Dalam pengajuan calon wagub semua partai politik memiliki hak yang sama dan harus dipikirkan secara matang agar penempatan sumber daya manusia tersebut bukan sebatas mengandalkan power politik dan pressure kelompok yang tidak rasional dalam perspektif indikator terhadap kualitas sdmnya.
Setidaknya kebijakan mengangkat wakil gubernur yang kosong tidak menambah problema sosial bagi masyarakat dan hanya menjadi beban daerah untuk membangun kelompok politik dan menjadikan daerah untuk sekedar meringankan beban para politisi yang bermain secara buta dalam politik kekuasaan yang pada akhirnya hanya menempatkan Aceh sebagai daerah tertinggal dan para pemimpinnya hidup mewah dan bergelimangan harta.
Setidaknya hal semacam ini tidak perlu dipaksakan oleh kelompok pendukung yang melakukan presure dan berbicara seakan memahami sepenuhnya kriteria calon, padahal mereka hanya membicarakan subyektifitas dan sentimen politik yang pada akhirnya mereka juga akan kecewa.
Para elemen yang terlibat dalam presure politik untuk kebijakan daerah agar mengisi jabatan wagub seharusnya tidak perlu sebagaimana anak ingusan yang cengegesan meminta balon di media sosial. Karena prilaku politik seperti itu memperlihatkan ketidakdewasaan dalam politik.
Pressure politik dijaman sekarang sudah tidak berlaku dan itu hanyalah pekerjaan pelaku politik masa lalu yang ketinggalan jaman. Dimana kualitasnya tidak berbeda dengan dukungan sorak tupai yang sangat kolot. Jika ini yang berlaku maka bukan gubernur Aceh yang arogan sebagaimana tulisan saya sebelumnya, tetapi cara-cara tokoh politiknya yang  justru ambisius, penuh keluguan dan kekanak-kanakan. Belum kita mulai bahas sudah sibuk dengan dukung mendukung, politik kok seperti klub sepak bola. Si fulan cocok, si fulen lebih paham Aceh, justru karena paham Aceh maka Aceh tidak pernah berubah. Kalau perlu yang tidak paham Aceh tetapi paham teori dan kinsep pembangunan serta cerdas dalam komunikasi politik dan sosiology jauh lebih penting daripada sekedar paham Aceh yang menyebabkan Aceh begitu aja sepanjang masa.
Heran kita merasa dengan paham Aceh seakan pantas memimpin Aceh, padahal yang dibutuhkan  ilmu pengetahuan atau keahlian seseorang yang untuk merubah kondisi rakyat Aceh. Kalau sekedar bikin tambah melarat untuk apa paham, bulsyit....
Sekarang jaman sudah berubah, politik itu menggunakan otak sepenuhnya, demikian juga dalam kepemimpinan daerah dan negara tidak perlu presure atau ketegasan yang lugu atau power politik yang hanya memanipulasi kebodohan dan konstituen politik yang tidak paham.
Karena itu saya sarankan agar semua pihak dapat berpikir jernih dalam politik bukan politik sekedar menggerakkan rakyat dalam tujuan-tujuan politik kosong dan buta yang menghabiskan energi masyarakat Aceh tanpa tujuan dan target politik yang pasti.
Pengajuan calon wagub juga seharusnya bukan soalan sentimen pendekatan Aceh merdeka atau Aceh referendum yang justru menambah masalah rakyat yang ingin hidup nyaman dan tenang. Karena pekerjaan politik tanpa bola sebagaimana tujuan merdeka dan referendum yang para pelakunya meminta kebijakan politik dari Indonesia adalah pekerjaan sia-sia yang justru hanya menjadi masalah bagi rakyat Aceh sendiri.
Kalau ingin membangun bangsa dan negara maka mentalitasnya yang perlu dibangun karena membangun suatu bangsa bukan sebatas rebutan kekuasaan politik pragmatis sebagaimana pengisian pejabat politis di lingkungan pemda.
Oleh karena itu keluguan-keluguan  dalam aktivitas politik dan pembohongan terhadap masyarakat, mentalitas hipokrit sudah saatnya dihilangkan oleh para tokoh kita di Aceh sehingga masyarakat tidak hanya menjadi obyek pemasaran politik sepanjang hidupnya.