Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Tulisan ini adalah bentuk mencari jawaban atas kondisi daerah yang dianggap miskin dan indek pembangunannya dibawah rata-rata nasional. Namun kita hanya melihat dalam pengelolaan negara pada masyarakat daerah itu sendiri.
Hal ini sudah lama terjadi terhadap rakyat daerah, dan sebelumnya dibantah dengan menggali berbagai dalih yang tidak rasional, namun rakyat hanya bisa diam dan bungkam dan ada juga yang tersenyum dan terbahak.
Landasan berpikir untuk referensi analisa terhadap kontradiksi antara anggaran negara untuk daerah dan hasil pembangunannya yang menimbulkan masalah kemiskinan begitu sempurna (terpuruk) landasan itu sebagai berikut :
Pertama, Daerah Otonomi Khusus saja yang mendapat perhatian lebih dalam perspektif negara masih juga miskin. Siapapun penguasa pemerintah di pusat maka dengan peraturannya yang diatur melalui UU maka pemerintah pusat tidak bisa menghambat pembangunan daerah dengan kebijakannya.
Kedua, Dalam perspektif Anggaran Negara setiap tahun kepada daerah dengan tambahan Anggaran Dana khusus, dianggap berjumlah besar atau normal bagi provinsi yang berpenduduk dibawah lima juta jiwa.
Ketiga, Daerah khusus dengan tambahan konstitusi lokal bernegaranya diberikan kewenangan mengatur dan membuat program pembangunan dengan menggunakan anggaran negara sebagaimana harapan masyarakat itu sendiri dengan muara pembangunan yang tidak berbeda dengan tujuan pembangunan nasional yang diarahkan bagi tahapan pencapaian kesejahteraan rakyat.Â
Bila ada yang mendapat evaluasi mendagri tentu berkisar pada tehnis penggunaan anggaran yang secara umum dapat melahirkan penyelewengan anggaran negara. Indikator evaluasi ini tidak beepengaruh untuk konsep pembangunan bila dilihat dalam perspektif tujuan yang holistik.
Keempat, DPR lokal dan Gubernur adalah produknya rakyat, karena dipilih rakyat daerah, mereka menjalankan tugas secara normatif, apalagi tidak ada tuntutan rakyat terhadap keberadaan mereka dikursi jabatan tersebut. logikanya belum ada protes besar oleh masyarakat terhadap kedua lembaga ini. Kecuali pendapat masyarakat ekstra parlemen atau para intelektual yang berbeda pendapat namun masyarakat secara umum sama sekali tidak, paling mereka hanya bisa mengatakan baik dan buruk dengan perasaan atau dengan indikator komunikasi dengan anggota DPR lokal. Namun baik dan buruk itu masih dalam subyektifitas warga bersangkutan.
Empat tool ini dapat menjadi bahan analisa terhadap kondisi sosial yang kondisinya tidak sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat daerah.
Analisa sederhana yang mudah dipahami oleh semua kalangan, dapat dijabarkan sebagai berikut: