Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Tulisan ini hanya mengkaji dalam batasan politik, terutama sikap dan positioning dalam konstelasi politik nasional, namun penulis tidak membahas keberhasilan pembangunan untuk rakyat dan juga tidak membahas kualitas kedaulatannya rakyat dalam pemerintahan Jokowi.
Setelah terpilih dan dilantik presiden Republik Indonesia, giliran membangun kabinet dengan referensi sumber daya manusia dari berbagai bidang sebahagian besar tentunya di dominasi para politisi yang terlibat  dalam pemenangan presiden.
Berbagi kekuasaan sebagaimana yang terjadi pada sistem pemerintahan kita saat ini sungguh langka terjadi di dunia politik. Dimana calon presiden dan wakil presiden menjadi menteri atau pembantu tugas presiden terpilih.
Di negara yang dikenal dengan sistem demokrasinyapun, pembauran dalam politik terjadi hanya pada bakal calon presiden dan itupun dalam satu partai politik yang masih dalam kerangka politik normatif. Sebagaimana Hillary Clinton menjadi menteri luar negeri ketika Saingannya Barack Obama dalam konvensi Partai Politik, kemudian terpilih menjadi presiden Amerika.Â
Tapi di Indonesia kelenturan politik itu terjadi pada tahapan yang lebih tinggi yaitu pada level calon presiden, bahkan dalam pertarungan pemilihan hanya dua kontestan politik. Yaitu Jokowi vs Prabowo yang sempat digelar Cebong dan Kampret dalam kampanye antar pendukung mereka.
Lalu, apakah hal ini kekeliruan dalam politik? Tentu saja tidak, hanya saja sudah pasti menimbulkan pertanyaan rakyat. Karena sebelumnya berseteru dalam kampanye bahkan menimbulkan korban nyawa dan lainnya kemudian justru berbalik jadi pembantunya lawannya.
Tentu saja dalam peristiwa politik hal ini langka terjadi bahkan di belahan bumi lain sekalipun, bahkan dinegara yang paling demokratis di dunia juga belum bisa sampai pada level tersebut.
Dalam perkara ini, presiden Jokowi masuk sebagai presiden terbaik dalam sejarah berbagi kekuasaan yang bisa menempatkan lawan politiknya dalam pilpres sebagai anggota kabinetnya dan membentuk kabinet dari hampir semua partai politik atau kabinet Aneka Rasa.
Kenapa langka terjadi dalam dunia politik? Secara logika politik dalam konteks pemilihan presiden adalah pertarungan ide dan gagasan untuk membangun bangsa dan negara. Pembelahan masyarakat terjadi karena perbedaan sikap, ide, gagasan dalam konsep membangun bangsa. Seringkali diiringi dengan pertarungan ideology politik dunia karena pemilihan presiden di negara manapun akan menjadi perebutan kekuasaan dunia. Karena derajat pertarungan politik sudah mencapai pada level tertinggi maka koalisi atau pembaurannya, kecil kemungkinan terjadi.
Pembudayaan sikap dalam berpolitik seperti ini menjadi fenomena di dunia baik di negara manapun jua. Karena bertentangan dengan sistem kecenderungan politik ini tentu mengakibatkan resiko bagi tim dan kolaisi pemenangan politik dan resiko penggembosan dari dalam pemerintah yang dapat menyebabkan pemerintah dikudeta atau dijatuhkan atau direbut dari dalam.
Bila kita kaji, kenapa positioning politik presiden Jokowi begitu terkesan elegan dan elastis dalam politik bahkan bisa membaurkan saingannya Prabowo kedalam satu pemerintahan? Bagaimana deal politik ini bisa dicapai, tentu dapat kita kaji dalam beberapa dalih mendasar dalam pemikiran yang demokratis, sebagai berikut:
Pertama, Jokowi masuk dalam dunia politik sebagai orang biasa bukan dari kalangan begawan politik pemerintahan di Indonesia sebagaimana tokoh-tokoh politik lain yang bergaris keturunan pemain politik dilevel nasional. Bahkan maju sebagai walikota lebih karena faktor kebutuhan kepemimpinan di solo, tidak karena organisator atau pejuang ideologis atau politik aliran yang mendominasi dunia politik Indonesia.Â
Karena latar belakangnya yang tidak bermuatan politik tertentu yang ambisius, maka positioningnya dalam politik nasional terutama ketika terpilih sebagai presiden tidak menyimpan banyak musuh sebagaimana pemain politik secara umumnya. Kepolosan ini yang mengantarkan dirinya tidak melihat pemimpin dan politisi lain sebagai musuhnya, sehingga ia dengan mudah merangkul semua pihak dan mengajak untuk membangun atau berdalih pengikat dalam membangun bangsa.
