Karena agama akan memperluas pengaruhnya dalam budaya sehingga menjadi sistem hidup yang turun temurun dan esensinya  berpotensi terdegradasi dari hubungan manusia dengan tuhannya kepada hubungan lintas manusia yang mengatasnamakan tuhannya menurut standar pendidikan, wawasan dan ilmu pengetahuannya.
Faktor pengaruh budaya dan agama ini menjadi landasan yang mendidik anak bangsa sejak mereka lahir hingga menjadi masyarakat Indonesia yang memiliki id card sebagai netizen. Keragaman ini juga menjadi tarik ulur antara kepentingan warga dalam berbangsa dan bernegara sehingga rakyat Indonesia lebih banyak hidup dalam "sentimen" dalam berbagai bidang termasuk dalam politik, apalagi dalam perspektif kekuasaan.
Dalam perspektif merdeka rakyat Indonesia masih berada pada tahapan kualitas merdeka dari ancaman phisik belum pada merdeka psikis baik merdeka dalam politik maupun ekonomi dan terutama jiwa rakyatnya, bahkan sebahagian besar rakyat masih menerima kondisi untuk memaklumi hidup dalam tekanan yang ditandai dengan menerima hak-haknya terdhalimi atas perangkat beraroma negara baik partai politik maupun sistem ekonominya.
Hal ini tentu saja terlepas dari kesengajaan maupun ketidaktahuannya. Lalu, siapa yang mendidik bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupannya?
Apakah para guru atau dosen dengan sekolah dan Perguruan Tinggi yang kita bisa lihat bangunannya menjulang tinggi di sejumlah kota besar dalam negara ini?
Dalam pendidikan standar profesi mungkin saja bisa dilakukan, tetapi dalam pendidikan pendidikan sebagai warga negara, dalam mentalitas politik, dalam kepemimpinan tentu sulit sekali dilakukan, karena mentalitas pengajar sebahagian besar juga sangat terbatas referensi hidupnya dalam politik dan bernegara, dan jangan lupa mereka terbelenggu dalam ikatan-ikatan kepentingan negara terlepas dari perspektif kepentingan rakyat, sikapnya akan konsisten dengan kepentingan utamanya demi memelihara hidupnya, memelihara izin dan image perguruan tingginya dan pembiayaan serta aktivitasnya dari mata negara.
Kurang yakin? Lihat kasus guru besar dicabut gelar, rektor dipenjara, guru besar di larang memberi kuliah dan beraktuvitas dalam civitas akademik kala mereka berhadapan dengan pemerintah atau berhadapan dengan pimpinan perguruan tinggi yang diangkat oleh menteri.Â
Peraturan pemilihan pimpinan perguruan tinggi di era sebelumnya dipilih oleh senat dan suara menteri (pemerintah/kekuasaan) dengan hak suara 35 persen. Sementara era kekuasaan sekarang justru menjadi 100 persen kewenangan menteri (pemerintah).
Lalu, bagaimana mereka ingin berbicara politik dan negara secara normatif? Lalu bagaimana mereka jika ingin bicara tentang sistem keadilan terhadap rakyat?
Dapatkah perguruan tinggi mendidik mentalitas rakyat dalam politik dan mentalitas rakyat sebagai warga negara?
Mari kita berpikir sesuai dengan wawasan kita masing-masing, he..he....
Lalu, dalam perspektif bernegara dan politik, siapakah yang paling dominan mengajarkan rakyat Indonesia?