Dasar atau landasan analisa yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan dan kegagalan pembangunan masyarakat oleh pemerintah daerah adalah sebagai berikut :
Ada dua lembaga atau Tool yang bisa melakukan pencapaian tujuan pembangunan masyarakat itu adalah :
Pertama, (Potensi I) yaitu Sumber daya manusia atau ilmu dalam pembangunan sosial dalam hal ini wakil rakyat dan eksekutif yakni gubernur dan perangkat kerjanya. Semua sdm itu adalah milik rakyat Aceh secara lokal.
Kedua, (Potensi II) yaitu Uang, Anggaran pembangunan Negara melalui APBD yang dikucurkan setiap tahun dari rencana yang dibuat oleh pemerintahan daerah termasuk di dalamnya DPR lokal. Uangnya milik Negara dalam hal ini penyetujuannya pemerintah pusat yaitu presiden dan perangkatnya serta DPR RI.
Analisanya begini, Uang (anggaran) dan sumber daya manusia (ilmu) digabungkan ini disebut kompetensi. Logikanya begini, Jika hal ini dapat dikatagorikan sebagai kompetensi yang benar atau kualitasnya baik, maka pembangunan dan tujuannya pasti masuk dalam zona berhasil. Sebaliknya jika kompetensi ini tidak sesuai atau tidak cukup kualitas dan kapasitasnya maka hasilnya tentu sebaliknya.
Dari perspektif jumlah anggaran dari negara dianggap cukup tidak menjadi permasalahan. Lalu yang menjadi permasalahan dalam hal kompetensi pembagunan adalah sudah pasti sumber daya manusia atau kualitas dan kapasitas (ilmu) pengelola dalam rencana dan rancangan pembangunan dan pencapain tujuan rakyat.
Ada dua elemen utama dalam potensi pengelolaan kekuasaan daerah yaitu eksekutif dan legislatif. Lalu diantara kedua lembaga ini yang mana lembaga yang tidak cukup kualitas dan kapasitasnya (mispotensi) dalam pencapaian tujuan kesejahteraan atau minimal sukses dalam tahapan pencapaiannya.
Dalam hal keberhasilan dan kegagalan tujuan pembangunan daerah kita juga bisa analisa, logikanya sebagai berikut :
Pelaksana Pembangunan, yaitu eksekutif dalam hal ini gubernur dan perangkatnya. Kemudian Pengawas adalah DPR lokal dan perangkat kerjanya. Jika kedua lembaga ini dalam peyelenggaraan tupoksi masing-masing berjalan baik tanpa dominan temuan dan mereka aman-aman saja dalam posisinya maka kegagalan itu boleh di perhadapkan dengan hal berikut :
Pertama, Rancangan pembangunan yang salah kaprah (misguided development) yang tidak memenuhi anasir-anasir dalam konsep pembangunan rakyat dan kesalahpahaman (misunderstanding atau development misconceptions).
Kedua, Terjadi konspirasi dalam pembangunan (a development conspiracy) yaitu pembangunan yang hanya mengakomodir kepentingan legislatif dan eksekutif. Sementara rakyat hanya menjadi objek untuk tumbal sebagai alat pejabat eksekutif dan legislatif untuk (looking for benefits) atau mencari rezeki dalam istilah kehidupan rakyat tradisional sehingga tidak menjadi masalah kerana kata rezeki itu seringkali menjadi alat yang mengharuskan rakyat tradisional untuk memakluminya.