Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Berbagi Kebahagiaan dalam Perang

2 Desember 2020   17:56 Diperbarui: 2 Desember 2020   18:02 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Sample Pengungsian di Aceh Pada Liputan 6.com

Kisah Nyata Penulis Dalam Konflik Bersenjata Di Aceh

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Genap dua puluh tahun yang lalu penulis mengingat suatu momentum yang penuh dengan  kebahagiaan dalam hidup dan merasa berbagi kebahagiaan dengan elemen pasukan bersenjata sekaligus bersama masyarakat.

Saat itu masih berlangsung konflik bersenjata antara Gerakan Atjeh Merdeka dengan Negara Republik Indonesia yang dimulai tahun 1989. Kondisi kehidupan rakyat biasa dipenuhi dengan pengungsian dimana-mana, karena masyarakat harus melakukan pengosongan kampung tempat tinggal mereka supaya bebas dari sasaran peluru ketika para serdadu berperang.

Di sepanjang jalan negara, kita bisa mendapatkan posko masyarakat mengungsi yang berjumlah puluhan, dan jalanan negara saat itu menjadi sepi, bahkan disiang hari yang banyak berwara-wiri justru mobil ambulan dengan khas sirinenya sementara dimalam hari hanya bertambah angkutan umum lintas provinsi yang melewati jalan negara.

Kemudian para aktivis kemanusiaan yang melakukan berbagai tugas pelayanan kepada masyarakat pengungsi tersebut, termasuk mencari makanan dan kebutuhan primer mereka hingga untuk semua anggota keluarganya. Apalagi para janda yang suaminya telah meninggal dan memiliki anak-anak yang ditinggalkan mati ayahnya atau syahid dalam terminology perang di Aceh kala itu.

Pada tahun 2001, presiden Republik Indonesia adalah Abdurrahman Wahid (Gusdur), yang kita ketahui membangun hubungan harmonis dengan pimpinan negara Islam sebagaimana Brunei Darussalam dan hubungan baik dengan pemerintahan negara non Islam sebagaimana kerajaan Japan. Saat itu Aceh dalam kondisi konflik bersenjata dan pengungsian masyarakat, Aceh dengan kondisinya mendapat bantuan bahan pokok berupa beras dalam jumlah besar untuk kebutuhan pokok masyarakat pengungsi diwilayah Timur provinsi Aceh.

Sungguh tidak terbayangkan kerentanan hidup masyarakat saat itu, bahkan mereka hanya bertaruh dengan kebutuhan mendasarnya, asalkan keluarganya dapat diselamatkan dan dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sudah cukup membahagiakan setiap kepala keluarga disana. Meski perang saat itu telah memisahkan masyarakat ke suatu tempat yang aman namun potensi ancaman yang menghadapkan nyawa sebagai taruhan menjadi fenomena biasa dalam hidup masyarakat Aceh kala itu.

Berbagai alasan menyebabkan korban masyarakat, misalnya salah menjawab pertanyaan kelompok yang berperang, salah menduga orang, memasuki zona berbahaya sementara warga tidak memahaminya, terjebak secara tiba-tiba dalam peperangan dan masyarakat sedang berkumpul kemudian dianggap lawan perang dan mereka tewas tak berdosa. Begitulah dinamika kehidupan masyarakat dalam konflik bersenjata yang sulit hidup dalam kebebasan apalagi untuk menjalankan usahanya sehari-hari yang rawan dengan berbagai ancaman dengan taruhannya tidak lain adalah nyawa melayang.

Pada saat itu orang yang mendapat bantuan kebutuhan dasarnya sangat berharga. Kemudian mereka dari berbagai kalangan bila menyaksikan dan mengetahui tingkat kesulitan hidup masyarakat tentu saja akan mengundang prihatin dan ingin memberi dan menyumbang apapun yang mereka bisa berbagi untuk kemanusiaan.

Suatu hari rekan mahasiswa menghadapi masalah dalam penanganan pendistribusian beras  bantuan dari Brunei dan Jepang dalam jumlah ratusan ton untuk para pengungsi di salah satu kabupaten disana, dimana penulis berkeluarga disana. Karena mendapat hambatan dari teman-teman dari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang di posisikan sebagai  pemberontak oleh negara Republik Indonesia. Mereka bersikeras supaya bantuan itu dibagi dua antara masyarakat dengan kepentingan kelompoknya. 

Hambatan dan tantangan itu menginspirasi sahabat kelompok mahasiswa mendatangi penulis untuk mencari solusinya.

