Nah,,,,disini butuh pemahaman lagi, karena tentu banyak berpikir tentang wujud karya pendidikan dengan nilai barang atau materialistik. Padahal para pelaku pendidikan itu dapat memberi keterangan dan pemahaman kepada masyarakat luas juga adalah karya. Menyampaikan melalui tulisannya juga karya, menyampaikan melalui pidatonya juga karya dan berbagai macam bentuk hasil karya seseorang dalam mencerahkan masyarakat. Itulah karya yang juga menjadi bahagian dari karya politik, mereka tidak perlu mengangkat balok atau batu atau membagi sesuatu kepada masyarakat barulah dianggap kerja dalam politik. Ha ha ha,,,,,,
Karena pekerjaan politik salah diartikan maka yang dianggap seseorang mampu dalam politik adalah mereka yang mampu membagi sembako kepada masyarakat. Ini justru aneh dalam pandangan ilmu politik yang sesungguhnya. Meski masyarakat sangat membutuhkan maka seharusnya pekerjaan-pekerjaan politik yang normatif seharusnya dipahami oleh masyarakat. Lalu apa yang harus dilakukan?
Tentu saja masyarakat dapat mengorbankan setengah dari pelaku pekerja politik yang sesungguhnya jika dalam suatu pemilihan rakyat, sedangkan setengah lainnya mestinya masyarakat butuh konsisten sehingga mereka bisa menempatkan orang-orang yang memang memiliki ilmu pengetahuan untuk merubah nasib dan masa depan mereka. Atau dapat saja masyarakat ingin melakukan perubahan secara total yakni bersikap memilih anti sogok menyogok dan memastikan mereka yang melakukan itu sebagai musuh masyarakat yang sebenarnya. Jika tidak demikian maka selamanya masyarakat akan terpelosok dalam kubang ketertinggalannya.
Kenapa demikian? Tentu saja karena para politisi yang mendominasi sebagai pejabat publik adalah dari partai politik. Prilaku mereka dalam memimpin partai politik dan mengangkat kadernya menjadi pemimpin rakyat dan tokoh masyarakat bukan mengajarkan ajaran politik yang berorientasi pada ilmu politik tetapi dengan membangun kecenderungan korup yang akhirnya sama dengan pemikiran rata-rata masyarakat dalam politik, karena merekalah yang menjadi pendidik politik rakyat.
Bagaimana maksudnya? Politik di masyarakat kita berorientasi pada besaran pengorbanan seseorang yang diartikulasikan dengan besaran biaya yang dikeluarkan untuk membantu masyarakat baik dengan sembako, kebutuhan lain yang dianggap sakral, misalnya rumah kaum dhuafa, membantu pengobatan masyarakat miskin, cacat dan anak terlantar serta membantu tempat ibadah. Hal ini berkembang menjadi issu politik yang formasinya seperti pola kerja Robinhood, yang seakan telah hadir penyelamat rakyat.
Jika bukan pola kerja Robinhood yang merampok kemudian membaginya kepada masyarakat dan karena keikhlasannya membantu, tentu saja setelah terpilih menjadi pemimpin daerah mereka akan terbuka dalam pengelolaan keuangan daerah baik dalam bentuk proyek maupun anggaran kerja cash money. Jika mereka taat atau alim mereka membantu masyarakat maka sudah pasti dalam bentuk sedekah dalam hatinya yang paling dalam. Karena sesungguhnya sebagai politisi mereka harus menahan diri untuk tidak melakukan bantuan yang mengarah pada sogokan atau bantuan berkompensasi suara masyarakat.
Realitanya bagaimana? Sebahagian besar mereka yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah mengeluarkan biaya yang besar bahkan dengan bantuan atau pinjaman bayar bila menang pengusaha pemilik modal besar yang memberi bantuan dana dimana kemudian paket proyek pemda wajib diserahkan kepada mereka dalam persentase misalnya 25, 50 bahkan 75 persen. Karena itulah para pengusaha daerah yang tidak berkontribusi atau bermain judi dengan pilkada harus gigit jari dalam pemenangan tendernya.
Jika ilustrasinya sebagaimana saya sampaikan diatas, maka yang menjadi pertanyaan adalah :
Pertama, Apakah pemimpin daerah yang terpilih mengutamakan pembangunan dan pensejahteraan rakyatnya sebagaimana tujuan bernegara?
Kedua, Karena semua calon dari partai politik, apakah partai politik berfungsi secara benar dalam pembangunan rakyat?
Ketiga, Karena kontestannya partai politik meskipun calonnya warga masyarakat, apakah partai politik mengajarkan politik rakyat yang normal atau mereka hanya sebatas tengkulak suara masyarakat?