Keenam, petinggi partai dan anggota parlemen yang mampu menjadi pendidik politik kader sangat terbatas, biasanya politik hanya ada ketika pemilu, pilkada dan pilpres. Karena keterbatasan ilmu politik maka pada petinggi dan kader hanya terjadi tukar informasi mempengaruhi pemilih terutama dengan barter sogokan yang diminati pemilih, dan diskusi politik sebahagian besar hanya berorientasi ke arah tersebut.
Di sinilah terbangunnya aktivitas anggota partai politik dalam mengantar barang kebutuhan pemilih, menjemput orang dan memberi keterangan tentang bantuan, mempersiapkan saksi partai yang temporer dapat berganti saban pemilihan.
Selain itu aktivitas politik juga hanya diisi dengan kemampuan membuat proposal untuk meminta bantuan partai politik dalam kegiatan yang masih debatable fungsinya bagi masyarakat dan partai politik sendiri.
Lantas, kenapa hal ini bisa terjadi sebagaimana penulis ilustrasikan di atas terhadap partai politik kita?
Jawabnya akibat barteran kepentingan dalam kekuasaan politik kita ditingkat pusat. Sementara di daerah memang sama sekali terjadi disfungsi politik terutama dalam parlemen, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa partai politik tidak berfungsi secara ideal sebagaimana harapan rakyat dan negara.Â
Yang kita temukan hanya hidup masing-masing dengan wakil masing-masing sebagai tuan rakyat pemilih dan pembelajaran politik nihil pada rakyat.
Justru karena itu maka rakyat akan terus tertinggal dan kesenjangan hidup sebagai hal utama dalam masalah negara ini tidak akan pernah terminimalisasi secara sungguh-sungguh meski pemerintah dan anggota parlemen silih berganti.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H