Kebetulan ayah mertua penulis termasuk orang yang disegani oleh kelompok bersenjata tersebut, karena wilayah kerja perusahaan minyaknya berada dalam kawasan berbasis gerakan yang disebut pemberontak tersebut. Berangkat dari keinginan untuk saling berbagi dan memberi terhadap sesama masyarakat dalam kemelaratan, Akhirnya penulis sepakat untuk membantu dan bekerjasama dengan teman-teman mahasiswa untuk tujuan kemanusiaan.

Esok hari, penulis mengajak seorang tokoh yang memahami rute dan mengenal kelompok bersenjata disana untuk pertemuan dan penulis melakukan negosiasi atau berdiplomasi agar mahasiswa dapat menjalankan aktivitasnya hingga masyarakat menerima haknya secara utuh.

Ditengah suasana yang mencekam, penulis diantar menuju posko gerakan bersenjata disana dengan unit kenderaan yang sesui dengan rute yang dilalui. Ditengah jalan terjadi pemeriksaan untuk keterangan pengunjung ke zona berbasis bukit itu. Dengan mengenali tamu dan pengantarnya maka sudah cukup untuk melancarkan perjalanan ketujuan.

Tiba disana, penulis yang baru beberapa tahun menyelesaikan pendidikan di Perguruan Tinggi dan tergolong masih muda dalam urusan diplomasi tersebut, namun disambut dengan sikap yang ramah oleh delapan orang petinggi kelompok bersenjata. Dengan disuguhkan minuman khas kopi sebagai persahabatan terjadilah pembahasan terkait tugas mulia teman-teman mahasiswa untuk membantu masyarakat.

Intinya penulis memberitahukan positioning politik mereka dengan mahasiswa dan masyarakat, bila hal itu menjadi kendala maka perjuangan perang yang sedang berlangsung itu juga akan mendapat image buruk dari elemen masyarakat lainnya dan sulit menjelaskan perjuangan mereka untuk kepentingan masyarakat Aceh.

Dengan pembahasan pada materi kepentingan rakyat yang mereka perjuangkan, akhirnya mereka bersepakat dan hanya meminta biaya-biaya yang mereka sudah keluarkan untuk kebutuhan pengungsi karena mereka yang meminta masyarakat mengosongkan kampung halamannya untuk menjadikan zona perang (war area). Penulis juga menyetujui permintaan mereka dengan senang hati karena memang tidak memberatkan masyarakat sebagai pemilik bantuan tersebut.

Suasana yang sebelumnya terasa mencekam mulai berubah nyaman dan santai sehingga kami terbawa dalam kebahagiaan dan kemudian mereka juga sempat memperlihatkan lokasi posko dengan senang hati, karena penulis dianggap dapat memahami perjuangan yang mereka lakukan. Sambil tersenyum dan bercanda penulis juga diberikan pin yang bergambar logo dan nama Gerakan Atjeh Merdeka (GAM). Ternyata pandangan terhadap pemberontak yang kejam dan bengis itu luluh dengan rasa kemanusiaan dan saling berbagi baik suka maupun duka. Sesungguhnya tidak ada keinginan  akibat prilaku untuk memberontak meski pada tingkatan masyarakat dibawah sekalipun, mereka semua paham taruhannya. yang ada hanya jiwa-jiwa yang menuntut keadilan atas hak dan hidup pada negara. Karena ruang partisipasi ditambah dengan sikap pemerintah yang otoritarian maka hal itupun tidak bisa dihindarkan.

Usai membangun diplomasi, kemudian penulis bahkan diantar setengah jalan oleh beberapa teman bersenjata tadi untuk menuju jalan negara. Berikutnya diterima teman mahasiswa dan tokoh masyarakat, dimana mahasiswa turut bergembira karena bisa melaksanakan aktivitasnya sedangkan tokoh masyarakat juga sangat bahagia karena dapat menerima bantuan untuk kebutuhannya yang mendesak.

Keesokan harinya dilakukan penyerahan bantuan itu dengan kenderaan pengangkutan jenis truck berbadan panjang yang berjumlah puluhan unit. Penulis ikut menyaksikan dengan dengan bahagia karena bisa menyelesaikan masalah dan membuka peluang berbagi untuk kepentingan bersama yang sangat dibutuhkan.

Berikutnya, penulis juga mendapat kesempatan untuk menyampaikan santunan lebih kepada keluarga yang ditinggal oleh kepala keluarganya, karena ada banyak anak-anak yatim yang lahir dalam konflik bersenjata tersebut. Hal inilah yang menjadi suatu kebahagiaan yang luar biasa dalam pandangan penulis saat menjalani hidup dimasa muda dan sulit mendapatkan momentum yang lengkap sebagaimana peristiwa yang mengundang kebahagiaan bersama begitu banyak orang didalamnya.

Sekian
*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun