Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sentimen, Warnai Politik Pemberontakan Daerah, sehingga Banyak Daerah yang Gagal Merdeka

2 Januari 2021   08:03 Diperbarui: 2 Januari 2021   08:05 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : pexels image

Politik itu tidak ubahnya ibarat aliran air sungai yang tenang, keputusan-keputusan politik yang baik itu ibarat menarik rambut dalam tepung. Pekerjaan politik lebih mengarah kepada pekerjaan seni dalam membuat perintah dan keputusan dalam kepemimpinan dan mempengaruhi politik.

Oleh karena itu keputusan politik yang dianggap kontroversi kemudian dipandang memiliki kandungan nilai, akhirnya semua yang paham tentang politik akan menyetujui dan menerimanya meski mereka merasa tidak puas dalam kehendak aspirasinya.

Sementara pergerakan politik itu, ibarat bah yang bergemuruh dan rumus serta rahasia didalamnya diketahui oleh publik karena tujuannya berada dihadapan mata atau suatu yang dianggap masalah yang dihadapi oleh sebahagian besar rakyat.

Partai politik, mendidik kadernya untuk mahir melakukan pekerjaan-pekerjaan politik, sementara ormas atau organisasi swadaya masyarakat melakukan pekerjaan pergerakan rakyat yang bisa mencapai pada pekerjaan yang mempengaruhi dan bahkan merubah politik kekuasaan ketika pergerakan itu menjadi berkepentingan bagi sebahagian besar rakyat. Tapi pekerjaan yang mempengaruhi politik menguras sumber daya yang boros dalam segala sisi. 

Pergerakan rakyat akan lebih mudah dan efektif, apabila mengeksploitasi alat-alat pemersatu rakyat seperti budaya, primordialisme, bahkan mengeksploitasi agama justru sangat efektif untuk memudahkan membangun sentimen rakyat, maka dalam kepemimpinan sangat perlu memahami nilai budaya rakyat yang sensitif sehingga siapapun sebagai pemimpin tidak melakukan hal yang kontra yang berdampak membuka lubang-lubang yang memancing emosional rakyat yang mengundang pergerakan massa atau people power.

Jika pergerakan massa itu landasannya lemah, maka tokoh politik yang berkontra, atau pemimpin akan dengan mudah merubah arah pergerakan tersebut, misalnya menghadapkan mereka dengan kekuatan politik lain dan berbagai cara yang pernah kita saksikan dalam pergerakan yang mendesak dan menyudutkan pemimpin negara sebagaimana terjadi di negara-negara timur tengah.

Politik pemberontakan negara untuk pembebasan daerah berawal dari kelemahan dalam pengelolaan kekuasaan negara dan daerah. Kemudian muncul para tokoh dalam masyarakat yang membawa issu kecewa dengan sistem politik dan pemerintahan di wilayahnya. Tentu semua berawal dari ide dan gagasan yang rasional yang dapat diterima oleh akal sebahagian besar warga masyarakat. 

Ide dasarnya juga perlu datangnya dari seseorang yang dianggap berkapasitas dan berkualitas baik mental, moral, dipercaya, kecerdasannya dan faktor lain yang pemikirannya diikuti oleh banyak pengikut secara kualitatif.

Pemberontakan daerah akhirnya banyak yang mengalami hambatan dan kegagalan akibat pengelolaannya yang lemah dan hanya mengandalkan sebatas sentimen dalam politiknya. 

Pada beberapa kasus tuntutan pembebasan wilayah, masyarakatnya terkooptasi dengan hegemony kekuasaan penggerak politik yang menjadi kecenderungan wilayah. Lalu diantara masyarakat mulai berkiprah dan melakukan aktivitas yang mengarah pada harapan masyarakat dalam kecenderungan tersebut meskipun  dalam kualitas politik aktivitasnya justru bertentangan dengan politik pembebasan wilayah tersebut. Namun semua tujuan-tujuan dalam aktivitas itu hanya berlandaskan semangat emosional dan berdampak pada bangunan kepahlawanan dalam kacamata awam.

Justru karena itu, di daerah-daerah bekas konflik akan timbul kasus-kasus yang heroik dengan mengandalkan senjata sebagaimana pada masa perang oleh mereka anggota kelompok yang pernah terlibat dalam perang dimasa lalu. Padahal kasus-kasus itu tidak berguna untuk mengangkat kembali dinamika perang masa lalu karena status kondisi sosial keamanan yang sudah berbeda. Akhirnya para pejuang yang mengharapkan pujaan dan gelar heroikpun banyak yang tewas atau dihukum oleh negara dalam status kriminalitas.

