Dalam masa kehidupan sulit perlu berbagai cara mengatasi penanganan kebutuhan hidup dalam rumah tangga. Salah satu masalah besar adalah terbatasnya ketersediaan makanan dan ketergantungan pada uang secara total dalam sistem kehidupan masyarakat. Dalam segala kebutuhan masyarakat membutuhkan uang untuk membelinya, termasuk dalam hal cabe, bawang dan tomat bahkan alat congkel gigi sekalipun.
Sebahagian besar rakyat hanya berpikir bagaimana menghasilkan dan memproduksi uang, sementara sedikit masyarakat yang bekerja menghasilkan makanan untuk kebutuhan dirinya dan masyarakat. Pemilik modal, apakah bank konvensional maupun syariah, perusahaan pembiayaan, perusahaan keuangan negara, semua lembaga itu juga tidak memberi apresiasi kepada sektor pertanian untuk membantu usaha masyarakat kecil.
Padahal support modal inilah menjadi alat utama untuk membangun masyarakat berkreatifitas dan membangun ekonomi dalam standar memelihara kehidupan keluarganya masing-masing.
Dalam posisi masyarakat ini maka dapat dipastikan bahwa kita adalah masyarakat Indonesia yang konsumeris setia sepanjang hidup dan masyarakat dunia lain sebaliknya mereka akan terus bekerja untuk menjadi produsen yang setiap detik, menit, jam dan hari-harinya menghasilkan segala kebutuhan manusia dengan discovery dan inovasi yang timbul kreatifitas masyarakat itu sendiri.
Sementara negara kita yang mengandalkan sektor agraris, maritim namun untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari kita juga mengeluarkan biaya yang bila kita perhitungkan perbulan lumayan jumlahnya. Anehnya tanaman cabe, bawang dan kebutuhan dapur untuk kebutuhan rumah tangga dalam pembudidayaannya tergolong sangat mudah, kita hanya membeli bibit dan menaburkan di halaman rumah yang sebahagian besar tanahnya subur.
Pada kisaran harga cabai perkilo gram mencapai seratusan ribu, masyarakat kewalahan untuk mengadakan kebutuhan dapur rumah tangganya. Padahal lima belas sampai dua puluh batang tanaman cabai atau tomat sudah cukup untuk menekan pengeluaran belanjaan dapur keluarga.
Lalu, kalau barang elektronik masyarakat kita harus membelinya, kebutuhan kenderaan seperti sepeda motor, sepeda angin juga membeli dipasar bahkan hasil import, maka pertanyaannya, adakah bahan kebutuhan sehari-hari yang tidak dibeli? Tentu saja semua harus dibeli. Oleh karena itu pengeluaran rumah tangga untuk sehari-hari pada masyarakat di kampungpun tidak bisa teratasi tanpa Rupiah.
Jika kurang yakin, silakan mwngunjungi rumah-rumah dalam suatu komplek atau diwilayah kampung halaman anda, saya meyakini tanaman kebutuhan dapur tersebut hanya beberapa rumah yang akan anda temui, selebihnya mereka harus membeli kepasar tradisionalnya sebagai belanja rutin setiap dua atau tiga hari bahkan ada keluarga yang setiap hari wajib membelinya.
Memang kalau dipikir-pikir ini sebagai hal sepelean, yang tidak pernah kita perhitungkan, padahal tidak ubahnya ibarat seorang kepala keluarga dan beberapa anaknya sebagai perokok. Dimana setiap bungkus harga rokok di jaman ini mencapai harga untuk dua atau tiga bungkus nasi. Jika membeli beras maka sudah mencukupi untuk beberapa kilogram dimana keluarganya dapat menikmati hingga dua dan tiga hari. Tetapi harga rokok dan dampak terhadap kesehatannya tidak pernah diperhitungkan yang setiap bulannya masyarakat wajib menambah pendapatannya dua kali biaya dapurnya.
Cara hidup terbiasa ini menjadi pemborosan dalam pengeluaran untuk keluarga sehingga banyak kepala keluarga yang menjadi berat kala membiayai biaya anaknya bersekolah, padahal kalau kebiasaan ini ditunda akan banyak hal lain yang mendongkrak pendapatan keluarganya.
Wahington DC adalah kota besar, ibukota negara Amerika Serikat masih banyak kita ketahui sebagai masyarakat producen dunia, tetapi di kota itu kita masih menemukan kebun tanaman-tanaman ringan di kota yang merulakan investasi kecil keluarganya. Mereka tidak menganggap remeh pengeluaran biaya untuk kebutuhan rumah tangganya sehari-hari. Kecuali mereka yang bekerja di perusahaan besar dan pejabat pemerintah yang menghasilkan uang dalam jumlah besar dengan pekerjaan tetap dan disiplin serta kesibukannya diluar rumah.
Lalu, apa yang menjadi kendala sehingga masyarakat kita diwilayah pedesaan sekalipun tidak melakukan usaha untuk menutupi pengeluarannya sehari-hari atas nama tanaman ringan, cabai, bawang dan tomat? Jawabnya adalah budaya kita yang berbeda, disamping itu kemalasan kita yang melampaui batas.
Kalau saja, kepala desa memiliki ajaran sebatas membudayakan masyarakat dalam penanganan kebutuhan dapurnya saja, sudah cukup baik kinerja mereka di kampung halamannya disamping tugas utamanya untuk membangun kepemimpinan dan administrasi negara bagi wilayahnya. Demikian pula jika seorang Camat di tingkat kecamatan dapat membangun budaya dan memberi perhatian terhadap keluarga yang melakukan swadaya kebutuhan dapurnya dengan tanaman sendiri niscaya mereka telah mampu membangun budaya yang baik bagi kehidupan masyarakatnya dalam penanganan penghematan biaya pengeluaran sehari-hari daripada para pejabat tersebut hanya sebatas menjaga wibawa dan bergaya sebagai pemimpin masyarakat di suatu kecamatan.
Minimal masyarakat dikecamatannya berswasembada kebutuhan dapur tanpa mengeluarkan biaya rutin. Sungguh sepele namun hal itu cukup berharga apalagi masyarakat sedang menghadapi pandemi sebagaimana situasi ekonomi yang sangat tertekan.
Lalu, apakah gengsi? Jika gengsi maka disitulah kekeliruan masyarakat kita dalam memahami gengsi itu sendiri. Sesungguhnya menjadi sesuatu yang memalukan dengan kondisi tanah yang subur tanaman di halaman rumah, hanya sebatas bunga untuk batasan keindahan. Padahal fungsi keindahan tidak pernah bisa menekan angka pengeluaran keluarga.
Justru karena itu kita berharap, dimasa depan agar masyarakat dapat membudayakan tanaman dapurnya untuk menekan borosnya belanja rumah tangga yang dapat berdampak pada pengeluaran lain dan mempengaruhi pendapatan kepala keluarga dan pejabat dilingkungan  desa dan kecamatan tersebut.
Mari budayakan tanaman kebutuhan dapur di kebun dan halaman rumah kita,,,,
Jangan anggap sepele,,,,,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H