Pengkaderan kepemimpinan di Indonesia dan daerahnya cenderung dibangun dengan konsep ideology dan sulit terjadi dalam pengkadean suatu partai politik karena sistem multiparty. Berbeda dalam sistem single party sebagaimana sistem politik komunis mungkin di RRC atau sistem dwiparty sebagaimana sistem demokrasi yang mapan yang seimbang, yakni ada partai pemerintah dan ada partai oposisi sebagaimana di USA.
Oleh karenanya presiden, gubernur dan bupati, mereka hanya bisa melakukan pengkaderan untuk mengarahkan  menyelamatkan sepertiga kekuasaannya kepada tokoh-tokoh calon pemimpin yang searah dengan konsep pemikirannya. Kenapa demikian? Bukankah orang yang berdekatan atau temannya atau sahabatnya atau anak atau adiknya lebih layak dipercaya untuk melanjutkan kepemimpinannya?
Jika cara pikirnya demikian maka yang dilahirkan adalah "konsep konspirasi" bahkan bisa mengarah pada oligarkhy yang kemampuan pemimpin itu dalam kualifikasi demokrasi kelas yang paling rendah atau demokrasi berkasta sudra dalam status sosial masyarakat hindu di India.
Lalu bagaimana cara melihat kader pemimpin dalam budaya kehidupan demokrasi?
Ilustrasinya begini, Dalam budaya politik demokrasi di Indonesia hanya bisa dibangun kekaderan lintas partai politik karena bakat pemimpin masih tumbuh secara alamiah tidak dalam skenario pembuatan rencana (plan maker) kepemimpinan. Paling mungkin mereka hanya bisa dipertemukan dalam dua alur besar dalam sistem kepemimpinan dan politik serta beberapa pos lainnya atau simpul yang mempertemukan mereka di antaranya sebagai berikut:
Pertama, dalam tipikal sistem kepemimpinan yang demokratis dan otoritarian serta feodalisme, dimana pemimpin yang sekarang melihat bakat beberapa orang yang muncul sebagai cikal bakalnya penerusnya. Kemudian si pemimpin mengendus dan tanpa diketahui mendikte pemikiran rakyat namun ia punya dalih yang kuat dengan konsep pemikirannya untuk membuat alur politik dan berusaha membuka jalan-jalan bagi penerusnya untuk muncul.
Kedua, dalam multy party, dengan melihat referensi jenis partai politik yang secara ideology dan platform perjuangan partai yang searah dengan cara pandangnya dan juga partai politiknya.
Ketiga, dalam kualitas dan kapasitas sumber daya manusianya. Mereka yang sedang memimpin melihat kemampuan pemikiran cikal bakal oenerusnya yang sejalan dan memahami arah dan tujuan kepemimpinan yang diharapkannya. Â Meskipun jenis dan partai politik yang berbeda-beda, karena mereka pada level pemimpin itu adalah tokoh politik bukan lagi sebatas tokoh partai politik.
Keempat, jika mereka seseorang yang cerdas dalam memimpin maka cenderung melihat seseorang yang cerdas (sebagai kadernya) untuk memenuhi syarat agar tujuan jangka panjangnya dalam memimpin bisa membuat perubahan kehidupan sosial di daerah atau negaranya. Dalam kebijakannya, justru ia berani melawan arus untuk membuka jalan kepada kadernya. Karena ia paham dengan akar masalahnya dan paham kenapa politisi dan pemimpin lain membunuh karakter kader penerus tersebut ketika menghadapi kontroversial dalam prosesi mempersiapkannya.
Kelima, bargaining kekuasaan politik, terjadi ketika kader yang sebagaimana alur politik tadi tidak menemui jalan untuk diangkat, maka pemimpin sekarang hanya bisa membangun posisi tawar politik dengan cikal bakal pemimpin yang akan muncul secara kuat dan sulit dihambat. Sehingga si pemimpin terpaksa mundur selangkah untuk merangkulnya. Bahkan pemimpin tersebut bisa dianggap gagal dalam pengkaderan dan kepemimpinannya.
Oleh karena itu maka kepemimpinan tanpa mempersiapkan kader tidak berbeda dengan ketidakmampuan dalam memimpin. Karena seseorang pemimpin dalam budaya demokrasi harus mempersiapkan alternatif planning yang terbaik bagi masa depannya dan masa depan rakyatnya, sehingga pembangunan yang pernah laksanakan dapat dilanjutkan dimasa yang akan datang.