Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Dalam beberapa hari ini masyarakat Aceh disuguhkan pemaksaan opini kelompok politik seakan wakil gubernur Aceh yang kosong itu milik partai PNA atau haknnya mantan gubernur yang diberhentikan karena ditangkap KPK.
Sentimen politik ini bisa saja dipersepsikan secara awam bahwa kursi wagub itu milik partai PNA Â karena hal itu menjadi kompensasi politik akibat ketuanya dipecat sebagai gubernur.
Dalam aspek legal standing pengisian kursi wagub ini sesungguhnya lebih berpulang kepada partai Demokrat yang merupakan partai terbesar diantara beberapa partai pengusung tersebut ditambah sebagai gubernur. Apalagi gubernur sekarang dijabat langsung oleh ketua partai Demokrat Aceh yang memiliki modal paling besar dalam partai pengusung.
Kemudian PDIP juga dapat membuka jalan bagi kepentingan komunikasi politik dan pembangunan dengan pemerintah pusat. Kesepakatan antara dua partai politik ini bisa dan dapat berjalan di depan secara bijak untuk mempercepat prosesi kelancaran penempatan wagub dan target pembangunan Aceh kedepan tanpa menafikan partai lainnya.
Adapun partai pengusung yang sah saat ini masing-masing sebagai berikut :
 1.  Demokrat dengan 10 kursi
 2.  PDA dengan 1 kursi
 3.  PKB dengan 1 kursi
 4.  PDIP tanpa kursi
 5.  PNA dengan 3 kursi
Â
Sementara PNA perlu diperjelas status keabsahannya terkait ketua Umumnya dan hak politiknya untuk pengajuan calon wagub dan kewajiban dalam aturan rumah (ART) tangganya atau petunjuk organisasinya (PO) terhadap kewenangan penandatanganan hal tersebut. Kemudian juga status kongres serta legalitas partai paska peristiwa dimaksud.
Perihal kekuasaan mengajukan calon wakil gubernur sebenarnya pilihan pertama dari sejumlah pilihan itu adalah memberi kewenangan kepada gubernur untuk menentukan calon wakil gubernur yang memenuhi kriteria bagi kelancaran kerja baginya dan bagi masyarakat. Karena apa?
Tentu karena wakil gubernur itu adalah (alter egonya gubernur) atau orang kepercayaan utama gubernur.
Jadi bukan menghadapkan seseorang sebagai penghambat kepemimpinan gubernur. Jika ada interpretasi oleh gubernur bahwa kehadiran wakil gubernur yang dipaksakan akan menjadi insoliditas atau terbelahnya sistem  pengendalian kekuasaan di Aceh, tentu gubernur dan DPRA akan mencari solusi untuk menghambat munculnya calon yang bakal menambah masalah dalam pemerintah Aceh.
Kemudian wakil gubernur bukan tandingan untuk menghambat kinerja gubernur yang sekarang dan diposisikan sebagai lawan politik kelompok pendukung gubernur yang telah dipecat. Jika ini menjadi orientasi mereka maka sudah dapat diduga apa yang terjadi dalam pemerintahan Aceh dimasa depan. Jawabannya tentu Aceh semakin kacau dan tidak kondusif.
Hipotesa ini sangat beralasan karena secara terbuka kelompok politik di Aceh yang masih mendukung gubernur yang telah dipecat membuat perlawanan dan pembelaan dengan presure power politiknya. Karena itulah maka pengajuan calon pengganti wakil kepala daerah itu diwajibkan dua orang sebagaimana aturan yang pernah ada sehingga dapat memunculkan dua nama yang dapat dipilih oleh DPRA dan dapat mempersempit ruang untuk sogok dan pressure politik.
Sentimen politik yang berkembang seakan calon wakil gubernur ada ditangan mantan gubernur yang telah dipecat, padahal tetap saja menjadi sentimen dalam dinamika politik awam. Hal ini jauh dari tujuan politik yang sesungguhnya. Karena pejabat yang bermasalah tetap harus di hukum secara normatif dan hak politiknya dapat saja dicabut tergantung tuntutannya.
Dalam pengajuan calon wagub semua partai politik memiliki hak yang sama dan harus dipikirkan secara matang agar penempatan sumber daya manusia tersebut bukan sebatas mengandalkan power politik dan pressure kelompok yang tidak rasional dalam perspektif indikator terhadap kualitas sdmnya.