Sementara pada masyarakat diwilayah tersebut, akan diwarnai dengan politik sosial yang diwarnai secara kental dengan sentimen-sentimen dan emosional yang senantiasa menegaskan sikap mereka yang berlawanan dengan negara. Dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat tetap saja mengumpulkan berbagai issu politik yang dinilai merugikan negara dan melemahkan negara. Harapan itu adalah sebagai materi pembicaraan yang memuaskan dan pengganti melawan dengan perang yang telah dihentikan dan tidak berizin baik oleh pimpinan perang maupun pimpinan politik pemberontakan tersebut.

Kecenderungan ini sulit berhenti, apalagi setelah masa-masa damai sebahagian besar mengalami kekecewaan, apalagi sulit memperoleh kemandiriannya dan memperoleh lapangan pekerjaan. Sementara para pimpinannya dimasa perang tentu akan lebih mudah dalam hidupnya karena fasilitas dan perhatian pemeruntah kepada mereka meski keahliannya tidak berbeda dengan pengikutnya.

Politik yang diwarnai sentimen secara total hanya menghasilkan stagnasi dalam politik, solusinya hanya adu fisik, adu kekuatan, adu senjata (perang) yang sesungguhnya sudah keluar atau mengalami jalan buntu (kehabisan akal dan ilmu) dalam politik. Jadi menurut pandangan penulis perang adalah wujud nyata dari kelemahan pemimpin politik dalam mengimplementasikan politiknya. Karena seorang pemimpin politik sesungguhnya tidak akan kehabisan akal dalam politiknya, apalagi harus menyerah dengan melakukan kekerasan dan perang.

Lalu, kenapa pemberontakan daerah sering mengalami kegagalan dan hanya menyisakan korban nyawa masyarakat dan kemudian jika terjadi damai maka dampaknya hanya bermanfaat secara politik jangka pendek para pimpinan politik yang mengendalikan perang. 

Manfaat itupun hanya sebatas jabatan-jabatan dalam negara induk, yang posisinya dalam tanda tanya yang mempertanyakan kredibilitas pejuang itu sebagai pemimpin atau pecundang. Dalam perspektif kelompok perjuangan masyarakat juga akan menyisakan pertanyaan besar, apakah mereka sebagai pejuang atau pengkhianat rakyatnya.

Karena perang selalu beresiko pada kematian yang banyak maka pemimpin akan menempuh jalur diplomasi politik, perang sebenarnya tidak pernah berhenti selama pimpinannya belum menyerah atau ditaklukkan dan ditawan, tetapi yang perlu dihindari adalah intensitas pertempuran bersenjata yang beresiko tinggi. Jika politik masih mengandalkan kekerasan dan perang, maka sesungguhnya mereka yang melakukannya tidak mampu menempatkan diplomasi politik, demokrasi dan kesetaraan lintas warga bangsa, pada dasarnya mereka yang dijajah dan menjajah sesungguhnya juga berciri mentalitas penjajah karena jurus pamungkasnya mengandalkan perang atau kekerasan.

Jika kita golongkan politik yang dilakukan oleh para politisi yang senjatanya berupa ancaman, teror, perang dan ancaman kekerasan maka dapat digolongkan sebagai sentimen politik atau berpolitik hanya menagndalkan sentimen, mereka tidak sampai pada politik yang sesungguhnya. Karena kecenderungan pembebasan wilayah hanya sebatas mengeksploitasi emosional masyarakat yang dibungkus dengan alat politik sebangsa atau sesuku bangsa, baik yang terdhalimi atau merasa unggul sehingga tidak ingin dipimpin oleh kelompok lainnya.

Sumber masalah yang dapat digali untuk alasan pemberontakan dalam politik adalah :
Sistem negara,
Bentuk negara,
Sistem kepemimpinan negara otoriter,
Sistem pemilihan yang tidak adil,
Pemerintah korup,
Sistem kekuasaan yang arogan,
Lapangan pekerjaan terbatas bagi pribumi,
Penguasaan sumber daya alam oleh pusat dan sebagainya.

Secara garis besar, sesungguhnya timbulnya berbagai pemberontakan baik terhadap pemerintah untuk memperbaiki negara, maupun pemberontakan daerah terhadap pusat tidak lain disebabkan oleh sistem kepemimpinan yang otoritarian dan bertentangan dengan sistem demokrasi. Oleh karena pemimpin otoriter maka politikpun mengalami stagnasi diplomasi.

Dalam kepemimpinan yang demokratis dan aspiratif tertutup peluang lahirnya perang, bahkan langka sekali dalam kepemimpinan yang demokratis mengandalkan perang dan kekerasan. Lalu memaksakan kehendak itu adalah bunga-bunga sistem kepemimpinan otoriter yang berpotensi memecahbelah sesama warga.

Sekian
*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun