Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Isu Kudeta di Partai Demokrat, Bagaimana Sesungguhnya Kudeta di Partai Politik?

1 Maret 2021   13:36 Diperbarui: 1 Maret 2021   14:11 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Dalam dua bulan terakhir kata kudeta begitu akrab dituliskan oleh para penulis di sejumlah media kita, terutama rencana kudeta Ketua Umum Partai Demokrat.

Saya justru melihat issu itu telah memunculkan pengingat kata Partai Demokrat berulangkali dalam otak setiap orang. Dalam politik memunculkan berita, memunculkan opini adalah pekerjaan politik utama apalagi dijaman ini. Terlepas plus dan negatif. Karena berita negatif tinggal diubah menjadi positif, partai terpojok tinggal diubah supaya lepas dari pojokan dan yang utama adalah opini tersebut menjadi besar.

Setelah issu politik cukup dengan viewernya jadilah opini politik dan opini sosial sebelum menjadi kecenderungan sosial rakyat disuatu negara. Namun menurut analisa saya issu kudeta dalam partai ini sangat tidak cukup syarat untuk membangun kecenderungan sosial. Ia hanya akan dibatasi sebatas memperkuat kepemimpinan di partai itu dan daya jelajahnya terbatas pada sentimen politik baik para pimpinan partai politik dan buruknya oposisi sehingga perlu mendapat sanksi sosial.

Nah...karena issu tersebut eksklusif maka daya jelajahnya pun tidak akan mampu menembus kecenderungan politik sosial dalam masyarakat.

Sebenarnya rada aneh mendengar kata kudeta dalam partai politik, karena mekanisme penentuan Ketua Umumnya melibatkan kader ditingkat provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kalau merebut Ketua Umum secara paksa juga hanya bisa dilakukan dengan Kongres Luar Biasa (KLB) yang juga melibatkan kader pimpinan tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota, kemudian setengah ada pembelahan sikap dalam kepengurusan DPPnya.

Jika issu ini adalah mainan politik maka seharusnya para penyebar issu ini juga tidak perlu terlalu berlebihan (lebay) dalam menggorengnya yang membuat kita sampai terpingkal.

Persoalan pemecatan kader Partai salah satu fakta yang menunjukkan issu kudeta Ketua Umum Partai Demokrat adalah issu kaki lima, apabila hal ini terjadipun maka ada skenario sandiwara politik yang bertarget politik lainnya.

Namunpun demikian saya masih melihat hal ini secara positif sebagai kreatifitas dalam pekerjaan dan pembelajaran politik partai daripada partai lainnya yang mirip prilaku ular piton yang diam kala kenyang dan lincah kala lapar, dekat pemilu biasanya sudah kahausan dan kelaparan sehabis pemilu mencari tempat tidur akibat kekenyangan, sembari menunggu makanan yang lewat saja kalau didapatpun untuk sebatas simpanannya.

Kenapa penulis menyebut issu kudeta ini sebagai issu kaki lima?

Pertama, lihat saja nama-nama yang dipecat yang disebutkan gelombang pertama dan posisi kedudukan serta keberadaan mereka dalam partai Demokrat. Misalnya Marzuki Ali yang tidak lagi menjadi pengurus aktif selama enam tahun ini. Kemudian Nazaruddin yang dipenjara karena kasus korupsi Wisma Atlet dan lainnya yang malas kita bicarakan karena tidak masuk dalam logika politik.

Mungkin saja issu politik praktis dikebangkan ini masuk akal jika pada pemecatan gelombang kedua akan banyak Pengurus DPP yang masuk dalam daftar. Jika hal ini tidak terbukti maka ada propaganda politik yang dilakukan oleh kebijakan politik partai itu sendiri untuk kampanye pemenangan opini partai tersebut. Bisa saja ada target politik diluar obyek yang dibicarakan, ibarat pukulan bola billyar dalam arena olah raga nasional.

Pertanyaannya, nama pengurus DPP Partai Demokrat yang saat ini masih menjabat, ada atau nihil? Jika tidak ada bagaimana mungkin mereka bisa melakukan rekayasa pelaksanaan Kongres Luar Biasa. Siapa yang punya otoritas menggerakkan dan siapa-siapa barisan yang menentang kepemimpinan Ketua Umum yang dianggap melanggar atau (abuse power). Karena apa?

Karena hakikat Kongres Luar Biasa adalah Kongres sebagaimana biasa hanya saja dapat dikurangi beberapa syarat pelaksanaan kongres secara normal.

Bagi masyarakat nilai negatifnya juga ada dimana seharusnya otak warga negara diisi dengan politik pemberdayaan dan tahapan penguatan kedaulatan rakyat yang semakin terdegradasi dengan pemaksaan kehendak pemerintah dalam beberapa UU terakhir. Tetapi setengah dari pemikiran netizen justru sebatas membicarakan pendhaliman terhadap Ketua Umum partai Demokrat.