Kedua, Alasan pembauran atau koalisi dengan kontestan saingan dalam pilpres juga bisa disebabkan oleh kerentanan status pemerintahan dalam kepercayaan rakyat dimana pada pilpres terjadi dugaan kecurangan yang besar sehingga dengan berbagi kekusaan pihak lawan dapat menerima dan mundur selangkah dalam politik masing-masing mereka. Kebetulan Prabowo berlatar belakang petinggi tentara sehingga lumrah dan dianggap wajar dalam nilai wawasan masyarakat ketika ditempatkan sebagai Menteri Pertahanan. Padahal menteri pertahanan dalam bernegara memegang peran penting dalam kekuasaan negara dan berpotensi melakukan kudeta bila negara dalam keadaan tertentu atau memungkinkan dalam skenario politik. Dalam politik keputusan ini sangat beresiko, tetapi Jokowi mempertaruhkan dan percaya kepada Prabowo yang seterunya dalam pilpres.
Ketiga, Jokowi dalam kekuasaannya bergantung sepenuhnya kepada Megawati yang Ketua Umum Partai PDIP sebagai pemenang pilpres, apalagi hubungan Megawati dengan Prabowo tidak asing bahkan pernah berpasangan sebagai kontestan calon presiden (Megapro). Senioritas sang Ibu atau kakak ini menjaminkan kekuasaan dan batasan politik keduanya.Tentunya hal ini menjadi normatif dalam konteks manajemen politik kekuasaan yang saling menguntungkan. Mereka Jokowi dan Prabowo pemangku jabatan dan simbol kekuasaan sementara Megawati justru menjadi pemimpin diatasnya yang bisa mengendalikan kekuasaan keduanya.
Keempat, Prabowo dengan kegagalan beruntun dalam menjadi presiden atau wakil presiden dan dengan usianya yang lanjut memilih menjadi Menhan sebagai akhir karir fungsionalnya dan mengambil jabatan tersebut untuk kiprahnya dalam pemerintahan dan sekaligus menganulir dugaan-dugaan negatif di karirnya pada masa lalu. Dengan posisi di Menhan tentu dapat membersihkan lembaga ketahanan negara dari kekuasaan pesaing militernya yang mempengaruhi politik nasional. Memandang latar belakang tersebut Jokowi sebagai prediden terpilih cukup beralasan mengajak kerjasama dengan Prabowo dan menempatkannya pada posisi yang didinginkan.
Kelima, Terdapat pilihan politik kepentingan bangsa yang lebih besar, misalnya kekuasaan dunia oleh negara-negara. Blok Timur, Blok Barat, Kepentingan politik  Asia, Amerika, Eropa dan lainnya. Pengaruh atau pilihan keberpihakan terhadap Ideology dunia yang mempertaruhkan liberalisme dan komunisme atau ideology rencana membangun ideology baru diantara kedua ideology tersebut atau meninggalkan ideology keduanya dan membangun bangsa-bangsa yang ingin hidup dengan ideology kepentingan atau pola yang berubah sesuai dengan kondisi dan kepentingan politik dan sosialnya. Sehingga tujuan besar ini menjadi pengikat untuk bersatunya politik nasional menghadapi perubahan global.
Keenam, Rapuhnya dan rentannya sistem kekuasaan Jokowi sehingga butuh pembagian kekuasaan sehingga mengamankan positioningnya sebagai presiden dan menafikan sebahagian kekuasaan bersama koalisi politiknya untuk memberi tempat bagi posisi tawar lawan-lawan pilitiknya. Salah satunya pada pos jabatan kementerian, kedutaan, Â BUMN dan Pos berfasilitas negara lainnya yang menarik bagi kompetitornya. Asalkan tidak mengganggu pemerintahan selama kepemimpinannya.
Ketujuh, Ada pilihan politik baru Jokowi dan secara perlahan memisahkan kekuasaannya dengan PDIP dan membangun politik serta partai politik secara hiden dan menjadi pemimpin politik baru Indonesia dengan pengalamannya sebagai presiden dan memudahkannya memahami sistem politik nasional yang diminati rakyat Indonesia. Minimal Jokowi bisa membangun begawan-begawan politik nasional lainnya sebagaimana para presiden lainnya yang memiliki partai politik atau membina partai politik.
Tentu ada beberapa alasan lainnya yang bisa dikemukan, tetapi karena media terbatas kita batasi pada tujuh poin diatas. Namun dihadapan publik nasional yang diketahui adalah betapa elegannya dan terbukanya politik Jokowi dalam kekuasaan politik. Sehingga jabatan-jabatan strategis dalam negara dengan mudah dibuka kepada pihak lain bahkan terhadap kepentingan politik lawannya dipilpres.
Sementara kita hanya membahas politik tetapi kita tidak membahas bagaimana efektifitas pembangunan rakyat dengan sistem pembangian kekuasaan yang mengarah pada konspirasi politik nasional dan rakyat cenderung diam atau menghadapi dan selalu berhadapan dengan pemerintah.Â
Begitulah kondisi sosial dengan sistem politik yang dibangun dalam negeri tetap saja kebaikan dalam sistem kekuasaan tentu akan melemahkan unsur lainnya, maka dibutuhkan keseimbangan agar rakyat tidak menjadi korban dalam sistem kekuasaan politik dalam negara yang budaya kepemimpinan baru yang masih minim pengalaman.
Sekian
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H