Setidaknya kebijakan mengangkat wakil gubernur yang kosong tidak menambah problema sosial bagi masyarakat dan hanya menjadi beban daerah untuk membangun kelompok politik dan menjadikan daerah untuk sekedar meringankan beban para politisi yang bermain secara buta dalam politik kekuasaan yang pada akhirnya hanya menempatkan Aceh sebagai daerah tertinggal dan para pemimpinnya hidup mewah dan bergelimangan harta.
Setidaknya hal semacam ini tidak perlu dipaksakan oleh kelompok pendukung yang melakukan presure dan berbicara seakan memahami sepenuhnya kriteria calon, padahal mereka hanya membicarakan subyektifitas dan sentimen politik yang pada akhirnya mereka juga akan kecewa.
Para elemen yang terlibat dalam presure politik untuk kebijakan daerah agar mengisi jabatan wagub seharusnya tidak perlu sebagaimana anak ingusan yang cengegesan meminta balon di media sosial. Karena prilaku politik seperti itu memperlihatkan ketidakdewasaan dalam politik.
Pressure politik dijaman sekarang sudah tidak berlaku dan itu hanyalah pekerjaan pelaku politik masa lalu yang ketinggalan jaman. Dimana kualitasnya tidak berbeda dengan dukungan sorak tupai yang sangat kolot. Jika ini yang berlaku maka bukan gubernur Aceh yang arogan sebagaimana tulisan saya sebelumnya, tetapi cara-cara tokoh politiknya yang  justru ambisius, penuh keluguan dan kekanak-kanakan. Belum kita mulai bahas sudah sibuk dengan dukung mendukung, politik kok seperti klub sepak bola. Si fulan cocok, si fulen lebih paham Aceh, justru karena paham Aceh maka Aceh tidak pernah berubah. Kalau perlu yang tidak paham Aceh tetapi paham teori dan kinsep pembangunan serta cerdas dalam komunikasi politik dan sosiology jauh lebih penting daripada sekedar paham Aceh yang menyebabkan Aceh begitu aja sepanjang masa.
Heran kita merasa dengan paham Aceh seakan pantas memimpin Aceh, padahal yang dibutuhkan  ilmu pengetahuan atau keahlian seseorang yang untuk merubah kondisi rakyat Aceh. Kalau sekedar bikin tambah melarat untuk apa paham, bulsyit....
Sekarang jaman sudah berubah, politik itu menggunakan otak sepenuhnya, demikian juga dalam kepemimpinan daerah dan negara tidak perlu presure atau ketegasan yang lugu atau power politik yang hanya memanipulasi kebodohan dan konstituen politik yang tidak paham.
Karena itu saya sarankan agar semua pihak dapat berpikir jernih dalam politik bukan politik sekedar menggerakkan rakyat dalam tujuan-tujuan politik kosong dan buta yang menghabiskan energi masyarakat Aceh tanpa tujuan dan target politik yang pasti.
Pengajuan calon wagub juga seharusnya bukan soalan sentimen pendekatan Aceh merdeka atau Aceh referendum yang justru menambah masalah rakyat yang ingin hidup nyaman dan tenang. Karena pekerjaan politik tanpa bola sebagaimana tujuan merdeka dan referendum yang para pelakunya meminta kebijakan politik dari Indonesia adalah pekerjaan sia-sia yang justru hanya menjadi masalah bagi rakyat Aceh sendiri.
Kalau ingin membangun bangsa dan negara maka mentalitasnya yang perlu dibangun karena membangun suatu bangsa bukan sebatas rebutan kekuasaan politik pragmatis sebagaimana pengisian pejabat politis di lingkungan pemda.
Oleh karena itu keluguan-keluguan  dalam aktivitas politik dan pembohongan terhadap masyarakat, mentalitas hipokrit sudah saatnya dihilangkan oleh para tokoh kita di Aceh sehingga masyarakat tidak hanya menjadi obyek pemasaran politik sepanjang hidupnya.
Seharusnya untuk soalan jabatan yang disediakan negara dan meminta persetujuan rakyat minta saja secara normal secara politik yang normatif, jika perlu bahkan secara terbuka. tidak perlulah membangkitkan emosional rakyat, memprovokasi seakan- akan ada perjuangan besar bersama rakyat untuk pembebasannya.
Kita kuatir masyarakat Aceh hanya korban yang sekedar memperoleh harapan dan angin surga dalam politik. Tetapi hidup melarat dan menderita dengan kemiskinan di Sumatera sebagai realita yang harus diterima.
Salam
Sumber Gambar : pexels
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H