Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aneh! Mengukur Derajat Ormas (NU dan Muhammadiyah) dengan Jabatan Menteri

12 Januari 2021   13:36 Diperbarui: 17 Januari 2021   21:21 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Ada sejumlah keanehan yang timbul dalam opini publik dalam politik terkait fungsi dan peran suatu organisasi masyarakat. 

Idealnya organisasi masyarakat itu adalah wadah berkumpulnya masyarakat yang bertujuan sebagai media komunikasi, silaturrahmi, kordinasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut sebagaimana diatur dalam kesepakatan anggota yang dituangkan dalam AD dan ART serta Petunjuk Organisasi (PO) lainnya.

Organisasi masyarakat yang sudah timbuh besar seperti NU, Muhammadiyah dan lainnya justru aneh ketika dihadapkan dengan suatu tinggi rendahnya derajat bergantung jabatan apa yang diberikan oleh pemerintah, bahkan kualifikasinya hingga menteri yang mengurusi urusan penting, yang mungkin saja dikaitkan lagi dengan menteri basah dan menteri kering.

Kalau pengurus ormas dan anggotanya mengukur hubungan dengan pemerintah dalam batasan jabatan pemerintah maka dapat dipastikan bahwa organisasi tersebut telah terjerumus dalam politik pragmatis dan ormas itu telah jauh dari nilai moral dan mentalitas kebenaran yang mengedepankan kepantingan sosial.

Issu politik yang sedang berkembang paska pergantian anggota kabinet bahwa ormas Muhammadiyah kecewa dengan tawaran wakil menteri. Semangat dari ungkapan ini tentu dapat disimpulkan bahwa ada jabatan lain sebagai target atau diincar atau diharapkan misalnya jabatan menteri tertentu. 

Jika benar-benar issu politik ini benar tentu saja bentuk komunikasi ini sudah menjadi budaya dalam pemerintah dan ormas Islam di negeri ini. Kita berharap issu ini tetap saja sebagai issu politik dan jika ada kekeliruan, semoga cepat diluruskan dan diperbaiki agar ormas Islam tersebut di posisi sebagaimana khitah dasar pendiriannya.

Masyarakat memang melihat ada persaingan, persandingan kedua ormas besar Islam ini, yakni antara NU dan Muhammadiyah. Misalnya mutasi anggota kabinet baru-baru ini pemerintah Jokowi menempatkan anggota NU sebagai Menteri. 

Sehingga issu Muhammadiyah kecewa dapat saja timbul dari ukuran NU yang sejajar dengannya mendapat jabatan menteri, sehingga derajatnya diukur atas tinggi rendahnya perolehan jabatan dalam pemerintahan.

Anggota Ormas Kader Partai

Tidak dapat dipungkiri bahwa warga ormas NU dan Muhammadiyah dominan menjadi anggota bahkan pimpinan partai politik, bahkan ada partai politik yang dilahirkan dari kandungan langsung ormas NU dan Muhammadiyah. Misalnya PKB dari NU dan PAN dari Muhammadiyah.

Namun yang perlu disadari bahwa setelah menjadi partai politik justru dianggap menjauh dari ormas Islam tersebut, hal ini sesungguhnya seiring dengan terbukanya dan daya aspiratifnya  partai politik itu sendiri. Karena partai politik perlu sokongan dan dipimpin dengan pengaruh modal yang besar. Sehingga tidak mungkin berada dalam rangkulan ormas semata.

Secara ideal jabatan menteri sewajarnya milik bargainning kekuasaan partai politik dan tidak normal jika jabatan pemerintahan bentuk bargaining atau komunikasi politik ormas dengan pemerintah. Karena ormas bukan wadah politik pragmatis tetapi diluar kelembagaan, dimana anggotanya wajar sebagai anggota dan pimpinan partai politik dengan haknya sebagai warga masyarakat biasa, tetapi mereka tidak menyeret ormas Islam tersebut kedalam politik pragmatis.

Partai politik yang dilahirkan dan berkutat terus dalam ormas Islam ini justru hanya menjadi partai politik terikat dengan aliran atau lebih sering disebut juga partai politik aliran. Partai ini tidak terbuka atau eksklusif meski berbuih lidah kadernya mengkampanyekan sebagai partai terbuka dan inklusif, hasilnya tetap saja dalam opini eksklusif.

Partai politik aliran sulit mengalami pertumbuhannya sebagaimana partai terbuka yang nasionalis, maka di Indonesia para juara pemilu selalu saja diisi oleh partai tidak berciri aliran, karena masyarakat Indonesia lebih dominan yang bebas dan tidak terikat dengan kepentingan ormas.

Lalu kenapa, pertumbuhan partai yang terikat dengan ormas justru berkurang dukungannya, padahal dari jumlah jaringan di dalamnya lebih besar. 

Hal ini bukan soalan bahwa anggota NU dan Muhammadiyah terdiri dari berbagai partai politik, tetapi lebih disebabkan oleh matinya daya ungkit politik partai karena issu eksklusif dan sulit di ubah karena sikap egosentris kelompok dalam partai.

Kader sebahagian besar akan menonjolkan ormas, apakah NU atau Muhammadiyah dalam partai yang memberi kesan bahwa merekalah yang lebih punyak hak dalam partai tersebut sehingga akan mudah memperoleh dukungan dengan hegemoni dalam pemilihan internal. Disisi lain justru penguatan image didalam (internal) dengan sendirinya terbawa keluar (eksternal) yang membuat masyarakat bebas lain merasa memiliki birokrasi di dalam hak-hak politiknya.

Meski di dalam partai, hal ini minim terjadi tetapi politik itu tetap saja membaca landasan opininya pada lubang-lubang yang menganga yang bisa dikampanyekan sebagai kelemahan oleh lawan partai politiknya. Jika masih memimpin dengan sebatas membaca opini didalam dinamika internal partai maka berhentilah membangun partai politik karena dampaknya partai tersebut akan stagnan dalam pengembangan dukungannya. 

Maka perhatikanlah bahwa partai-partai yang berlandaskan aliran hanya berada di papan menengah bawah dalam rangking perolehan suara hasil pemilu. Bahkan kekuatan hegemony terbesar ketika PAN lahir dalam gegap gempita reformasi juga tidak menjadikannya sebagai pemenang pemilu dan tetap saja partai yang bernama demokrasi yang memenangkan pemilu.

Lalu, jika rakyat Indonesia sebahagian besar memahami demokrasi dalam politik sebatas nama dan simbol, sementara pengetahuan dan wawasan kader partai lain terhadap demokrasi lemah atau tidak bisa memperlihatkan wujud demokrasi yang sesungguhnya. Maka kondisi dukungan partai politik saat ini sulit mengalami perubahan, jikapun terjadi perubahan maka hanya secara tipis dan akan kembali pada garis grafik sebelumnya.

Karena itulah partai yang hidup dengan aliran, sesungguhnya tidak yakin dengan politik bebas atau tidak gentleman bertaruh dalam politik yang sesungguhnya, namun mereka hanya mengandalkan jaringan ormas sebagai massa kaptifnya. Semoga dimasa depan partai-partai tersebut tidak terjerumus dalam aliran dan berani bertarung bebas dengan konsep, ide dan gagasan politik bernegara bukan dengan kepentingan politik yang terikat dengan kepentingan mengembangkan organisasi masyarakat yang establist dalam opini publik.

Sekian
*****


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun