Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Kepemimpinan dibutuhkan ilmu, tidak hanya sekedar memiliki jabatan dan kekuasaan sebagai atasan. Banyak atasan pada suatu lembaga yang establis dan sistemik justru menjadi bahan guyonan bawahannya. Hanya saja kehadiran pimpinan pada lembaga tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan peran dan fungsi pimpinan.
Sebagai contoh lembaga bentukan pemerintah yang telah lama establish, misalnya sumber keuangan standarnya sudah dijangkau, yang diatur dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah lainnya. Pimpinan hanya menghadiri dan melaporkan rencana anggaran tahunan pada pertemuan dengan stakeholder pemerintahan.
Karena lembaga tersebut sistemnya sudah mapan maka pimpinan yang ditempatkan tidak perlu memeras otaknya untuk menghidupi lembaga tersebut, apalagi pimpinan yang jarang menggunakan otaknya sudah pasti aktivitasnya menekan bawahan dan menandatangani surat-surat yang bahkan bisa dibuatkan stempel tanda tangan bila yang bersangkutan berhalangan.
Karena rutinitas yang dilalui adalah pekerjaan birokratis maka pimpinan tersebut hanya bekerja sebagaimana aktivitas wajib sehari-hari, yang bila tidak dilakukannya justru menjadi sesuatu yang tidak biasa dalam hidupnya. Maka banyak aparatur birokrasi yang mengalami pos power sindrome dalam hidupnya ketika memasuki masa-masa tidak menjabat atau dimasa pensiun.
Meski sebagai pemimpin lembaga pemerintah namun jenis kegiatan sehari-hari mereka lebih mengarah kepada pekerjaan teknis yang tidak membutuhkan pengambilan keputusan yang rumit sebagaimana organisasi masyarakat atau organisasi politik bahkan organisasi lembaga swadaya masyarakat.
Ketika kita membahas sumber daya manusia yang mampu membuat perubahan terhadap kehidupan rakyat maka butuh orang-orang yang bekerja sebagai pimpinan organisasi masyarakat, organisasi politik dan lembaga swadaya masyarakat. Karena tanpa memeras otak dan kemampuannya memimpin mustahil organisasi yang dipimpinnya dapat hidup dan berkembang.Â
Justru karena itulah, perlu dipisahkan politik dan aparatur birokrasi. Maka pemimpin rakyat itu saluran rekruitmennya melalui organisasi politik dan organisasi masyarakat lainnya.Â
Ada kecenderungan salah kaprah dalam berpikir dikalangan partai politik, mereka cenderung menganggap pekerjaan politik sama dengan pekerjaan birokrasi. Maka kita bisa menyaksikan beberapa partai politik melakukan rekruitmen pada mantan pensiunan pegawai birokrasi untuk menjadi calon wakil rakyat.Â
Pada kalangan masyarakat biasa saat ini tentu akan mendapat kepercayaan karena dianggap berpengalaman dalam pemerintahan. Sehingga banyak juga para pensiunan kemudian memilih menjadi calon wakil rakyat melalui sejumlah partai politik yang pengurusnya lugu dan belum bisa membedakan pekerjaan politik dan pekerjaan birokrasi dalam pemerintahan. Padahal pensiunan birokrasi itu sebahagian besar pengalamannya sebagai pekerja teknis, sementara pekerjaan politik berada ditataran membuat perubahan sistem kerja dalam hidup, maka politik mengacu pada ideology yang mengarahkan cara hidup.Â
Lalu ada pemimpin politik yang bekerja seperti aparatur birokrasi tidak berani membuat perubahan bagaimana?
Tentu saja si politisi tersebut tidak memiliki ilmu yang cukup dalam politik, sehingga dia dikurung dan kebingungan dengan ilmunya birokrasi, maka dia larut dalam lautan birokrasi yang teknis, dan lupa dengan tuntutan merubah cara hidup yang baru bagi harapan rakyat yang butuh perubahan sebagaimana harapannya pada partai politik. Kalau kehadirannya biasa saja maka sesungguhnya rakyat tidak perlu berharap lebih banyak kepada politisi tersebut, karena ia enjoy bekerja sebagai birokrat dan larut dalam advis atau nasehat birokrator senior dalam pemerintahan.
Lalu, kenapa pimpinan partai politik cenderung berpikir demikian? Tentu saja karena pendidikan politik kita masih terikat dengan target-target kerja birokrasi yang hanya berorientasi pada kinerja kelembagaan yang tidak memberi dampak pada perubahan sosial, kecuali hanya dalam batasan pelayanan normatif.
Indikator lainnya untuk membuktikan hipotesa ini bisa dilihat pada tingkat establistnya lembaga partai politik dan anggotanya. Dimana partai politik menjadi lembaga elit yang berkecukupan, sementara para pengurus dan anggotanya diwarnai dengan janji dan hutang dalam hidupnya.
Anehnya hingga tahun 2021 ini, masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa politisi dibiayai oleh negara, bahkan caleg dianggap mendapatkan uang dari negara sehingga perlakuan dan tanggapan masyarakat terhadap mereka dalam tingkat kepercayaan yang lemah dan menganggap para politisi sebagai saluran distribusi uang negara untuk masyarakat.Â
Padahal caleg dan politisi untuk mengadakan uang dalam kampanyenya menjual tanah, gadaikan rumah, meminjam uang, dan dipenuhi dengan hutang-piutang, apalagi ilmu politik mereka minus maka mereka akan masuk dalam ranah jual beli suara dengan masyarakat dan penyelenggara pemilu, maka biaya memperoleh satu kursi itu melebihi 5 (lima) tahun gaji mereka. Lalu bisa dibayangkan jika mereka tidak memiliki ilmu dan wawasan politik dalam parlemen, maka mereka mencari apa, di lembaga parlemen dimaksud.
Tentu saja hanya menjadi tempat persembunyian mereka untuk mengintip peluang memperoleh pendapatan bersumber dari anggaran negara. Lalu, apa yang bisa diharap oleh masyarakat kepadanya?Â
Tidak lain adalah proyek, fasilitas dan uang dari anggota DPR itu, dan mereka akan cenderung menjadi Tuan konstituen atau tempat konstituen mencari rezeki untuk mempertahankan hidupnya. Dengan pola hubungan seperti ini maka dapat dipastikan bahwa anggota parlemen perlu memelihara anak buah untuk politik agar mereka establish.
Jika anda tanyakan kepada saya, apakah pola hubungan tersebut sebagai pola hubungan politik? Tentu jawabnya benar tetapi politik di daerah dan negara kita yang masih jauh dari politik normatif sebagaimana di negara yang berbudaya demokratis yang menghargai hak-hak politik rakyatnya, dan karena pola hidupnya mereka menempatkan ilmu atau cara hidup yang lebih mudah tidak semata bergantung dengan uang.
Apakah secara kualitas, politik yang kita jalankan sekarang memenuhi kualifikasi politik yang normal? Jawabnya tidak, tetapi masih dalam kualifikasi tingkat rendah yang mengindikasikan politik tanpa arah, karena siapapun bisa menjadi anggota parlemen asalkan mereka memiliki uang untuk membeli suara pada masyarakat dan mengamankan suaranya pada KPU dan pengendalinya.
Apakah dengan kualifikasi ini parlemen berjalan normal? Jawabnya sama sekali tidak, oleh karena itu kedaulatan rakyat dan kesejahteraan yang sebenarnya sangat sulit diperoleh oleh rakyat karena kepemimpinan daerah dan negara hanya membangun positioning agar berandil dalam konspirasi besar birokrasi, yang sesungguhnya masih jauh dari nilai politik yang normal.
Indikatornya bagaimana? Ketika rakyat menghadapi prolema sosial maka sulit bagi rakyat memperoleh perlindungan karena terhambat dengan birokrasi, sementara pemimpin dibungkus dengan birokrasi karena kelemahannya. Oleh karena itu kebijakan memberi dukungan dalam politik terhadap saudara kandung atau ayahnya atau anaknya akan sama saja hasilnya. Â Jika seseorang yang di dukung itu bukan politisi yang berilmu maka hasilnya pastilah kekecewaan. Karena politisi tersebut tidak mampu menghadapi sistem birokrasi dalam pemerintahan yang menggulungnya.
Akibat tidak bisa membedakan pekerjaan birokrasi dan politik maka semua urusannya terbungkus dengan birokrasi yang rapi, maka seorang pemimpin menjadi lemah dan terperangkap dalam lingkaran setan pekerjaan birokrasi. Karena kelemahan ilmu politiknya maka akhirnya pemimpin tersebut yang politisi tidak berdaya dan bekerja sehari-hari sebagaimana pekerja rutin kantoran tidak bisa menjalankan kepemimpinan rakyat. Perhatikanlah banyak gubernur maupun bupati dan wakilnya terbodohkan dengan terkurung dalam pekerjaan birokrasi sehari-hari sulit membuat perubahan untuk rakyat yang mendambakan perubahan dengan politik.
Sekian
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H