Moeldoko

Katakanlah ada nama Moeldoko yang dianggap punya modal dan kekuasaan pemerintah untuk mewarnai issu politik tersebut, yang punya celah merebut kekuasaan partai politik, tetapi tentunya menimbulkan ribuan pertanyaan dalam pekerjaan politik tersebut. Kalau sekedar mengandalkan kuasa pemerintah untuk sebatas mengeluarkan Surat Keputusan Kemenkumham juga tidak segampang yang publik pikirkan apalagi untuk kepemimpinan partai politik.

Hal itupun pemerintah sudah berlaku sangat kasar dan menyalahgunakan kekuasan dalam bernegara, karena partai politik sekelas partai Demokrat yang pernah menjadi partai berkuasa dan memiliki mantan presiden selama dua periode tentu saja dapat membuat negara ini goyang karena pemimpinnya dianggap kanibal dalam kekuasaan. Kecuali dalam kepemimpinan Karang Taruna atau organisasi masyarakat (Ormas).

Jadi kudeta pimpinan partai politik menurut pemahaman saya akan sulit dilakukan, namun bila kebijakan itu dilakukan atau bersumber oleh good fathernya misalnya oleh SBY dalam Demokrat sangat mungkin terlaksana, misalnya ditemukan masalah yang kontra dengan tujuan partai politik, setelah proses transformasi kepemimpinan partai kepada AHY dianggap terlalu dini dalam usia politik maka perlu diambil alih untuk meminimalisir penataan dan pisitioning pimpinan partai politik yang masih dibutuhkan pembinaan good fathernya.

Namun dalam hal ini posisi politik Moeldoko yang sebagai tumbal akan menjadi pertanyaan pemerintah sedang berkuasa. Apakah Moeldoko sedang membangun dan mengendalikan kekuasaan politik pemerintahan ke masa depan atau memang terbatas pada prilaku dan batasan hasrat politik belaka.

Menurut analisa politik penulis, orientasi perhatian politik rakyat justru perlu berorientasi kesana, tidak larut dengan kudeta Ketua Umum partai yang menjadi issu awam dan dibahas ditingkat pemikir dan penulis politik Indonesia.

Sebenarnya partai politik sering mengalami kudeta konstitusi misalnya sekelompok yang kuat dalam partai pilitik itu merubah sistem kepemimpinan yang melemahkan demokrasi, misalnya kepemimpinan yang sebelumnya demokratis kemudian menjadi sistem otoriter. Kemudian mereka menghilangkan hak politik kader sasaran korbannya dan membeli Sikap diam kader ditingkat pimpinan provinsi dan kabupaten/Kota, itupun jika mentalitas mereka korup. Hal ini yang sering terjadi tetapi para kader partai jarang memahami peristiswa politik ini karena kader sering berada pada linkaran kekuasaan good fathernya yang kharismatik. Mereka hanya bisa mengikuti arah pemikiran good fathernya karena politik partai di negeri kita masih dalam kapasitas dan kualitas melihat Tuan Yang Adil.

Kuasa Pendiri Partai Politik

Jika kita simak pemberitaan selama ini tentang issu politik kudeta ini maka kita akan temukan elemen yang dianggap berpengaruh adalah para pendiri partai. Seakan pendiri partai itu ibarat pemilik perusahaan yang bisa mengambil alih kekuasaan kapan saja mereka anggap partai itu dibutuhkan dan tinggal menggali dalih kelemahan dalam penyelenggaraan kekuasaan partai politik.

Padahal pendiri partai politik itu terdiri dari masyarakat yang secara sukarela mendirikan partai politik untuk membuka saluran aspirasi politik masyarakatnya. Jadi aneh jika menganggap pendiri partai politik berkuasa sebagaimana pemilik perusahaan sebagaimana Perseroan Terbatas (PT).

Pendiri partai juga terasa aneh ketika mereka menyoalkan kontribusinya dalam barang dan jasa atau sejumlah uang kepada pemimpin atau mantan pemimpin partai karena mereka sudah menjalankan hak-hak politiknya, apalagi sudah menjadi bahagian penting dari kekuasaan dimasa mereka berkuasa.

Tetapi penguasa yang jahat bisa melakukan sebatas pembelahan partai politik dan biasanya mengambil momen kala terjadi kongres partai politik dengan memanfaatkan kekuasaan mengeluarkan surat keabsahan partai politik melalui kemenkumham. Tapi perlu diingat hal ini adalah preseden buruk dalam pemerintahan dan pemerintah sudah menjadi tirani yang dhalim.

Salam
sumber gambar : okezone

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun