalam pengaturan posisi jabatan di partai politik. Padahal disitu dituntut kesabaran yang maha luar biasa jika mereka inginkan keberadaannya sebagai negarawan atau bapak bangsa.

Pilihan inilah yang sering menjebak para pemimpin, yang jika mereka salah langkah akan membawa posisi mereka terdegradasi yang semula sebagai pemimpin dan jatuh sebagai pembohong kelas tinggi. Akan halnya seorang bintang film (aktris) yang popularitasnya tinggi dan hidup dalam kemewahan, namun karena tidak berorientasi pada profesinya dan mengandalkan kuasa popularitasnya sehingga mereka larut dalam pergaulan dan upaya mempertahankan popularitasnya.  Pada akhirnya justru terjebak dengan pola-pola prilaku yang tidak wajar dan masyarakat menganggapnya sebagai wanita murahan.

Kembali kepada politik, dimana dunianya yang penuh dengan siasat yang tidak berhenti dalam aktivitas propaganda, bedanya politik landasannya banyak diwarnai kehidupan orang banyak, negara, elemen rakyat, konstitusi, aturan hukum dan lain-lain. Sementara propaganda hanya berorientasi pada kepentingan pemenangan politik seseorang atau sekelompok kecil orang yang bisa saja dengan menggunakan segala cara bahkan dengan  membohongi publik dan menipu sekalipun.

Masalahnya apa?
Ditengah kehidupan masyarakat yang lemah memahami politik demokrasi maka perbedaan itu sangat tipis, masyarakat tidak akan mengenal yang mana propaganda dan yang mana politik, apalagi yang mengartikulasikan politik sebagai siasat tanpa etika dan fatsunnya.

Hal inilah yang kemudian menyebabkan kebohongan yang diorganisir menjadi kebenaran, sementara mereka yang berpolitik secara sungguh-sungguh selalu saja kalah ditengah masyarakat di negara ketiga. Kecenderungan sosial seperti ini akan terus terjadi sampai negara mengalami stagnasi dan kebangkrutan akibat disfungsi elemen-elemennya secara baik.

Jika anda menanyakan, apakah kondisi negara ketiga akan mengalami kebangkrutan? Jawabnya benar dan bagaimana dengan negara berkembang? Tentu jawabannya adalah dalam proses menuju ke titik stagnasi, bahkan mereka akan mengalami inflasi yang tinggi dan redenominasi terhadap mata uangnya. Kebijakan alternatif pemulihan ekonomi bersifat sementara dilakukan dengan membuang beberapa nol pada mata uangnya sehingga nominalnya menjadi lebih kecil, misalnya uang Rp. 1.000 menjadi Rp. 1.

Lihatlah bagaimana kondisi negara Zimbabwe dengan tingkat inflasi 785 persen. Jumlah uangnya segerobak, tetapi nilainya hanya cukup untuk membeli sepiring martabak atau segelas kopi atau satu lampu teplok. Kemudian masyarakatnya menjual uangnya yang segerobak dengan sedikit jumlah mata uang lainnya yang establist seperti US Dollar dan uang negara lain. Hal itu semula berawal dari kondisi politik dan kepemimpinan yang korup.

Jika sudah demikian kondisi negara maka negara tersebut sudah dianggap kacau balau dan diambang bangkrut. Kondisi ini dengan gampang dapat dijajah oleh bangsa lain dengan pintu masuk bantuan atau pinjaman pemulihan ekonominya.

Lalu, bagaimana negara yang kuat? Jawabnya adalah negara dengan referensi rakyatnya yang produktif dan negara produsen bukan negara konsumtif. Maka discovery dan inovasi dan mereka warga yang cerdas dan mumpuni harus mendapat perhatian dan prioritas pemerintahnya. Kalau pemerintah lemot dan apatis dan mereka hanya berkonsentrasi pada jabatan administratif dan birokratif maka potensi negara gulung tikar senantiasa menunggunya.

Oleh karena itu pemimpin politik perlu berorientasi pada upaya-upaya menghadapi masalah bangsa dan harus bersikap terhadap penyelewengan kekuasaan, karena pemilik kekuasaan yang absolut akan cenderung korup dan membawa kekuasaannya pada kepentingan dirinya dan kelompoknya. Jika pemimpin politik larut dalam kekuasaan partai politik mereka akan cenderung lupa pada penanganan rakyat dan negaranya, yang pada akhirnya mereka yang pemimpin politik disamakan dengan pembohong karena kondisi rakyat yang terus melarat.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun